Skip to main content

Alhamdulillah Dibubarkan (Daur-II • 269)

Pahala-pahala gratis seperti itu Mbah Sot peroleh ratusan kali di banyak tempat. Acara ceramah di sebuah Universitas di Mandar mendadak dibatalkan oleh pihak yang berwajib, membuat kami memindahkannya menjadi acara silaturahmi di rumah asli tokoh akhlaqul karimah Baharudin Lopa di Pambusuhan, daerah Waliyullah Muhammad Thahir Imam Lapeo, yang juga santrinya Syaikhona Kholil Bangkalan sebagaimana Mbah Yai Hasyim Asy’ari.

Pembubaran yang sama atas acara di sebuah Universitas Lampung, membuat Mbah Sot sempat menengok anak sulung Mbah Sot yang bersekolah di SMP Katolik Metro Lampung Tengah.
Pembatalan pentas teater “Pak Kanjeng” di Yogya dan Surabaya yang temanya adalah penggusuran desa-desa Kedungombo, melahirkan pengalaman batin dan politik yang luar biasa. Menambah jumlah saudara dan sahabat. Pak Permadi dan Gendheng Pamungkas datang ke rumah menyatakan keprihatinan atas pembubaran acara, yang sebenarnya Mbah Sot syukuri, karena membuat Mbah Sot jadi dekat dengan dua tokoh aneh itu.

Bahkan penganiayaan politik itu membangkitkan dan mengkreatifkan ikhtiar pembelaan Mbah Sot dan teman-teman kepada penduduk desa Kedung Pring dan Mlangi, yang naik mengungsi ke bukit-bukit, menolak penggusuran, sehingga Pak Harto pidato marah di Solo dan menyebut mereka “hambegugug ngutho waton”. Semacam kepala batu. Tanpa Pak Harto, Gubernur Jateng Pak Ismail dan putranya, serta Pemerintah Provinsi menyadari bahwa “hambegugug ngutho waton” itu diapresiasi dan dipuji oleh Tuhan, asal dilakukan kepada penguasa yang “adigang adigung adiguna”. Alias mentang-mentang.

At-takabburu lil-mutakabbiri shodaqotun”. Bersikap sombong kepada pihak yang menyombongi itu bernilai sedekah. Sampai-sampai ketika Mbah Sot dan teman-teman membawa truk berisi beras bertumpuk di bak-nya, Pak Jenggot pemimpin Kedung Pring dan Mlangi menolaknya. Padahal susah truk mencapai tempat di perbukitan itu. Tapi nekat Mbah Sot dan teman-teman mengangkut beras itu dari truk ke depan rumah-rumah darurat mereka. Pak Jenggot menyatakan: “Kami ini tidak miskin. Tidak minta-minta beras atau apapun. Kami kaya. Desa kami makmur. Tapi direndam oleh Pemerintah. Sampai Masjid dan Kuburan juga tenggelam”.

Penduduk Kedungombo itu seolah-olah seperti yang digambarkan di Kitab Suci: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu”. Tiba-tiba kemudian datang penguasa dholim mengusir dari desa-desa mereka, serta menganiaya kehidupan mereka. Dan Tuhan sangat jelas menyatakan tentang para penganiaya itu: “tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. [1] (Al-Baqarah: 57)

Dengan terbata-bata tapi setengah marah Mbah Sot merespons: “Kalau soal tertindas, saya juga tertindas, Pak Jenggot. Beras dan apa saja yang kami bawa ke sini tidak merupakan pemberian atau sedekah. Ini bukan wujud rasa kasihan. Ini saya membayar hutangnya Pemerintah kepada rakyatnya. Mereka tidak mengerti bahwa mereka berhutang. Mereka merasa memiliki Negara dan kekayaan tanah air ini dan merasa bahwa mereka berhak menentukan segala sesuatu, karena kepintaran dan kekuasaannya

Akhirnya Pak Jenggot dan semua pengungsi menerima. Mereka manusia luar biasa. Mereka tahu bagaimana Markesot sangat sering menemani mereka, menyeberang danau dengan perahu kecil, tidur di krakal sawah-sawah. Berkejaran dengan Polisi dan Tentara. Almarhum sahabat Franky Sahilatua ikut bersimpati dan datang ke Kedungombo untuk membuat video klip album “Perahu Retak”. Teman-teman Markesot di Padhangmbulan Jombang rutin mengumpulkan dana untuk men-support saudara-saudara mereka pengungsi Kedungombo.

Pak Jenggot itu tokoh utama dalam reportoar teater kami “Pak Kanjeng”. Pak Kanjeng adalah Pak Jenggot itu. Pentas drama itu diperkuat dengan suara musik. Dan gamelan yang dipakai untuk menghiasi drama Pak Kanjeng itu kemudian dikasih nama: Gamelan KiaiKanjeng.
Yogya, 14 November 2017

#Daur
https://www.caknun.com/2017/alhamdulillah-dibubarkan/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu