Skip to main content

Ganti-Berganti Membubarkan (Daur-II • 267)

“Kebenaran hanya wajah, bukan jiwa. Kebenaran hanya kostum, bukan muatan dalamnya. Kebenaran hanya brand, bukan zat yang diwakilinya. Pancasila hanya wajah. Bhinneka Tunggal Ika hanya papan nama. Tidak mustahil Khilafah dan Syariat Islam juga hanya merek”.

“Pada suatu bangsa dan Negara yang mengizinkan kemunafikan tingkat tinggi menguasainya, bahkan memang dinikmatinya, Iblis pun dituhankan, asalkan menyumbang uang dan menjanjikan keuntungan. Dajjal, hantu, Jin, domba atau monyet pun dipuja-puja, dikasih serban dan peci, dikostumi dengan ornamen bulatan atau kotak-kotak, disembah, dicium tangannya, diberi podium dan mikrofon – asalkan menguntungkan secara keduniaan”.

“Kebenaran adalah nama dari suatu kepentingan yang digenggam oleh tangan kekuasaan. Kalau penguasa berganti, yang digenggamnya adalah kebenaran juga, tetapi bertentangan dengan kebenaran di tangan penguasa sebelumnya”.

Kebenaran yang dimaksudkan oleh Indonesia berbeda dari “Kebenaran berasal dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu”. [1] (Ali ‘Imran: 60)

“Kalau penguasa berkuasa mutlak dengan kebenaran subjektif di tangannya, maka pastilah itu tuhan. Tuhan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dinomorsatukan. Negara yang kebenarannya adalah kepentingan kekuasaan, tuhannya berganti-ganti. Tuhan satu memberangus tuhan yang lain secara kompetitif dan terus-menerus berebut satu sama lain. Bangsa yang kepada dirinya sendiri pun tak percaya, setiap kali siap menyembah tuhan yang baru, yang bukan tuhan sebelumnya, serta kemungkinan besar bukan tuhan yang berikutnya”.

“Bangsa yang berkendaraan kemunafikan, kaum cendekiawan yang aplikasi utama pengelolaan kariernya adalah kemunafikan, dan siapapun saja di ranah, level dan segmen apapun, yang sisa harapan hidupnya adalah bergabung ke dalam nasionalisasi kemunafikan – membela mati-matian tuhan yang menjadi sumber nafkah keluarganya, membenci tuhan yang tidak berkuasa, sambil mempelajari kira-kira yang mana tuhan yang akan berkuasa untuk didekati dan disembah”.

Tarmihim bercerita teman-teman pernah mendesak Markesot bahwa keadaan masyarakat dan Negara yang semacam itu menuntut kita semua untuk berjuang dua tiga kali lipat kadarnya. Berpikir lebih keras dan melakukan perlawanan lebih nyata. Markesot menjawab: “Sangat bagus. Segera lakukanlah asalkan matang seluruh perhitungan dan pertimbangannya. Saya juga berpikir bahwa memang demikian kebenaran yang harus kita perjuangkan. Tetapi kebenaran itu saya simpan di dalam hati saya. Begitu saya harus menyentuh keadaan dan semua pelaku perusakan, jari-jari saya bukanlah kebenaran, melainkan hikmah.

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [2] (An-Nahl: 125)

“Terjunlah langsung ke aroma kehidupan, pahami komplikasi pemetaannya. Kau akan temukan ada yang jelas hitam-putih, ada juga yang warna-warni. Ada warna di dalam hitam maupun putih, ada putih dan hitam di kandungan warna-warna, bahkan ada putih dalam hitam dan ada hitam di dalam putih. Maka sentuh mereka bil-hikmah, bukan bil-haq”, kata Markesot, “hitam dan putih bubar-membubarkan silih berganti, warna-warni terombang-ambing. Siapkan kasih sayang dan kebijaksanaan, bukan palu dan pedang”.

Jakarta, 12 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu