Skip to main content

Qithmir War-Roqim Wal-Anjing (Daur-II • 285)

Gentholing semakin sulit dihentikan. Berkepanjangan ia mengutip ayat demi ayat:
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”. [1] (Al-Baqarah: 7)

“Bagaimana kalau yang dimaksud Allah itu adalah kita, bukan mereka”, akhirnya Jitul dan lainnya sepakat tanpa berunding terlebih dulu, untuk menggoda Toling.

“Ya”, Junit menambah, “kitalah yang oleh Allah dikunci pendengarannya dan ditutup penglihatannya”
Seger tak mau kalah: “Yang kamu tuduh itu adalah orang-orang yang hidupnya penuh Al-Qur`an, hadits, shalawat, Kitab-Kitab, nasab orang-orang suci, sanad ilmu yang diakui oleh sejarah. Sedangkan kamu, Ling, hanya korak…”

Toling tidak peduli. Ia meneruskan ayat:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”. [2] (Al-Baqarah: 8)

“Kalau itu jelas, dan saya setuju”, kata Seger.

“Maksudmu?”, Toling bertanya.

“Kita-lah itu”

“Persis”, Junit tertawa, “Kita ini tukang ngasak yang GR. Kita merasa sudah beriman. Kita mengais sisa-sisa padi di sawah, lantas merasa sedang panèn. Padahal orang-orang yang kamu tuduh itulah yang panèn, yang punya sawah, yang menguasai tanah, benih, serta pegang kendali mekanisme dari sawah hingga ke pasar”.

Tapi Gentholing terus kalap:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, tetapi mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. [3] (Al-Baqarah: 9-10)
Seger tertawa. “Siapa yang tersiksa, Ling, kalau bukan kamu sendiri? Mereka yang kamu sebut-sebut itu bukan hanya tidak tersiksa. Mereka sangat nyaman hidupnya. Mereka bahagia, berkuasa dan semakin kaya”.

Jitul tertawa agak keras: “Merekalah yang lebih layak dipercaya oleh Tuhan. Mereka yang lebih rajin memohon syafaat Nabi. Dan Agama Islam pastilah lebih memilih mereka untuk memeluknya dibanding kamu, Ling. Mereka jelas calon penghuni Sorga. Kompatibilitas iconic-nya jelas untuk itu. Sedangkan kalau kamu yang coba-coba kutip ayat, tak akan ada manusia yang percaya. Malah Setan pada tertawa…”
“Maaf, saya tidak sedang bermain-main”, kata Toling, “Saya serius”.

“Lho siapa yang main-main?”, kali ini Junit yang menjawab, “Setiap ayat Tuhan bisa melahirkan beribu-ribu tafsir. Bahkan tafsir terhadap satu ayat jumlahnya bisa melebihi jumlah semua manusia. Karena setiap orang bisa berkembang pemikirannya dan bisa berubah tafsirnya. Dan di antara hutan belantara tafsir itu saya sengaja memakai tafsir yang menentang tafsirmu…”, Junit meledak tertawanya.

“Qithmir kamu!”, Gentholing memaki.

“Lho memang saya Ar-Roqim”, kata Jitul.

“Kalau saya air liur anjing saja sudah bersyukur. Syukur jadi lidah Ar-Roqim. Lebih-lebih lagi kalau boleh jadi kaki Qithmir. Pasti tidak masuk neraka, bahkan bisa dipakai melangkah memasuki Sorga”, kata Junit.

Tulungagung, 30 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu