Skip to main content

Membubarkan Kepentingan (Daur 265)

Pakde Tarmihim meneruskan ceritanya tentang Mbah Markesot:
“Tiga kali Mbah Markesot menemui 5.500 masyarakat Plasma itu secara bertahap. Untuk mempelajari kenapa mereka berperang, menyerbu dan diserbu. Seorang “filosof” Terminal Bus Tirtonadi mengatakan: Kakek-nenek masyarakat Jawa dulu mewanti-wanti bahwa sebelum bertengkar dengan orang pertanyakan dulu “opo perkarane, sopo musuhmu, oleh-olehane musuhan opo”. Apa perkaranya, siapa musuhmu dan apa perolehan dari permusuhan itu.
Dalam mengidentifikasi apa perkaranya, bisa terdapat jurang perbedaan antara yang dipahami oleh massa dengan yang sebenarnya dimaksudkan oleh para pemimpinnya. Atau bahkan massa tidak mengerti motivasi, pamrih atau kepentingan para pemimpinnya.”
“Di jarak antara pemimpin dengan yang dipimpin bisa terdapat disinformasi, manipulasi, kebohongan, atau kepentingan tersembunyi para pemimpin yang sengaja disembunyikan dari pengetahuan massanya, namun memobilisasikan mereka dengan mengatasnamakan kepentingan massa itu. Ketika permusuhan sudah menggejala, apalagi mewujud atau menemukan bentuknya: yang muncul kemudian bukan hanya “perkara”-nya, tapi juga harga diri kelompoknya, “lingsem” dan “mundur isin” alias “malu kalau mundur” dan terus terjang meskipun sampai ke liang lahat.”
Siapa musuhmu?” Sesama pensyahadat, sesama pensholat lima waktu, sesama pemuasa Ramadlan, sesama pemenuh kewajiban zakat, sesama pencita-cita Haji, tetapi tidak se-kepentingan dunawi. Meskipun sesama penshalawat dan sesama “penerbang” Jawi atau Martapuran, tetapi menghalangi keuntungan materiilku. “Apa perolehan dari permusuhan itu?” Kesengsaraan bersama. Kebersamaan memasuki jurang kemiskinan. Serta kekompakan menghancurnya diri sendiri.”
”Sangat jelas Rasulullah menginformasikan: ‘Jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian Wahn’. Apa itu Wahn? ‘Cinta dunia dan takut mati’.” [1] (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Mereka tidak percaya kepada tanggung jawab Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya. Lantas takut mati, takut tidak kaya, takut tidak makan. Sehingga berebut, mencuri, memonopoli, mentang-mentang.
“Mereka adalah bagian dari bangsa yang semakin jinak dan mudah untuk ditipu oleh dunia. “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. [2] (Al-Hadid: 20). Manusia makhluk Ahsanu Taqwim yang diistimewakan oleh Penciptanya ini dibikin pandir dan dungu oleh kesenangan dunia, sehingga menjadi Asfala Safilin. [3] (At-Tin: 4-5).
Mbah Sot mengajak sejumlah pemimpin mereka duduk bersama di tepi hutan. Entah apa saja yang dikemukakan Mbah Sot, tetapi itu Allah dan para Malaikatnya tidak tega, sehingga menolong mereka untuk akhirnya menyatu kembali. Pada pertemuan ketiga berkumpul semua kelompok dengan massanya. Mereka menangis berpelukan. Kemudian mesin Inti berputar kembali dan pelan-pelan mencapai ranking ekspor dunia kembali.”
“Ukhuwah itu tercapai dengan cara membubarkan kepentingan segelintir orang, menggantikannya dengan pemahaman dan optimisme bersama bahwa kebersamaan dan kesatuan adalah wadah dari perlindungan Allah dan kemurahan rezeki-Nya. Wilayah itu sekarang menjadi Indonesia Kecil yang tenteram sumringah. Sangat berbeda dengan Indonesia Besar yang dipenuhi dendam dan amarah.”
 
 

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak