Skip to main content

Beri Daku Pancasila (Daur-II • 280)

“Saya ingin di masa yang akan datang ada Negeri yang ber-Pancasila, dan saya akan riang gembira menjadi rakyatnya. Saya ingin menjadi warga suatu Negara di mana Pancasila menjadi keutamaan pandangan hidupnya, prinsip mendasar perjuangannya dan panduan primer perjuangan sejarahnya. Kalau tidak mungkin, ya Provinsi Pancasila, atau Kabupaten, Kecamatan, Desa Pancasila. Kalau tetap mustahil yang keluargaku harus Keluarga Pancasila”.

Gentholing menjawab tegas pertanyaan Pakde Sundusin yang penasaran terhadap bantahan-bantahan anak ‘kecil’ itu: “Jadi maumu sebenarnya apa to, Ling?”

Tiga Pakde itu memberi peluang selapang-lapangnya kepada ide segar Toling yang mencita-citakan Pancasila di masa depan kehidupannya. Sementara Junit dan Jitul memperhatikan sambil Seger tak pernah melepas catatannya.

“Saya Khalifah Allah di bumi. Allah meletakkan Khilafah di tangan saya. Pancasila adalah hasil ijtihad atas prinsip Khilafah itu oleh, pada dan bagi formula manusia Nusantara dan bangsa Indonesia sampai sejauh ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau mau menanam pohon Khilafah yang lebih otentik sejak awal, kita harus menjadi putra Nabi Adam dan memulai Negeri Khilafah sesudah pembunuhan Mas Habil oleh Kak Qabil…”

Maka terjadilah dialog antara tiga Pakde itu dengan Gentholing.

“Sila keberapa yang kamu paling tertarik?”

“Tentu saja yang pertama”

“Kalau kedua?”

“Tidak istimewa. Sila-sila berikutnya adalah kembang dan buah sila pertama. Kalau memang kita ini manusia ya pasti ciri utamanya adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab. Kalau tidak beradab, bukan manusia. Kalau tidak adil, berarti lebih rendah dari hewan. Semua hewan berlaku adil, karena 100 persen di-remote oleh Penciptanya”

“Sila ketiga?”

“Logika biasa. Kalau tidak bersatu, bagaimana ber-Negara”

“Keempat?”

“Nggak perlu dirumuskan. Kalau ada rakyat, berarti urusannya Negara dan buruh yang namanya Pemerintah. Kalau masyarakat atau ummat, tidak pakai Negara tidak masalah. Kelemahan sila keempat ada pada penggunaan kata yang berlebihan. Hikmat kebijaksanaan. Hikmat itu hikmah. Hikmah itu ya kebijaksanaan. Itu tetesan inti dari kebenaran dan kebaikan. Subjeknya disebut Hakim. Hakim adalah orang yang mata pandangnya adalah kebijaksanaan. Sebagian bahannya bernama pasal hukum, tapi tidak semua pasal hukum itu bijaksana. Maka manusia selalu saling mewakilkan, saling mempercayai dan mempercayakan untuk bermusyawarah. Semut saja bermusyawarah di dalam tata kelola komunitasnya. Kalau manusia tidak bermusyawarah, maka ternyata mereka adalah serangga yang paling rendah budinya dan culas mentalnya”

“Kalau keadilan sosial bagi seluruh rakyat?”

“Gimana tho. Kalau tidak bagi seluruh rakyat, bukan keadilan namanya. Kalau tidak menyangkut semuanya, bukan sosial namanya. Sila Kelima sebenarnya cukup satu kata: Keadilan. Tapi memang semakin pandai, manusia semakin tidak efisien, tidak akurat, tidak meng-inti, tidak meng-esensi”
“Lha kalau Sila Pertama yang kamu paling tertarik?”

“Faktor Tuhan itu yang bikin penasaran. Orang-orang pandai selalu riuh rendah mencanangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari siapa mereka tahu Tuhan? Apa bahannya? Para pejabat dikasih tahu Profesor Doktor tentang Tuhan. Profesor Doktor mengutip Ulama. Ulama nerusin omongan Nabi. Nabi tahu lewat wahyu yang menjadi Kitab. Kitab Suci itu 100 persen copyright-nya Tuhan sendiri”.

“Bagaimana mungkin manusia tahu Tuhan, kalau bukan Tuhan sendiri yang menginformasikan tentang Diri-Nya Sendiri? Yang terdengar di sana-sini selama ini, yang tertera di buku, undang-undang, jurnal dan media: adalah Tuhan-tuhanan. Tuhan hasil karangan manusia sendiri. Tuhan produk khayalan. Bahkan eksistensi dzat, sifat, af’al serta tajalli Tuhan dipangkas berdasarkan kepentingan manusia sendiri…”

“Bisa aja kamu, Ling”

“Yang diumumkan selama ini adalah Tuhan ciptaan manusia. Tuhan hasil prasangka dan pamrih manusia. Tuhan yang ditentukan, ditetapkan dan diregulasi oleh manusia. Bahkan Tuhan yang disandera di dalam kurungan egosentrisme manusia, yang diwajibkan untuk patuh kepada keperluan manusia. Padahal Tuhan memberi info tentang manusia ciptaan-Nya dan tentang Diri-Nya Sendiri secara sangat mengasyikkan: “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?[1] (Al-Baqarah: 28) Menurut Mbah Sot dulu berdasarkan ayat itu berapa kali manusia hidup mati hidup mati hidup mati?”.

Bandung, 25 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu