Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2017

FOUNDING FATHER OF HUMAN RIGHT (Syekh Kanzul Jannah)

Jangan sampai ternyata kita ini Iblis, pemimpin kita itu Iblis, sistem yang mengendalikan hidup kita ini Iblis. Perlu diperjelas secara ilmiah apa siapa Iblis. Mustahil menjalankan Pancasila tanpa mengenali Iblis. Tidak mungkin mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa mempelajari Iblis. "Siapa mengerti dirinya, maka mengerti Tuhan-Nya ". Jadi, jelas: siapa tak mengenali Iblisnya, tak mengenali Tuhan-Nya. Supaya tidak terlalu sukar, lupakan Iblis "as he is", sebagai eksistensi wujud suatu "diri". Cukup sementara kita rumuskan Iblis itu potensialitas, frekuensi, energi, arus, atau kobaran api di dalam diri kita sendiri. Demikian juga Tuhan dan Malaikat. Iblis "yuwaswisu fi shudurinnas, minal Jinnati wanNas" – mengipas-ngipasi, membakar-bakar, memprovokasi hati manusia – yang berasal dari area Jin dan dari dalam diri kita sendiri. Kita membutuhkan Seminar Nasional tentang Iblis. Kita mohon hadir semua Sarjana dan para Pakar yang pernah melakukan pe

TERBANG TINGGI INDONESIAKU (Ihdinas-shirathal globalisasi)

Bagaimana ini. Tak saling paham satu sama lain. Indonesia berlari amat cepat, sedangkan aku terseok-seok di belakang ekornya. Bahkan Indonesia sedang terbang amat tinggi mengarungi masa depan, melompati pagar-pagar cakrawala. Sementara kakiku terantuk-antuk batu, kaki kanan dan kiriku terus-menerus saling menyerimpung satu sama lain. Pesawat tol udara Indonesia membalapku tak alang kepalang. Melintas-lintas, menembus seribu cakrawala, sementara aku terpuruk di kotak kekerdilanku sendiri. Semakin tua renta semakin tak terkejar laju Indonesia olehku. Terlalu banyak yang aku tak paham dan tak mampu. Aku minta tolong anakku: “Nak, kasih aku sepuluh kata yang paling kunci untuk mengejar laju kurun milenial ini”. Anakku mengirim sepuluh kata: “block chain”, “cryptocurrency”, “artificial intelligence”, “big data”, “hyperloop”, “post-truth politic”, “black-hole collision”, “stem cell”, “red ocean, blue ocean”, “patreon”… Lhadalah. Ciker bungker matek mlungker bagaimana mungki

PASSWORD IBLIS.COM (Pokoknya Saya Yang Benar)

Kali ini saya benar-benar marah kepada Iblis. Marah besar. Tidak bisa saya tahan lagi. Tak ada stok kesabaran lagi. Apalagi kompromi. Saya harus segera menemukan si raja bangsat ini. Kemungkinan besar saya akan tantang dia berkelahi. Terus terang semakin udzur usia saya semakin kacau hidup saya, karena polah Iblis, bukan karena yang lain, misalnya Malaikat atau Tuhan. Banyak anak-anak saya di sana sini yang usianya masih muda tapi mengalami benturan besar dalam hidupnya, misalnya terpaksa bercerai dengan suami atau istrinya. Mereka bilang “Yaaah, sebenarnya saya maunya tetap berkeluarga baik-baik, tapi Tuhan yang di atas sana berkehendak lain…” Masih lumayan yang mengacau hidup mereka adalah Tuhan. Pasti ada hikmahnya kalau Tuhan yang berinisiatif. Tuhan memang Maha Menyesatkan (Al-Mudhill), tetapi pasti ada kebaikan yang ditabiri rahasia di balik penderitaan. Toh Tuhan juga Maha Memberi Petunjuk (Al-Hadi). Pun jelas Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Jadi semenderita apapun, tetap ada

Ranté Kapal dan Iwak Babi (Mewaspadai Ahistorisitas)

Kalau tidak salah dulu dalam pembelajaran akademik sastra, ada yang disebut teori strukturalisme. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi seingat saya maksud teori itu adalah keseyogiaan bagi para kritikus atau teoretikus sastra untuk mempelajari latar belakang kehidupan sastrawannya, supaya lebih memiliki kelengkapan dalam memahami karya sastranya. Ini saya pakai untuk memberi saran kepada para pembaca, dengan logika balik: untuk menyempurnakan kewaspadaan kepada potensi kontra-produktif tulisan-tulisan saya. Demi kemaslahatan bersama, saya bukakan sebagian dari riwayat hidup saya yang mendukung kewaspadaan itu. Tentu saja kebanyakan tulisan-tulisan saya yang sampai ke Anda bukanlah karya-karya sastra. Tetapi teori strukturalisme itu tampaknya relevan untuk dipakai. Apalagi muatan tulisan-tulisan saya serabutan, campur aduk, silang sengkarut, tidak ada disiplin, tanpa pemilahan dan penentuan koridor tematik yang akademis. Berlompatan dan jungkir balik semaunya. Tulisan say

Mendadak Republik (Ikan Tanpa Sungai)

Tulisan ini diperuntukkan khusus bagi sedikit orang yang pernah bersentuhan dengan saya, bergaul, berinteraksi, bersilaturahmi, langsung maupun tidak langsung. Khususnya yang berkaitan dengan tulisan-tulisan saya. Ini sebuah pesan khusus. Setelah mengalami Indonesia 60 tahun lebih, akhirnya saya menyadari bahwa kemungkinan besar Anda harus mewaspadai tulisan-tulisan saya. Terus terang saya agak curiga bahwa pada apa yang saya tulis selama ini terdapat potensi kontra-produktif bagi visi misi masa depan dan kebangkitan Negara, bangsa, maupun manusia. Baik muatan nilai-nilainya, asal-usul lahirnya tulisan-tulisan itu, pola pandangnya, jenis analisisnya, khasanah pengetahuannya, cara mengolah bahan-bahannya, mungkin termasuk juga latar belakang pengalaman hidup saya, yang menyebabkan semua itu. Sudah diterbitkan hampir 80 buku saya sejak 1978. Bahkan banyak judul yang terus-menerus diterbitkan ulang dan ulang lagi, sesudah penerbitan pertama 30-40 tahun yang lalu, oleh Penerbit yang

Bola Tanpa Pemain (Qadla dan Qadar)

Kalau tangan kananmu memberi, selalu diusahakan jangan sampai ketahuan oleh tangan kiri. Akibatnya tangan kiri sering uring-uringan kepada tangan kanan: “Kenapa kamu tidak pernah bersedekah?” Pada koordinat dilema itulah Tuhan meletakkan manusia dalam kehidupan. Kalau manusia menunjukkan perannya, bisa terbentur tembok “riya“. Kalau manusia menyembunyikan perannya, manusia bisa di-sampah-kan oleh sesamanya. Buku sejarah bukan hanya tidak mencatatnya, lebih dari itu malah bisa mengutuknya. Kalau manusia berdoa memohon ini itu, Allah bisa berposisi defensif: “Fabi ayyi ala`i Robbikuma tukadzdziban“. Nikmat Tuhan yang mana yang kau dustakan wahai Jin dan Manusia. Tapi kalau manusia pasrah bongkokan, terserah-serah Tuhan mau kasih apa atau tak kasih apa-apa, Allah melambaikan tangan: “Ud’uni Astajib lakum“. Memohonlah kepada-Ku, niscaya Kujawab dan Kukabulkan. Bergaul dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang saja memerlukan kecerdasan, kepekaan dan kejelian menghitung posisi

Oligarki Kuburan (Cakrawala dan Ketenteraman)

Aku anak bangsa Indonesia. Tidak akan main-main dalam mengelola Kambing. Tidak pula akan pernah kuucapkan "sekadar Kambing". Kambing itu salah satu hasil karya Allah swt, yang terpilih untuk bergabung naik Bahtera Nabi Nuh. Bahkan pun seandainya yang kupelihara adalah Babi, yang menurut sebuah Kitab tercipta dari luka perut Gajah, atau Tikus yang berasal dari darah yang meleleh dari luka Babi – takkan pernah kuucapkan “sekadar Babi” dan “sekadar Tikus”. Aku masih sakit hati kepada Iblis yang men-sekadar-kan manusia ketika menolak bersujud kepada Mbah Adam. Aku berjanji mengemukakan dari mana aku memperoleh “Bismillahi la yadhurru…” untuk menyeret kambing. Bahkan sebenarnya sebelum memutuskan akan beli kambing di Pasar Peterongan, aku memproses kepastian bahwa di dalam diriku sudah tumbuh potensi manajemen “’Alimul ghoib was-Syahadah, Rahman dan Rahim”, sebagai syarat primer kepemimpinan atas kambing. Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan segala yang ghaib. Kalau manusia

Goatboy (Balada Kambing dan Garangan)

Aku orang kecil. Anak rakyat kecil. Cita-citaku kerdil: sangat ingin "angon wedus", menggembalakan kambing. Tak terjangkau olehku level "Cowboy" atau "Blantik Sapi". Paling jauh hanya Goatboy. Tak bisa tahan hatiku. Aku harus punya kambing. Aku ingin menggembalakan mereka ke padang-padang rumput, di lapangan bola, di “tangkis” atau “gesik” yang diapit oleh Kali Gede dan Kali Kanal selatan desaku. Aku ingin melatih keterampilan “ngarit” atau menyabit rumput seperti Guk Urip yang dahsyat, untuk kambing-kambingku jika malam di kandang. Usiaku belum 10 tahun. Tubuhku kuat. Sudah beberapa kali “gelut” atau berkelahi. Kaki dan kelenturan badanku terlatih setiap bermain bola ketika istirahat antara pelajaran di Sekolah, serta hampir setiap sore di lapangan desa. Aku ingin ketika bermain bola itu kulirik-lirik jangan sampai kambing-kambingku melanggar pagar dan memasuki kebun tetangga yang bukan fasilitas umum. Kenapa aku begitu bernafsu untuk menggembalakan kambi

MEMPERMALUKAN KORUPTOR (Siapa pemilik tanah dan air)

Aku ingin bercerita tentang kambing, air sungai, dan sumur, pengetahuan tentang apa yang disembunyikan oleh manusia, serta tentang mempelajari kepemimpinan dan belajar memimpin. Juga tentang rasa malu. Agak panjang kisah dari masa kanak-kanakku ini. Berjalan kaki pulang sekolah di desa seberang yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumah di desaku, melintasi beberapa jembatan, pesawahan dan galengan-galengannya, sampailah aku di tepi sungai kecil sebelah utara desaku. Siang sangat terik. Keringat mengucur. Haus di tenggorokanku luar biasa. Aku duduk sejenak di bawah deretan pohon Turi. Air bening bergemericik di bawah kaki, mengalir lembut tapi lincah. Lembah panjang di tanah, dialiri air, menjadi sungai. Kebiasaanku setiap pulang sekolah adalah meminum air sungai, membungkukkan badan, menjulurkan kepala dan “ngokop” airnya selahap-lahapnya. Atau kalau sudah lewat sungai baru terasa haus, aku, tentu dengan beberapa teman, menengok-nengok kalau ada sumur entah di halaman atau samping r

SELAMAT DATANG JUARAKU (Belajar Menjadi Indonesia)

Selamat datang Juaraku. Di semi final kalian bermain sangat bagus dan jauh lebih bagus dari kesebelasan Thailand yang akhirnya menjadi Juara AFF U-18 2017. Fakta persepakbolaan kalian melebihi Juara. Yang mengalahkan kalian sehingga tak bisa masuk final adalah fakta bahwa kehidupan ini lebih luas dari lapangan sepakbola. Di luasnya kehidupan itu ada makhluk yang namanya “bola itu bundar”, ada Tuhan, ada nasib dan takdir. Di dalam tak terukurnya keluasan hidup itu, perbandingan antara kepastian dan kemungkinan adalah satu berbanding infinity. Kepastian hidup hanya berlangsung di beberapa hal, tapi segera ia digugurkan oleh kepastian berikutnya. Dan seluruh kepastian yang bisa dirangkum oleh pengetahuan dan ilmu manusia, adalah bagian yang sangat relatif dari kemungkinan-kemungkinan. Saya menemukan sejumlah kepastian dalam proses pelatihan hingga pertandingan kalian. Kesungguhan, ketekunan, ketelatenan, pantang mundur, kedewasaan mental, tanggung jawab individual dan keberbagian kelompok

ANDALAN DAN HARAPAN RAKYAT (Balada Kemunafikan)

Kubuka jendela, kutatap langit, dan aku bergumam: Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang merasa punya Negara. Padahal Negara yang mereka maksud adalah Perusahaan. Yang memperniagakan kedaulatan mereka, menjual tanah dan air dan harta benda mereka. Untuk kepentingan kumpulan orang yang mereka mandati untuk mengurusi Negara. Yang kemudian dijadikan Perusahaan. Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang tidak pernah mau belajar tentang beda antara Negara dengan Pemerintah. Kemudian rakyat itu secara berkala dan terus-menerus memilih dan mengangkat Pemerintah, yang secara sengaja membangun kerancuan antara Negara dengan Pemerintah. Sehingga sewaktu-waktu kalau punya kepentingan, Pemerintah itu mengaku dirinya sebagai Negara. Apa yang bisa diandalkan dan diharapkan dari rakyat yang tiap hari, tiap minggu, bulan dan tahun, selalu menitipkan harapan kepada kumpulan orang yang tidak pernah bisa diharapkan. Yang sepanjang masa mengandalkan kelompok orang yang ter

ROH MANI ROHIM (Hulu Hilir Cinta)

Ada yang iseng menafsirkan bahwa bayi menangis ketika lahir adalah karena menyesal mengetahui Bapaknya kok itu. Ada perjanjian pribadi dengan Tuhan hal rancangan hidup di dunia, tetapi tidak ada klausul di mana sebelum menjadi bayi, manusia berhak memilih lahir dari Bapak dan Ibu yang mana. Apalagi memilih dilahirkan dengan berkebangsaan apa dan ditaruh oleh Tuhan di Negara mana. Sebelum menjadi bayi, manusia memiliki pengetahuan yang prima tentang muatan ruang dan waktu, tetapi ada pasal di mana begitu ia lahir: Tuhan membuatnya lupa pada seluruh pengetahuan itu. Sehingga tugas utama lahir di dunia adalah meneliti. Puncak penelitian setiap orang dirumuskan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”. Barangsiapa menemukan dan mengerti dirinya, maka ia menemukan dan mengerti Tuhan Pengasuhnya. Tentu saja itu dialektis dengan sebaliknya: “man ‘arafa Robbahu faqad ‘arafa nafsahu”. Aku hidup tidak untuk memenuhi keinginanku. Bukan untuk melampiaskan nafsuku. Bukan untuk menggapai ambisi dan

TINGGAL SATU GERBANG (Tangis Bayi Ketika Lahir)

Sepanjang aku dititipi tulisan, terus kuberikan kepada siapa saja yang mau. Tidak ada tujuan untuk “dimuat di media” sebagaimana dulu. Juga tidak dalam rangka “menjalani profesi sebagai penulis”. Hidupku nir-profesi. Allah menganugerahkan kepadaku kehidupan yang sangat merdeka. Sehingga kewajiban utama hidupku adalah berupaya untuk selalu memerdekakan. Dunia, dengan semua kejadian di dalamnya, adalah arena utama pandanganku, tetapi bukan tujuan hidupku. Jadi aku memerdekakan dunia dan penghuninya untuk melakukan apa saja. Juga Indonesia. Kucoba memahami bahwa ketidakmampuanku untuk berbuat apa-apa kepada Indonesia justru merupakan kemerdekaanku. Siapapun tidak berhak membebani atau menagih  apapun kepada orang yang tidak mampu. Kalau aku tak sanggup memanggul sekuintal beras, maka aku tak bisa disalahkan kalau tak memanggulnya. Apalagi cintaku kepada Indonesia, tidak tumbuh menjadi apa-apa. Kulakukan nasihat Al-Qur`an “tawashou bil-haq watawashou bis-shobr”, mensedekahi kebenaran dan k

KEBERANIAN UNTUK LALIM (Tinundhung, Jinebol)

Tiba-tiba menjelang tidur kemarin aku diserbu oleh rasa takut yang luar biasa. Besok kalau aku bangun tidur, keluar rumah, bertemu dengan suatu “hawa” kehidupan yang sebenarnya sudah kurasakan sejak sangat lama – tetapi tiba-tiba itu menjadi sangat menakutkan. Bahkan mengerikan. Yakni suatu keadaan sejarah di mana manusia sudah menjadi sangat tidak percaya kepada hukum alam dan “pakem” sebab-akibat dalam kehidupan. Manusia sudah memperoleh sejumlah pengalaman sehingga, terutama di tahun-tahun terakhir Indonesia: berbuat buruk bisa disembunyikan sedemikian rupa di lubuk ruang dan di balik waktu. Melakukan kelaliman terbukti bisa tidak ketahuan sampai berapa lama pun mekanisme sejarah berlangsung. Mencuri, mengutil, korupsi, bahkan menjambret atau merampok – bisa tidak sukar disembunyikan dari pengetahuan umum. Mengerjakan pelanggaran-pelanggaran semendasar apapun secara konstitusional, yuridis, moral, etis, bahkan sampai tingkat menentang hukum kekuasaan Tuhan pun – bisa dikamuflase, di

GUSTI RATU IBU (Firman Sepuluh)

Meskipun aku bukan faktor, bukan pemeran apapun, sepenuh-penuhnya hanya rakyat kecil, pun tidak diminta atau dibutuhkan oleh pihak manapun – tetapi karena cinta dan rasa sayang kepada Yogya: maka hal Keraton Yogya, saya menyusun lima tingkat pandangan. Pertama, tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta apa yang baik dan apa yang buruk. Berdasarkan prinsip nilai, ilmu dan wacana yang diperlukan sesuai dengan spektrum permasalahannya. Kedua, tentang berapa kadar atau prosentase benar salah dan baik buruk pada masing-masing pihak. Berdasarkan fakta sejarah yang rentangnya relevan terhadap yang diperlukan oleh konteksnya. Ketiga, pandangan tentang formula yang teradil, atau yang paling mendekati keadilan bagi sekurang-kurangnya dua pihak yang bersebarangan, tanpa mencederai amanah nilai-nilai dari para pendahulunya. Keempat, makhraj atau solusi yang bijaksana, atau yang paling mendekati kebijaksanaan, berhubung subjek-subjek dalam permasalahan ini adalah semuanya yang ada di dal