Logika
dan dialektika vertikal tentang kepemimpinan yang disampaikan oleh
Kanjeng Nabi sungguh mengerikan. Kepada Abdurahman bin Samurah beliau
berpesan: “Jangan meminta jabatan. Sebab kalau engkau menjabat karena
permintaanmu, maka Allah akan melepas jabatan itu kepadamu tanpa Ia
turut campur”.
Tuhan
lepas tangan. Bayangkan bagaimana menjalani hidup dengan posisi
dicuekin oleh Tuhan. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab. Kalau
ada masalah, Tuhan tidak menolong. Kalau memimpin dengan baik dan
sukses, Tuhan belum tentu meridloi. Tuhan tidak turut campur tidak
berarti kita merdeka. Kita dibiarkan melakukan apa saja, karena
perkaranya sudah jelas: di ujung jalan nanti neraka menanti kita.
Asalkan
kita manusia, sehingga memiliki akal, logika, kecerdasan untuk
imajinasi dan simulasi ke depan, maka lepas tangannya Tuhan itu sudah
merupakan semacam adzab. Seperti anak yang saking nakalnya, Bapaknya
lepas tangan, membiarkannya tidak sekolah, tidak beribadah atau tidak
melakukan kewajiban apapun. Si Bapak tidak peduli pada masa depan
anaknya.
Andaikan
hidup ini cuma berlangsung sampai di kuburan, maka apa saja beres begitu
kita mati. Tapi kan kita tidak mati. Ketika badan disatukan dengan
tanah dan sirna secara biologis, kita masuk semester berikutnya, urusan
dengan para Pengadil Munkar Nakir, Roqib Atid, Ridwan Malik. Kita kan
bukan badan kita ini. Badan Bung Karno kan sudah tidak ada, tapi beliau
terus sangat hidup. Tidak hanya hidup dalam hati kita, tapi benar-benar
masih dan sedang hidup, dalam sistem fisika dan formula biologis yang
tidak seperti sebelumnya.
Kemudian
jasad kita direkonstruksi, tubuh kita diutuhkan kembali, bangun dari
kuburan, dikumpulkan di depan gerbang kehidupan abadi yang berlangsung
dua kali: kholidina dan abada. Dipilah dalam kloter-kloter yang ke sorga
dan ke neraka.
Beruntunglah
orang-orang yang meyakini bahwa akhirat hanya khayalan. Tapi kita tidak
mau menjadi orang yang beruntung karena bodoh di dunia, karena buta
tuli, tanpa ilmu, ijtihad, makrifat dan imajinasi. Karena tidak bisa
dipastikan apakah itu benar-benar beruntung.
Bagaimana
kalau ternyata nanti di babak perdelapan final kita mati langkah,
menyesali kebodohan kita selama di dunia. Kemudian memohon-mohon agar
boleh mengulang hidup di dunia. Lantas umpamanya Tuhan mengabulkan: tapi
pada kehidupan kedua di dunia itu kita hanya boleh menjadi lembu,
kadal, atau tokek. Atau jadi hantu picisan glundung pringis yang
anak-anak kecil pun tidak takut. Bahkan batas ekspresi kita hanya
melalui jailangkung, mainan anak-anak di desa-desa dalam rangka
pembelajaran Ilmu Katon.
Ketika
Ayah kami menguraikan itu semua, adik bungsu saya bertanya: “Apakah itu
berarti Kanjeng Nabi melarang kita mencalonkan diri menjadi pejabat?
Bagaimana mengukur perbedaan antara minta jabatan karena ambisi, dengan
amanat untuk menjabat? Bukankah 100% pejabat menyatakan bahwa jabatan
adalah amanah?”
Ayah
menjawab: “Tidak ada ukuran objektif soal itu. Kecuali orang yang secara
resmi dan di depan publik mencalonkan diri, sebenarnya masing-masing
orang yang bisa membaca dirinya sendiri”
Adik
saya mengejar: “Apakah orang yang mencalonkan diri jadi pejabat itu
pasti karena ambisi, ataukah mungkin itu perjuangannya untuk membangun
dan memperbaiki kehidupan, sehingga bernilai amanah?”
“Dia
sendiri yang benar-benar tahu, seberapa persentase ambisi dan seberapa
kadar kesadaran murninya bahwa itu amanah. Sayidina Ali menang duel,
tinggal menikamkan pedangnya ke dada musuhnya, kemudian musuhnya itu
meludahi mukanya, dan Sayyidina Ali menarik pedangnya, mengurungkan niat
untuk membunuh lawannya. Baginda Ali menyatakan ia khawatir pedangnya
menusuk dada lawan karena ada unsur amarah dan dendam di dalam hatinya”
Adik saya yang lain nyeletuk: “Di zaman sekarang tidak ada lagi Ali bin Abi Thalib. Yang ada Ali Klantung dan Ali Klontong…”
Ayah agak marah dan menegurnya: “Kita jangan bersangka buruk kepada manusia. Apalagi menuduh-nuduh dan meremehkannya”
“Ampun, Boss…”, kata adik saya.
Kami
semakin mengerti kenapa Ayah benar-benar mengambil jarak dari urusan
jabatan dan kekuasaan. Ternyata kami semua juga baru tersadar bahwa
sikap Ayah itu turun temurun sejak Mbah, Buyut, Canggah, Wareng,
Udeg-udeg, Debog Bosok dan semua yang sebelum-belumnya. Beda dengan Ibu
yang turunan Lurah dan pejabat.
“Kita
menyayangi rakyat saja, dengan waktu, tenaga dan harta yang
memungkinkan. Kita menggelar tikar, kita siapkan kenduri. Silahkan pada
makan minum senikmat-nikmatnya. Kalau mereka sombong, tidak tahu diri
dan kurang ajar sampai tingkat melecehkan Tuhan dan menghina
kemanusiaan, kita akan minta izin untuk menarik tikar kenduri itu dan
menggulungnya”. *
Emha Ainun Nadjib
2 Agustus 2017
#Khasanah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments