Skip to main content

Membubarkan Negara (Daur-II • 270)

“Saat ini saya hanya bisa bantu doa semoga pada saatnya nanti bangsa kalian bisa mendirikan Negara”, demikian pesan Markesot kepada Brakodin, Sundusin dan Tarmihim sebelum pamit pergi bersama Mbah Shoimun, “maafkan saya tidak berani menyentuhkan jari-jari saya ke keadaan ini, sebab hasil dari sentuhan itu pasti akan menambah kemungkinan benturan besar yang menyedihkan, mungkin bahkan mengerikan”

Suatu kali tiga sahabatnya itu mencoba membuntuti Markesot. Tapi mereka terhenti di tepian hutan yang mereka tak mungkin memasukinya karena medan fisiknya yang sangat sulit. Mereka hanya menatap dari jauh: ada semacam pancaran cahaya ke angkasa, di suatu bagian dari tengah hutan itu, seakan-akan di bawah hamparan cahaya itu ada semacam kota besar. Ada keinginan mereka bertiga untuk suatu hari akan berusaha menembus dan mencapai wilayah itu, tetapi belum berhasil.

“Bukannya bangsa ini sudah mendirikan Negara sejak 1945?”, Sundusin bertanya kepada Markesot ketika itu.

Markesot menjawab: “Negara yang benar-benar Negara, sebagaimana para ahli mendefinisikan dan semua orang memahami Negara. Bukan Negara khayal yang de facto-nya bukan Negara, melainkan Pemerintah. Bahasa jelasnya, bukan Negara yang Pemerintahnya mengaku Negara. Bukan Negara yang dijadikan negara-negaraan oleh Pemerintahnya. Bukan Negara yang tinggal papan nama, karena faktanya sebagai Negara sudah dibubarkan justru oleh Pemerintahnya sendiri yang digaji oleh rakyatnya. Understand?

Tèèèn…!”, jawab Tarmihim, Brakodin dan Sundusin serentak.

“Bukan Negara yang oleh Pemerintahnya dijadikan etalase Perusahaan penjual tanah air. Yang didirikan pada tahun 1945 itu memang maksudnya sungguh-sungguh Negara, tetapi kemudian berkembang menjadi Perusahaan yang dimiliki oleh Pemerintahnya. Menjadi Negara Perusahaan yang bukan hanya tidak mengamankan harta benda tanah air rakyatnya, tetapi malah menggadaikan dan menjualnya. Itu pun dengan bargaining power PSK tepian Kali Codé. Negara Perusahaan yang bukan hanya tidak memakmurkan rakyatnya, melainkan membangkrutkannya. Yang bukan hanya tidak menanggungjawabi moral gajinya, tetapi malah merepotkan, memeras, menindas, melemahkan, mengakali, membodohi, mem-bego-in dan menganiaya rakyatnya”

Mafhum”, sahut Tarmihim.

“Bahkan di dalam Negara Perusahaan itu terdapat banyak sekali Perusahaan-perusahaan milik kelompok Pejabat-pejabatnya. Perusahaan para Pejabat itu bekerjasama untuk kepentingan yang bisa dikerjasamakan. Bisa juga bersaing di antara mereka, berebut lahan dan akses, sikut-menyikut, gusur-menggusur, rampok-merampok satu sama lain.”
Mupakat”, kata Sundusin.

“Bahkan bisa juga saling memusnahkan. Atau sekurang-kurangnya mengambil alih berbagai wilayah keusahaan, aset dan maintenance, satu sama lain secara bergiliran, bergantung siapa atau kelompok mana yang berkuasa”.

Tentu saja Tarmihim, Brakodin dan Sundusin pada prinsipnya memahami apa yang dimaksudkan oleh Markesot.

“Semoga suatu hari rakyat kalian benar-benar mendirikan Negara, dengan sadar terhadap kedaulatannya. Kalau Negara sudah didirikan, yang di dalamnya terdapat kekayaan di dalam tanah dan airnya, semoga rakyat mampu memilih pemimpin dan pemerintah yang punya kesetiaan menjalani kalimat lagu wajib kebangsaannya: Indonesia tanah airku (Stanza-I), bukan tanah airmu atau tanah airnya

“Bukan Pemimpin dan Pemerintah yang menjual murah Indonesia tanah yang kaya (Stanza-II) sehingga secara bertahap menjadi bukan milik rakyat Indonesia lagi. Bukan Pemimpin dan Pemerintah yang melukai (Stanza-III) Indonesia tanah yang suci, yang tidak percaya kepada bangsanya sendiri, meremehkan rakyatnya sendiri, menghina martabat dan harga diri bangsanya sendiri”

“Pun bukan Pemimpin dan Pemerintah yang memobilisasi bangsanya untuk tidak percaya kepada dirinya sendiri, untuk bergerak ke masa depan tidak sebagai dirinya sendiri. Melainkan menjadi budak dari kepentingan, cara berpikir dan ideologi kehidupan orang yang bukan mereka. Yang menjaga dengan teguh NKRI Harga Mati, bukan mematikan harga NKRI. Yang merawat keutuhan Indonesia, bukan memecah belah rakyat demi mempermudah tercapainya target Perusahaan Kepentingannya…”

Markesot minggir ke hutan mungkin sampai dua tahun ke depan. Entah untuk apa. Tapi ketiga sahabatnya tahu untuk tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa kalau Markesot pergi, berarti tidak tinggal. Bahwa kalau Markesot di sana, lantas disangka pasti tidak di sini.

Orang tua itu sempat mengatakan bahwa ia merasa ngeri Tuhan sedang bekerja menerapkan apa yang Ia firmankan di pertengahan Kitab itu: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya menaati Allah: tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. [1] (Al-Isra: 16)
Simon alias Saimon atawa Mbah Shoimun senyum-senyum mengejek sambil berlalu pergi dengan Markesot, memasuki kabut senja hari.

Yogya, 15 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu