Skip to main content

Dibubarkan, dan Foto Bareng (Daur-II • 272)

Di tahun 1991 sesudah hampir dua puluh tahun tidak ada demonstrasi mahasiswa, sahabat-sahabat muda Mbah Markesot bikin acara demo besar di Boulevard Universitas Gadjah Mada, yang diberi judul “Anti Kekerasan”. Ada sesi pembakaran patung Pak Harto. Orator aktivis mahasiswa yang naik panggung adalah Taufiq Rahzen, Rizal Mallarangeng, dan Brotoseno. Begitu masing-masing selesai pidato, sudah disiapkan kendaraan untuk membawa mereka ke suatu tempat yang aman.

Ternyata pasukan TNI dan Polri datang dalam jumlah besar, dipimpin langsung oleh Danrem dan Kapolda. Ketika demo selesai, para orator sudah diangkut menghilang. Massa yang selama sejam lebih teriak riuh rendah, teriak-teriak, mengacung-acungkan tinju: surut pelan-pelan. Tinggal Mbah Markesot. Kenapa dia kok masih di situ? Apakah Mbah Sot seorang pemberani sehingga pasang badan? Tidak. Sama sekali tidak.

Speaker butut yang dipakai untuk pidato-pidato di acara demo itu memakai accu Jeep kuno bututnya Mbah Sot. Jadi kalau Mbah Sot mau lari, harus mengangkutnya dulu dari area demo menuju tempat parkir yang lumayan jauh, kemudian memasang kembali di mesin Jeep. Dengan sekedipan mata pasukan akan dengan mudah menangkapnya. Sebab dengan mudah ketahuan bahwa orang tua ini provokator demo itu. Apalagi Pak Harto enak-enak duduk di Istana merokok klobot, kok dibikin patung di Yogya, lantas dibakar. Itu penghinaan kepada Kepala Negara.

Maka daripada Mbah Sot salah tingkah, ia berjalan mendatangi Pak Danrem dan Pak Kapolda. Mbah Sot tanya kepada beliau berdua: “Bagus nggak Pak acara tadi?”. Ternyata beliau berdua spontan menjawab: “O bagus! Bagus!”. Mungkin memang bagus betul menurut penilaian beliau berdua, atau mungkin spontan terkena sugesti Mbah Sot.

Menurut Pakde Tarmihim, Mbah Sot itu seperti siluman. Bukan siapa-siapa, tapi ternyata temannya sangat banyak. Bukan tokoh, tapi nongol di mana-mana. Termasuk di kalangan mahasiswa. Banyak teman-teman di sekitar yang tidak paham-paham amat apa yang sebenarnya dilakukan atau diperjuangkan oleh Markesot. Ketika dikejar, Markesot hanya menjawab: “Fa idza faraghta fanshab, wa ila Robbika farghab”. [1] (Al-Insyirah: 7-8)

Suatu ketika para aktivis mahasiswa Islam berkumpul di sebuah Masjid dekat kampus Unibraw Malang, dan entah bagaimana ceritanya kok Mbah Sot yang bicara. Tapi tiba-tiba Ketua Panitia setengah berlari mendatangi Mbah Sot di depan, menginformasikan bahwa ada tamu Dandim dengan sejumlah prajurit. Mbah Sot langsung lompat dan berlari keluar ruangan, menemui beliau Komandan.
Mbah Sot menyalami dan merangkulnya sambil berbisik: “Pak kita sama-sama orang tua. Percayakan kepada saya menemani anak-anak kita ini  belajar ber-Negara dan melatih kecerdasan Demokrasi. Kapan-kapan undang mereka ke rumah dinas Sampeyan, disembelihin ayam untuk jamuan makan siang atau malam. Sampeyan tunggu di sini, insyaallah aman semua. Nanti kita cari makan bareng dengan para prajurit”. Kemudian Mbah Sot balik ke ruangan dan meneruskan acara.
Entah bagaimana pimpinan prajurit itu duduk-duduk saja di luar dan menunggu Mbah Sot selesai acara. Kemudian mereka pergi bersama seperti teman lama.

Sejumlah teman membuntuti ke mana mereka pergi, tapi kehilangan jejak. Ketemu-ketemu di kantor Kodim mereka sedang foto-foto.

Yogya, 17 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu