Skip to main content

Posts

Showing posts from 2010

Suluk Tuhu Linglung (2)

Terlebih yang belum yakin benar ia Terbelenggu hanya oleh tata krama Sembahyang sunnah dan fardhu tak putus-putusnya Agar tertabiri ketidaktahuannya Puasa dan sedekah Juga zakat fitrah-nya Dijadikan berhala yang dipuja-puja Sungguh mereka yang sedemikian terlena Belum seberapa baktinya Pengetahuannya masih biasa-biasa saja.

Suluk Tuhu Linglung (3)

Sepedati penuh kertasnya Tiada lain yang diperbincangkan Kenapa sedemikian sesat Memeluk titipan tanpa sisa Terlena karena dipercaya Padahal itu tak benar-benar disadarinya Nabi, wali, mukmin, sirna Hancur, lebur, luluh, musnah, hilang Namun tak dicapainya kekosongan. ("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Suluk Tuhu Linglung (1)

SULUK TUHU LINGLUNG Dhandhang Karya Sunan Panggung Tuhu Linglung 1 Merasuki sastra Sungguh bisa bikin bingung Yang diolah senantiasa gagasan Ilmu diuraikan Lafal dihitung-hitung Benar salah dipersoalkan. Maka bukanlah tanda orang berpengetahuan Jika terpana hanya dalam laku Merasa malu untuk mengulang bertanya Seakan telah ia temukan segala Padahal belum apa-apa. ("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Para Patriot (4)

Anak kita yang lain dari Jl. Kartini, Babad, juga memerlukan bantuan biaya untuk sekolah, sambil mengutip Surat at-Taubah 103 rnengenai "mensucikan harta" dengan cara menyedekahkan. Sambil mengingatkan agar tak usah "menodong" dengan ayat, saya tetap imbaukan kepada calon Bapak atau Ibu Penyantun. Termasuk buat anak kita yang lain, siswa Aliyah di Guluk-Guluk (Luk-Guluk), Sumenep, Madura, yang orang tuanya megap-megap karena kapital teri tembakaunya semakin tak bisa diandalkan. "Pekerjaan saya dan keluarga adalah bercocok tanam," katanya, "Cak Nun, apakah zaman sekarang ini memang bukan zamannya kaum tani? Apakah ini yang disebut Gelombang Industri dan Gelombang Teknologi Informasi, di mana Gelombang Agraris sudah lewat, sehingga kami tak punya prospek hidup?" Jembatan Madura-Surabaya baru akan dibangun, memang. Artinya, dari Madura yang masa silam" baru akan ada jembatan ke masa depan" itu akan juga sangat menggelisahkan. Belum tentu M

Para Patriot (3)

Anak kita, seorang pelajar SMA yang tinggal di Jalan. P. Sentik, Tanah Grogot, Kalimantan Timur, berkirim surat meminta sebuah mesin ketik. "Itu sangat berarti bagi saya, untuk mengembangkan bidang tulis menulis untuk dimuat di media massa," katanya. Ini salah satu contoh dari banyak anak-anak kita yang bersurat ke rubrik ini, yang memandang kehidupan ini sedemikian sederhana dan penuh jalan pintas. Bekerja sebagai penulis sedemikian gampangnya: ada mesin ketik, menulis, lantas dimuat di media massa. Padahal jarak antara mesin ketik dengan menulis itu bukan main lebar dan ruwetnya. Apalagi jarak antara tulisan dengan pemuatan di media massa. Tentu saja akan sangat mengharukan kalau lantas ada yang bermurah hati mengiriminya mesin ketik. Tetapi harus kita ingatkan bahwa itu belum tentu merupakan 'jalan keluar' bagi sukses menjadi seorang penulis. Juga pastilah siapa saja yang beritikad untuk menolong, ia berhak dan memang lebih afdhal apabila terlebih dahulu bersilatur

Para Patriot (2)

Seorang pendeta di Tarus, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang saya pernah bersendau gurau dengannya semalam-malaman, menginginkan anggotanya dalam organisasi pengembangan masyarakat ke Pulau Flores yang ditimpa bencana, untuk melihat apa-apa yang mereka bantu. Memang ada beribu hal yang diperlukan oleh penduduk pulau malang itu dan setiap orang, setiap kelompok atau institusi, menjajaki tingkat kesanggupannya untuk menolong. Salah seorang anggota yang dikirim itu, sesudah melihat lapangan, mengajukan proposal kepada Pak Pendeta: Butuh biaya kurang lebih satu juta rupiah untuk perbaikan dua mushalla yang legrek (rusak berat) oleh gempa. Ibarat kalau ada orang kejet-kejet ditabrak truk, segera saja Anda lari menolongnya, tak usah dulu tanya kepada korban apa agamanya, apa madzabnya, apa alirannya dan apa proposalnya. Dan Pak Pendeta ini dengan senang hati bersurat melanjutkan keperluan perbaikan tempat ibadat itu. "Tapi terus terang saya agak takut-takut inisiatif saya ini tidak diduk

Para Patriot (1)

Sahabat kita yang lain adalah seorang pemuda gagah namun pekerja keras. Ia mahasiswa (Agronomi di satu universitas swasta Malang, Jawa Timur), namun tak malu bekerja kasar. Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang-tuanya rnemanggul beban terlampau berat, sehingga ia memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidak-tidaknya mungkin ia malu: Wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa kok numpang makan dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat. Mosok ujung tombak era industrialisasi dan globalisasi kok nyusu pada orang agraris-tradisional. Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan, namun masih belum sumbut untuk keperluan sehari-hari dan biaya kuliah yang merupakan idaman orang tua. Pernah juga ngenger ke sejumlah orang kaya, tapi belum saling ada kecocokan. Apa yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang

Awas, 'Waswasa Yuwaswisu' Hatimu

Tersebutlah seorang tukang tenung alias sihir atawa santet bernama Labib bin Asham, seorang Yahudi. Pada suatu hari Rasulullah Muhammad Saw. menderita sakit yang bukan saja memarahkan, tapi juga aneh dan sukar diidentifikasi. Disantetkah beliau? Seorang Nabi, seorang Rasul, perutusan dan kekasih Allah yang ma'shum, mempan disantet? Tetapi memang mukjizat Muhammad adalah bahwa ia Nabi yang biasa-biasa saja. Yang Tidak terpelajar. Bukan jagoan intelektual dan tak ahli bikin syair. Tidak otot kawat balung wesi hingga tak terbakar oleh api seperti Ibrahim. Tak punya tongkat ajaib semacam Musa atau telapak tangan sakti bak Isa. Muhammad lumrah-lurnrah saja. Oleh karena itu ia populis, aktual dan tidak elitis. Tidur beralaskan daun aren ya OK. Baju tinggal satu diminta orang ya dikasihkan. Kalau kelaparan perutnya diganjal batu sehingga menggembung bak Dul Gendut. Maka hari tatkala beliau sakit aneh, didatangkanlah oleh Allah malaikat-Nya. Bagaikan dokter dan perawat, malaikat yang satu

Buruh 3

Akhirnya teman-teman pekerja itu mengetahui Para juragannya amat sangat sibuk untuk menyediakan waktu menatar buruh-buruhnya: untuk itu, saya menyarankan agar mereka membuat aktivitas drama". Maksud saya, daripada kalau nganggur-nganggur hanya diisi dengan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa mendaya -gunakan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri. Bisa kumpul-kumpul di Balai RK atau di asrama atau tempat kost mereka. Tidak intuk membuat sandiwara seperti Rendra yang besar-besar, melainkan sekadar untuk proses penataran diri. Ini perlu karena proyek penataran pemerintah tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi kaum buruh harus tahu bagaimana menatar diri mereka sendiri. Apa yang penting dalam drama itu bukan pementasannya, melainkan proses pembuatannya. Misalnya dalam menentukan lakon, mereka bisa mendiskusikannya, menggali dari pengalaman-pengalaman sebagai buruh. Mereka menginventarisasi, menganalisis, mendiskusikan dan menentukan artikulasinya.

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak

Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama. Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua. Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ket

"Sawang Sinawang" Politik

Hidup ini sawang sinawang. Juga kebudayaan. Dan politik. Pada sisi positif, sawang sinawang mengandaikan empati antar manusia pihak dalam pergaulan. yakni kesediaan dan kesanggupan untuk pada saat-saat tertentu mengidentifikasikan diri sebagai orang lain kepada siapa seseorang bergaul. Seorang suami dituntut untuk membayangkan seandainya ia adalah istrinya. Ini suatu metode penghayatan atas posisi mitra hidup. Suatu cara untuk saling bercermin. Sang suami. ikut "berada" dalam atau setidaknya rnerasakan posisi-posisi istrinya tatkala membuatkannya kopi, mengecupnya sebelum berangkat kerja, menelentang buat gairah suaminya. Demikian juga sebaliknya, sang istri berempati atas posisi suaminya. Itu semua merupakan metode untuk "menjadi satu", sebab suami dan istri adalah "satu pihak", meskipun dalam sejumlah urusan ada "pihak suami" dan ada "pihak istri". Keseimbangan pergaulan, keadilan hak dan keselarasan hati serta demokrasi menejemen per

Oknum

Kali ini tampaknya justru saya yang berkonsultasi kepada Anda. Ini menyangkut keluhan seorang ibu rumah tangga yang batinnya sedang sangat tertekan. Berasal dari wilayah dekat kampung halarnan saya sendiri, yakni Mojoagung, Jombang, Javva Timur. Pernahkan Anda membayangkan bahwa di antara hal-hal dan realitas yang saya ketahui, hanya sekitar 25 persen saja--bahkan mungkin kurang dari itu yang bisa saya ungkapkan melalui tulisan? Ada banyak pintu tertutup atau rambu nilai yang membuat sangat banyak harus disembunyikan atau ditutup-tutupi. Ada 'rambu' tata aturan politik. Ada etika sosial, baik yang universal maupun yang nasional dan yang khas budaya Jawa. Ada kode etik jurnalistik. Ada 'rambu' SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan lain sebagainya. Itu semuia membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan, melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan str

Bersalaman dengan Gadis Gila

Hari ini saya menerima surat dari sebuah kota pesisir utara Jawa yang berisi permohonan maaf kepada saya. Tentu saja saya membalasnya dengan kata-kata: "Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda, sebab menurut pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, melainkan kepada Tuhan, kepada gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri." Meminta maaf kepada diri sendiri bisa ditempuh dengan penginsafan hati dan pembenahan cara berfikir. Memohon ampun kepada Allah bisa dijalankan dengan cara bersujud, shalat sebanyak-banyaknya, kalau perlu puasa dan menyampaikan qurban sebagai semacam ruwatan atau pembersihan diri. Tetapi bagaimana caranya meminta maaf kepada seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan? Ceritanya, beberapa minggu yang lalu datang ke rumah kontrakan saya tamu-tamu muda anggota suatu kelompok Tarikat. Pakaian mereka necis, rambut klimis, gerak-gerik mereka memenuhi segala konsep kesopanan, dan cahaya wajah mereka bagaikan memancarkan sima'hum fi wujuhihi

Memasak Nasi dengan Doa dan Asap Dupa

Ayah saya panik melihat gejala saya akan menjadi mahasiswa abadi. Maka ia mengajak saya ke orang tua, semacam dukun...," tulis seorang gadis manis asal Ngawi, mahasiswa Sastra Inggris yang tampak sebel dengan banyak hal di keluarga juga di lingkungannya. Mungkin saya sendiri yang bersalah. Hati saya terlalu menampung siapa saja. Antara lain yang berhubungan dengan perdukunan dan lain sebagainya, yang kemudian pernah saya tuliskan di media massa dengan judul Kasekten dan Kagunan. Kalau di Yogya atau di beberapa tempat lain ada orang mau bikin apa-apa, nama saya suka dipakai untuk dijadikan stabilo kultural. Ada seminar kasekten, diskusi paranormal, pendirian badan pengobatan klasik non-medis: lho kok saya yang disuruh ngasih pengantar atau tampil di pers conference. Seolah-olah lantas menjadi sah kalau saya sudah bilang "Okay!" Padahal dalam banyak urusan semacam itu saya dukung karena berkaitan dengan perluasan lapangan kerja. Prestasi pembangunan kontemporer kita antara

Kepada Siapakah Engkau Mengeluh?

Kepada siapakah engkau mengeluh? Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata? Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong? Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis. Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk? Kalau untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu? Kalau istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di jalan umum? Kalau nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak KAdus, Pak Kades atau para pamong lainnya yang merupakan pengayorn masyarakat? Kalau dalam suatu k

Leher Kambing si Miskin

Sukses kampanye tauhid Rasululiah terutarna karena mengandalkan uswatun khasanah: teladan hidup yang bersih dan konsisten. Tak banyak omong. Mulut beliau Terpelihara. Beda dengan hobi kita sekarang. Memang, asyiknya Nabi utusan Tuhan terakhir, Muhammad Saw., ini bukan hanya karena beliau itu manusia lumrah raja, aba ahadin min-kum (sebagaimana bapak anak-anak pada umumnya). Bukan karena karakter kerasulan beliau serius mengandalkan mukjizat atau kasekten yang aneh-aneh. Namun yang paling mengasyikkan adalah bahwa putra Abdullah ini buta huruf dan mernilih hidup melarat. Pada suatu hari datang bertamu kepada beliau seorang anak yang menyampaikan pesan ibunya agar Nabi memberikan sesuatu kepadanya. Nabi berkata, "Hari ini kami serumah tak punya apa-apa." Si anak ngeyel, "Kata ibu, kalau tak punya apa-apa, mohon Nabi menanggalkan baju dan memberikan kepada kami." Muhammad pun menanggalkan bajunya, memberikannya, kemudian duduk dalam rumah, kedinginan dan agak menyesal.

Kiai nDablek Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta ya Allah tak tertahankan! Di pasar loak Surabaya, menyaksikan nasib ratusan orang terselip-selip di antara tumpukan besi-besi dan segala macam barang rongsokan, hatiku luluh. Di pelosok-pelosok kota dan desa, menatapi ibu-ibu, bapak-bapak, bersimbah keringat mernperjuangkan nafkah keluarganya, hatiku gugur. Di sepanjang jalanan, bersapaan dengan gerak kaki lima, anak-anak penyemir sepatu, remaja-remaja pengamen, pengemis-pengemis, hatiku gugur. Di mana-manapun saja, wajah-wajah berkeringat, tangan-tangan perkasa, para buruh, penjaga-penjaga pintu gerbang rumah-rumah modal, sopir-sopir, penjaja-penjaja makanan, pegawai-pegawai rendahan, pelayan-pelayan kepentingan sesama manusia; hatiku tercampak. Aku pengembara di hamparan semestamu, ya Allah. Aku pencari wajah-Mu yang terpencar di wajah-wajah berminyak sahabat-sahabatku sesama orang kecil yang terhampar di segenap sudut ruang-ruang-Mu dan melintasi keabadian waktu-Mu. Melintasi keabadian waktu-Mu, ya Allah, karena oran

Cerdas, Terampil dan Jujur, tetapi Melarat

Seorang pemilik bengkel kendaraan bermotor dan toko onderdil tidak bisa memahami ulah seorang karyawanny a. Dalam suratnya ia menyatakan kebingungannya, apakah harus memecatnya atau memeliharanya terus. Karena di samping hal-hal tertentu merugikan bisnisnya, si karyawan ini juga merupakan kekayaan tersendiri da!am lingkaran usahanya. "Dia memiliki keterampilan alamiah di bidang permesinan, bisa menangani yang kecil-kecil seperti jam tangan sampai mesin truk, dan tampaknya punya pengetahuan yang tidak rendah tentang mesin kapal. Mungkin kalau pesawat ia angkat tangan, tetapi terhadap apa saja yang baru dan ia belum tahu, ia begitu penasaran. Dan kalau sudah penasaran, ia akan menghabiskan waktu untuk mempelajarinya, sehingga tugas-tugasnya terbengkalai. Ia lebih merupakan seorang "ilmuwan" daripada seorang karyawan bengkel mesin. " demikian tulis usahawan kita yang pusing ini. "Ia otodidak penuh, mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sejak kanak-kanak. K

Darah Dagingku Riba

Seorang mahasiswa di Malang, melalui suratnya, menyatakan rasa cemas jangan-jangan yang selama ini ia makan dari orangtuanya yang pedagang itu adalah riba. Bahkan, barang haram. Ia mencoba mengislahnya, memperingatkan orangtuanya, memberontak dan terus mencoba menyatakan sikap. "Dalam berdagang," tulisnya, "Bapak saya selalu mencampurkan antara barang yang bagus dengan yang jelek, sementara ia memberi harga seolah-olah semuanya adalah barang bagus, dan pembeli tidak diberitahu bahwa barang itu campuran. Jelas dalam hal ini mengandung penipuan. Sebagai putrinya saya telah berusaha menasehati bapak, juga berdoa kepada Tuhan agar beliau menghentikan kecurangan itu. Tapi bapak terus saja, padahal seluruh makan minum dan biaya hidup saya berasal dari kecurangan ini. Saya jadi merasa bahwa saya juga berdosa. Bahwa seluruh perbuatan baik saya, shalat, puasa dan amal-amal saya tidak ada gunanya. Darah daging saya ini riba, haram...." Memang. Para penjual bensin eceran di ki

Kontraktor Pembangunan

Seseorang yang beberapa hari lagi hendak dilantik sebagai Walikota, pada suatu malam berkunjung ke rumah kakaknya yang bekerja sebagai penjual barang kelontong di sebuah toko kecil. Maksus kedatangannya adalah untuk meminta semacam petuah-petuah yang mudah-mudahan berguna bagi tugas-tugasnya sebagai pemimpin tertinggi masyarakat kotanya. Itu bukan hanya karena yang ia datangi adalah kakak kandungnya. Tetapi juga karena lelaki itu adalah calon rakyatnya. Maka setelah bersilaturrahmi, dikemukakanlah maksudnya yang mulia itu. Dan kakaknya langsung menjawab: “Pokoknya saya sebagai kakakmu ingin mengemukakan satu nasehat saja”. “Ya Kak”, jawab sang calon Walikota. “Kalau kamu nanti bertugas sebagai Walikota, saya minta jangan sekali-sekali kamu menyuruh rakyatmu untuk berpartisipasi dalam pembangunan!” Bagai disambar geledek di siang bolong. Tentu saja. Sang calon Walikota kaget berat. Tidak boleh menyuruh rakyat berpartisipasi dalam pembangunan? Nasehat cap apa ini! Dari mana kakaknya mend

Demokrasi dalam Islam

Semua bisa salah. Doktor bisa salah, cendekiawan bisa salah, politik pun bisa salah, mahasiswa juga sering salah. Apalagi pemerintah, sangat banyak membuat salah. Maka jika semua yang saya sampaikan ini salah karena saya manusia, namun jika benar hanya dari Allah Swt. Hampir setiap hari kita mendengar analisa, ungkapan, kesimpulan, persepsi-persepsi dari ilmuwan, cendekiawan tentang Islam. Dari pembicaraan-pembicaraan itu selalu terkesan bahwa Islam itu tidak mengenal demokrasi. Tidak hanya umat Islamnya, tetapi seolah-olah Islamnya juga tidak mengenal demokrasi. Mereka dianggap sangat terbelakang, ganas, sutka mengamuk, dan tidak demokratis, egois dii. Saya sebagai umat Islam itu merasa begitu kampungan karena tak mengenal demokrasi. Padahal demokrasi di dalam Islam sesungguhnya hanya sepetak nilai dari nilai Al Qur'an yang sudah diturunkan. Di dalam Al Qur'an, jangankan demokrasi dalam konteks negara demokrasi dalam konteks alam seluruhnya juga terkandung. Demokrasi ala Yunan

Santri dan Modernisasi

"Era Modern" Apa yang kita sebut "era modern", memiliki daftar distorsi makna nilai-nilai kehidupan jauh melebihi era peradaban umat manusia sebelumnya. Borok paling serius dari "era modern" adalah inkonsistensi nilai-nilai, paradoksalisasi atau pembalikan filosofis, serta ambivalensi perilaku - personal maupun sistemik - yang disofistikasikan sedernikian rupa sehingga nampak tetap gagah dan indah. Maka ada suatu pemahaman dibawah sadar setiap bidang aktivitas, bahkan dalam pikiran setiap orang bahwa yang tidak modern adalah terbelakang, tidak maju dsb. Maka setiap orang berlomba-lomba memasuki peradaban modern. Kalau mengacu pada pemikiran Weber tentang etika protestant menurutnya ada. hh "Need for Achievement". Asumsi yang sama juga dianut oleh paham modemisasi dalam Islam. Keterbelakangan umat menurut mereka adalah akibat dari 'ada yang salah' dalam teologi yang dianut kaum Muslimin. Mereka menuduh teologi tradisional sebagai penyebab