Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

SAKTI, AHMAQ, ATAU KALAP (Seri Pancasila, 10)

Di tengah semacam perdebatan tentang Pancasila, ia malah memberi tawaran aneh: “Atau batalkan atau hapus saja Pancasila dari nilai keIndonesiaan, saya malah merasa aman kalau balik ke Indonesia”     “Lho, gimana to…”, tentu saja saya bingung.     “Sebab muatan Pancasila itu akhlak semua, sementara yang diperjuangkan Indonesia adalah materialisme”     “Aduh”     “Pancasila itu prinsipnya pembangunan manusia, bukan pembangunan Negara: manusia yang adil dan beradab. Gedung-gedung tinggi, kecanggihan teknologi dan kehebatan peradaban materiil hanya arena untuk memperjuangkan keberadaban manusia dan keadilan di antara mereka”     “Walah”     “Pancasila itu goal-nya keadilan sosial, bukan kemajuan fisik, bukan kemakmuran atau kekayaan”     “O jadi anti-materi ini ceritanya?” “O tidak. Anti-materi itu lucu, tidak nalar dan haram. Tapi kalau menyembah materi lebih konyol lagi. Materi itu ‘washilah’, perangkat atau sarana. Bukan ‘ghoyah’, bukan tujuan, bukan sesembahan yang dituhankan sebagaima

SURAT PENGUSIRAN (Seri Pancasila, 9)

Saya balik ke rumah setelah melakukan perjalanan agak jauh menemui sahabat saya di tengah hutan rimba yang hampir tak pernah dijamah oleh manusia. Cukup lama saya merayunya agar bersedia kembali ke Indonesia, tetapi tetap gagal untuk kesekian kalinya. Ia mengajukan tiga syarat untuk memenuhi permintaan saya. Tetapi syarat pertama saja tidak kunjung selesai kami sepakati. “Kapan Indonesia sudah ber-Pancasila, saya akan lega hati untuk kembali. Kapan saja Indonesia benar-benar menetapkan keseriusan konstitusionalnya untuk menegakkan Pancasila, serta  meneguhkan kesungguhan hati dan perilaku Pancasilanya, maka tanpa kau jemput kemari pun aku akan balik sendiri ke Indonesia…” Saya bilang sudah sejak lahir 72 tahun silam Indonesia sudah mendasari Negaranya dengan Pancasila. Dia membantah “Siapa bilang? Mana Buktinya?”. Kalau rakyatnya, terutama yang di bawah, relatif selalu sangat Pancasilais — tanpa merasa sok Pancasilais. Tapi elitnya? Pemerintahnya? Stakeholder-nya? Banyak perilaku merek

HARGA MATI NKRI (Seri Pancasila, 8)

NKRI Harga Mati adalah nasionalisme absolut. Ungkapan cinta total warganya kepada Indonesia. Orang yang mengucapkan NKRI Harga Mati bersedia mati untuk membayar cinta dan pembelaannya kepada Indonesia. Kalau pakai “rasa” atau “jiwa”: cinta Indonesia benar-benar tidak ada matinya. Terutama pada rakyat. Kesejahteraan dan kegembiraan hidup membuat mereka semakin cinta kepada tanah airnya. Kefakiran dan penderitaan tidak membuat berkurang cinta mereka kepada Indonesia. Sebagaimana suami istri. Kekayaan dan kebahagiaan sangat potensial membuat mereka makin cinta. Tapi kemiskinan dan kesengsaraan bisa justru makin merekatkan cinta mereka. Sebagaimana juga hidup ini sendiri, dengan jenis dialektika unik yang dikonsep oleh Tuhan. Rasa syukur karena kenikmatan hidup membuat manusia lebih dekat ke Tuhan. Tetapi cobaan, ujian, tekanan, sakit, duka dan galau, justru lebih efektif membuat manusia mendekat kepada Tuhannya. Akan tetapi kalau titik pijak kita bukan “jiwa”, melainkan ilmu dan rasio: mu

SILA-1: BUY TWO GET FOUR (Seri Pancasila, 7)

Dari berbagai bacaan, penjajakan dalam forum diskusi kalangan intelektual, serta puluhan kali jajak pendapat langsung dengan publik, muncul hipotesis tentang skala prioritas nilai yang terbalik antara budaya masyarakat kita sekarang, dibanding misalnya tujuh abad silam. Saya lempar terminologi tentang orang pintar, orang kuat, orang baik, orang kaya dan orang kuasa. Bagaimana urutan skala prioritasnya berdasarkan cita-cita utama masyarakat, idaman, arah perjuangan kariernya, juga kadar penghormatannya. Pada kecenderungan masyarakat ‘modern’ hari ini urutannya adalah: kaya, kuasa, pandai, kuat, baik. Terbalik dari skala prioritas manusia di peradaban-peradaban terdahulu. Cita-cita manusia sekarang ini kebanyakan adalah menjadi orang kaya. Orang kuat, orang pintar, orang berkuasa, bahkan mungkin orang baik atau orang alim atau orang saleh – orientasi primernya adalah ingin kaya. Orang pintar bergerak mendekat ke wilayah kekuasaan: siapa tahu jadi Menteri, sekurang-kurangnya Staf

AH, APA TUHAN ITU ADA (Seri Pancasila, 6)

Beberapa tahun terakhir ini sebagian, entah besar entah kecil, dari bangsa Indonesia semakin gagah berani melakukan tingkat kejahatan dan kadar kekejaman yang – untuk saya yang sudah tua – sangat mengerikan. Tetapi saya punya reserve berpikir bahwa bagi yang melakukannya, itu bukanlah kejahatan atau kekejaman. Sehingga sebagai orang tua yang berhati lemah, saya selalu menyiapkan kubangan khusus di dalam hati saya untuk menampung ungkapan-ungkapan yang gagah perkasa itu. Misalnya, seseorang bisa menuduh lainnya anti-Pancasila, sambil menghina orang yang dituduhnya. Dan di dalam penghinaan itu terkandung juga penghinaan-penghinaan lainnya, misalnya kepada Agama tertentu, Nabi, Tuhan, suku, golongan. Kalau menyelami kebusukan hati manusia sampai seperti itu, tidak kaget ada "klithih" di Yogya, di mana anak-anak muda tiba-tiba membacok leher orang yang lewat pakai motor, tanpa alasan apapun. Tidak heran wakil rakyat dan pejabat melakukan kadar korupsi yang pejabat-pejabat F

BERSEGERA MEM-PANCASILA (Seri Pancasila, 5)

Sudah pasti protes-protes menyerbu saya. Bagaimana mungkin simpan dulu Sila Pertama. Siapa yang bisa atur “maaf Tuhan jangan terlibat dulu, nanti pada babak berikutnya saja”. Meskipun maksudnya itu adalah tahap-tahap kependidikan, di mana manusia biar mengacu pada pembelajaran Al-Amin terlebih dulu sebelum siap menjadi “Abdullah” kemudian “Khalifatullah”, tapi kan mustahil peran Tuhan di-pending. Mosok Tuhan diatur agar beradaptasi terhadap proses sosialisasi dan inkulturasi Pancasila. Mosok Tuhan diikat rundown pembelajaran nilai, ilmu dan peradaban NKRI. Meskipun manusia mengabaikan-Nya, atau bahkan tidak mempercayai bahwa Ia ada, tetap saja bukan manusia yang menegakkan hukum gravitasi. Kalau Tuhan mengubah atau membatalkan kadar daya tarik bumi, setiap pesawat terbang harus menyesuaikan regulasi teknologisnya. Dan pada saat Tuhan membatalkan gravitasi, pesawat-pesawat berjatuhan dan gedung-gedung ambruk, segala tatanan fisik dan materi mengalami guncangan dan kematian massal. “Dan

SIMPAN DULU SILA PERTAMA (Seri Pancasila, 4)

Sebelum saya ketik tulisan ini, ada teman yang mencegat dengan pertanyaan yang meneruskan pertanyaan anak saya kemarin: “Apakah tulisanmu ini bermaksud ngomongin Indonesia, atau urun mengatasi masalah Indonesia?”. Saya japri dia: “Menurut Sampeyan apakah Indonesia bisa diomongin? Apakah ada yang didengarkan oleh Indonesia selain nafsu dan kepentingannya masing-masing? Apakah Indonesia sudah mengerti kebenarannya dan menyatakannya secara nasional? Kalau makhluk belum matang kebenarannya, apakah Sampeyan berani mengharapkan darinya kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan? Apakah menurut Sampeyan Indonesia berpendapat bahwa ia punya masalah? Apakah ia merasa sakit dan sedang berobat? Kalaupun dia sadar sedang sakit, berobatnya pasti ke pihak yang justru memberinya penyakit..” “Jadi?” “Tidak. Saya tidak ngomongin Indonesia. Apalagi urun mengobatinya. Semua tulisan tentang Indonesia ini sekadar setoran pribadi saya kepada pihak satu-satunya yang punya kemampuan untuk menyembuhkan Indon

PANCASILA BUAT ANAK-ANAKKU (Seri Pancasila, 3)

Saya mau meneruskan pertanyaan, tapi dialog diambil alih oleh mereka. Anak bungsu saya bertanya: “Kalau Qabil membunuh Habil, apakah itu inisiatif Qabil atau kehendak Tuhan?”. Kakaknya menyambung: “Andaikan tidak ada Pancasila, apakah bangsa Indonesia pasti akan terpecah belah, saling membenci dan bertengkar?” Akhirnya sambung-menyambung pertanyaan: “Apakah Pancasila adalah sesuatu yang berada di luar diri manusia dan bangsa, sehingga harus dimasukkan, dididikkan dan ditatarkan kepada mereka? Ataukah secara alamiah setiap manusia sudah memiliki nilai-nilai Pancasila di dalam jiwanya?” “Apakah Pancasila itu gagasan, inspirasi dan wacana dari Bapak-Bapak pendiri Republik ini, yang diwariskan kepada kita? Ataukah beliau membaca, menghayati dan menemukan Pancasila itu di dalam jiwa bangsanya serta jiwa Bapak-Bapak itu sendiri, kemudian merumuskannya untuk diwariskan kepada anak cucunya?” Kami sekeluarga sangat serius terhadap Pancasila. Ia bukan alat bermain kekuasaan dan komoditas

KARENA SAYA MANUSIA (Seri Pancasila, 2)

Saya bertanya kepada anak-anak: “Andaikan dalam hidup ini tidak ada hukum, apakah kamu mencuri?” “Tidak”, jawabnya. “Kenapa?” “Karena saya manusia” “Kenapa karena kalian manusia maka kalian tidak mencuri?” “Karena manusia punya akal, kemampuan berpikir tentang kewajiban dan hak, serta menghitung keseimbangan dan harmoni kebersamaan” “Kalau Tuhan tidak pernah mengutus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul untuk mengajak berbuat baik, apakah kamu berbuat buruk?” “Tidak” “Kenapa?” “Karena saya manusia” “Bukankah manusia wajar jika berbuat buruk?” “Ya. Tapi tidak wajar bagi kemanusiaan saya” “Bukankah baik maupun buruk adalah kelengkapan manusia?” “Menurut akal saya, baik dan buruk bukan untuk dilengkapkan, melainkan untuk dipilih. Dan saya tidak memilih keburukan” “Bagaimana kalau ada suatu keadaan yang tidak memberimu peluang kecuali berbuat buruk? Misalnya korupsi atau berdusta?” “Hati saya akan hancur, karena hati saya hanya siap dengan keindahan. Pikiran saya akan b

CATUR SILA (Seri Pancasila, 1)

Anak-anak saya yang di SMP dan SMU mulai banyak rewel bertanya tentang Pancasila. Bisa dipastikan saya menjadi gelagapan. Di zaman saya bersekolah dulu tidak pernah memperoleh muatan penjelasan yang matang sehingga nyantol di memori otak saya. Di masa dewasa saya juga tidak punya peluang untuk mengikuti P-4. Maka wajib saya mencari bahan-bahan dari berbagai sumber untuk menanggapi anak-anak. Saya tidak mau mereka anti-Pancasila, tapi saya juga keberatan kalau dalam kehidupan anak-anak saya Pancasila hanya jargon, lipstik, proforma pergaulan bernegara. Saya takut anak-anak saya terlanjur mengenal nilai tanpa mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Lebih mengerikan lagi kalau besok-besok anak saya tersangkut dalam arena persabungan kekuasaan politik. Yang karena goal urusannya adalah kalah menang, bukan benar salah atau baik buruk – maka mereka memegang Pancasila di tangannya tidak untuk keindahan nilai dan kebijaksanaan laku kehidupan. Saya akan masuk neraka kalau anak-anak saya mempe

FITNAH JA'DAL (Bedhol Negoro, 10)

Betapa riang gembira hatiku melihat Indonesia baik-baik saja keadaannya. Indonesia sangat mantap dengan dirinya. Sangat percaya diri dengan keputusan langkah-langkahnya. Indonesia menegakkan pilar-pilar kemajuannya, tanpa ada masalah dengan harta benda tanah airnya, tidak ada kemerosotan pada kedaulatan Negaranya maupun harga diri kebangsaannya. Indonesia sudah sangat teguh keyakinan atas dirinya sendiri, hari ini dan masa depan. Sudah tidak merasa perlu mempertanyakan apapun kepada dirinya. Sudah beriman penuh kepada prinsip dan formula kenegaraannya, kepada anatomi otoritas kenegaraannya, kepada konstruksi dan pilar-pilar konstitusinya. Indonesia tidak memerlukan cermin untuk berkaca dan mere-evaluasi dirinya. Indonesia melangkah dengan gagah ke masa depan. Indonesia wajahnya sangat cerah dan tenang, badannya tegak, dadanya membusung, hatinya tidak resah dan pikirannya tidak berisi pertanyaan-pertanyaan. Indonesia benar-benar tidak bergeming oleh apapun saja, sangat yakin pada kepemi

BALADA WEDUS (Bedhol Negoro, 9)

Di awal sekolah SD Kakek mengantar saya membeli kambing gibas yang berbulu tebal putih. Di desa kami gibas juga lazim disebut Wedus Strali (Australia).  Satu induk betina dengan dua anaknya. Dari Pasar Peterongan saya seret susah payah sejauh 5 km ke Menturo desa saya. Bagi yang ingin tahu betapa ‘sengsara’-nya menyeret kambing menempuh jarak sejauh itu, satu-satunya jalan adalah mencobanya sendiri. Beberapa tahun saya memeliharanya, angon, menggembalakannya setiap usai sekolah bakda shalat Dluhur hingga sore menjelang Maghrib. Saya bergabung dengan banyak para penggembala senior. Kambing saya beranak pinak sampai lebih 20 ekor. Kami menggembalakan kambing di arena tangkis, lapangan bola atau jalanan ke kuburan. Kami bekerja sama menjaga beberapa titik dan area, karena para kambing sering tersesat atau menyesatkan diri dalam mencari rumput. Kalau saya ingat masa itu, sering tersenyum-senyum sendiri. Pasalnya, kami para penggembala kambing gibas selalu merasa cemburu kepada teman-teman

CUCU GARUDA (Bedhol Negoro, 8)

Alangkah tak terbatas jumlah fakta kehidupan yang saya tidak tahu. Saya sama sekali buta pengetahuan tentang berapa perbandingan prosentase antara jumlah kasus korupsi dibanding yang diproses oleh KPK. 50-50-kah? 99-1-kah? 99,999-00,001-kah? Kalau dalam satu kasus korupsi kolektif diolah, berapa perbandingan antara yang didakwa dan dihukum dibandingkan yang tidak? Kalau ada bantuan dana untuk desa, berapa ratus atau ribu jumlah “Desa Hantu”? Yakni desa yang tertera di lembaran birokrasi namun tak ada di permukaan Bumi? Kita tidak punya data, dan tak punya jalan untuk mendata, yang kesimpulannya adalah “semua pejabat adalah koruptor”, meskipun kita tidak berdosa untuk merasa “sukar membayangkan bahwa ada pejabat yang tidak korup”. Iseng-iseng adakah di antara Anda yang punya data tentang salah seorang prajurit Korea yang dipaksa menjadi tentara Jepang, ikut menjajah ke Indonesia, kemudian membelot, bergabung ke Tentara Rakyat Indonesia dan berganti nama menjadi Mustakim? Ada apa sebenar

TUHAN SEBAGAI PELENGKAP PENDERITA (Bedhol Negoro, 7)

Pada edisi kesepuluh saya akan paksa khatamkan tulisan ini. Sekadar sebagai laporan pengabdian kepada yang menugasi saya menjadi rakyat kecil di Indonesia yang besar. Asalkan Beliau tidak memurkai saya, cukuplah sudah darma dan ibadat hidup saya. Adapun bangsa Indonesia, udah pada gedè, wis gerang-gerang. Bangsa besar ini, dengan seluruh perangkat sejarahnya, sudah sangat dewasa dan matang untuk tepat melangkah ke masa depan. Saya merdeka untuk kembali masuk hutan dengan hati tenteram. Karena bangsa ini sudah tenang, sudah mencapai toto tentrem kerto raharjo , gemah ripah loh jinawi. Sudah baldatun thayyibatun, dan toh tidak terlalu penting apakah Robbun Ghofur atau tidak. Sejauh ini telah saya kuak-kuak sejumlah pintu di masa silam. Ah, tetapi semua itu terlalu jauh ke belakang. Memangnya ada yang merasa perlu tahu tentang masa silam? Apakah pernah ada gejala bahwa Indonesia membutuhkan belajar kepada masa silam? Seberapa jauh rentang ke masa lampau yang diperlukan oleh Indonesia hari

SANTRINYA TUHAN DAN PUSAR NABI ADAM (Bedhol Negoro, 6)

Tamu yang lain lagi memberondong saya dengan parade pertanyaan yang bobotnya bisa membuat kepala saya retak. Sekumpulan anak-anak muda yang luar biasa: cerdas, berani menerjang, pandangannya penuh lengkungan dan lipatan dalam bulatan. Mereka bukan “anak didik Indonesia”. Mereka santrinya Tuhan. ‘Allamal insana ma lam ya’lam. Allah mengajarkan kepada mereka apa-apa yang mereka sebelumnya belum mengetahui. Di hadapan mereka, saya menjadi orang tua dungu yang tidak efektif, sakit-sakitan sehingga sering muntah-muntah. Sementara mereka tegak berdiri dan berjalan dengan kewaspadaan terhadap masa depan. Ittaqullah waltandhur nafsun ma qaddamat lighod wattaqullah. Anak-anak muda pentaqwa Allah dengan mewaspadai kehidupan, kemudian berjalan mengarungi masa kini hingga ke depannya, tetap dengan kewaspadaan terus di setiap langkahnya. “Buktikan apa benar Walisongo itu benar-benar ada”, salah seorang menerjang, “Beberkan kepada kami fakta bahwa Majapahit berkuasa se-Nusantara, atau bahkan se-Asia

WAYANG INDONESIA (Bedhol Negoro, 5)

“Cuma wayang? Cuma bayang-bayang? Lantas yang nyata yang mana? Kamu pikir Indonesia ini nyata? Kamu pikir yang kayak gini ini Indonesia? Kamu pikir Indonesia yang begini ini nyata sebagai Indonesia?” "Sungguh-sungguhkah kamu mengenal Indonesia, mencintai dan peduli padanya? Bisakah kamu berpikir bahwa bangsa yang seperti ini adalah bangsa Indonesia? Kamu pikir ini adalah manusia Indonesia? Kamu pikir begini ini Garuda?” “Lho bagaimana sih Mbah ini…” “Kamu pikir yang begini ini kita? Kamu pikir Indonesia sekonyol ini? Serendah diri ini? Sepengemis ini? Se-tak-cerdas ini? Selemah ini? Semiskin ini? Sehina ini? Segampang ini ditipu daya? Dikooptasi, dikolonisasi, dimobilisasi? Kamu pikir Indonesia lebih memilih makanan daripada pakaian? Kamu pikir Indonesia berkata: “Biarlah aku tak pakai cawat dan celana, asalkan pakai jas. Biarlah aku tak berpakaian, asalkan bisa makan? Biarlah aku tak punya martabat, asal makmur sejahtera”? “Mbah ini omong apa!” “Tidak. Dan bukan. Ini bukan Indone