Skip to main content

Membubarkan Musyawarah (Daur 264)

“Jangan terlalu mudah bicara carok, duel, berantem, Ling”, Pakde Sundusin menegur Toling sambil tertawa, “Pakde kalian Tarmihim ini dulu punya pengalaman carok dalam arti yang sebenarnya, dalam fakta pedang, clurit dan medan tawur. Memangnya tanganmu pernah memegang pedang, kelewang, rotikalung, tombak?”

“Ya tapi kalian memang masih muda belia di dalam usia maupun pengalaman sejarah”, Pakde Brakodin menambahkan, “masih hobi bikin pasukan, serba-serbu, sweepang-sweeping…”

Pakde Tarmihim karena rasa sayangnya kepada anak-anak muda dan mengharapkan mereka kelak menjadi penduduk bumi yang lebih baik dibanding sekarang yang suka banget tantang-menantang, pukul-memukul, jegal-menjegal, celaka-mencelakakan, mati-mematikan — mengingatkan tentang firman Tuhan yang sering dikutip oleh Mbah Markesot. “Bahwasanya bumi ini dipusakakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh[1] (Al-Anbiya: 105). Dan manusia yang paling lembut dan selalu bersikap bijaksana, sehingga dijadikan Allah sebagai Rasul pamungkas-Nya, dipasangnya dalam posisi “tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam[2] (Al-Anbiya: 107)

Pakde Tarmihim bercerita tentang salah satu pengalaman kecil Mbah Sot:
“1.500-an keluarga terusir dari kampungnya, karena carok antar kelompok pekerja di perusahaan Inti Plasma. Terdapat polarisasi kepentingan antara dua kelompok sesama Plasma yang jumlahnya sekitar 5.500 keluarga. Ada pertentangan pandangan dan sikap para Plasma ini terhadap kebijakan atau peraturan perusahaan Inti. Yang satu cenderung taat, lainnya cenderung memberontak. Tapi itu belum tentu inti masalah yang sebenarnya.”

“Pertengkaran yang berkepanjangan itu membuat Inti rusak fasilitasnya, terbengkalai pabriknya, keruh suasana budayanya. Inti Plasma ini produsen suatu packaging produk kuliner terbesar kedua sedunia. Tetapi bentrok massal yang mengakibatkan kematian sejumlah orang dan beberapa lainnya masuk penjara, itu membuat produksi terhenti hampir dua tahun. Keluarga kedua belah pihak menjadi tidak berpenghasilan. Keprihatinan dan kesengsaraan sosial merambah”.

“Lokasi mereka di pelosok jauh sebuah provinsi. Tidak masuk akal dan tidak relevan bahwa Mbah Sot diminta untuk merukunkan dan mempersatukan mereka kembali. Bukan karena punya kemampuan, melainkan semata-mata karena tidak tegaan hati: Mbah Sot penuhi permintaan itu. Mbah Sot datang. Menemui masing-masing pihak satu persatu. Ketika bertemu, masing-masing para pemimpin kelompok berpelukan dengan Mbah Sot sambil mengucapkan “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad

“Kedua kelompok itu berasal dari suatu golongan besar “sepersusuan” (Ummat) nilai dan budaya. Beda konteks dan skala dengan Rakyat (Ra’iyat, kedaulatan) dan Masyarakat (Musyarokah, orang-orang yang berserikat). Mereka sama-sama pentradisi Shalawat, Tahlilan, Istighotsah, Hadlrah dan Rodat. Mereka sama-sama imigran dari Pulau Jawa. Sama-sama “wong cilik”, rakyat biasa yang lembut. Jadi kenapa mereka perang? Kenapa mereka menggunakan kekejaman (violence) untuk mengatasi masalah? Kenapa tidak “fatabayyanu an tushibu qouman bijahalah”? [3] (Al-Hujurat: 6). “Wain thoifatani minal mu`mininaqtatalu fa-ashlihu bainahuma[4] (Al-Hujurat: 9) – sebagaimana Al-Qur`an memandunya dengan begitu eksplisit teknis? Atau kenapa tidak pakai Pancasila, melainkan malah membubarkan musyawarah dan mufakat? Lantas bagaimana?”.
Kretek, 9 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu