Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2010

Para Patriot (1)

Sahabat kita yang lain adalah seorang pemuda gagah namun pekerja keras. Ia mahasiswa (Agronomi di satu universitas swasta Malang, Jawa Timur), namun tak malu bekerja kasar. Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang-tuanya rnemanggul beban terlampau berat, sehingga ia memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidak-tidaknya mungkin ia malu: Wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa kok numpang makan dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat. Mosok ujung tombak era industrialisasi dan globalisasi kok nyusu pada orang agraris-tradisional. Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan, namun masih belum sumbut untuk keperluan sehari-hari dan biaya kuliah yang merupakan idaman orang tua. Pernah juga ngenger ke sejumlah orang kaya, tapi belum saling ada kecocokan. Apa yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang

Awas, 'Waswasa Yuwaswisu' Hatimu

Tersebutlah seorang tukang tenung alias sihir atawa santet bernama Labib bin Asham, seorang Yahudi. Pada suatu hari Rasulullah Muhammad Saw. menderita sakit yang bukan saja memarahkan, tapi juga aneh dan sukar diidentifikasi. Disantetkah beliau? Seorang Nabi, seorang Rasul, perutusan dan kekasih Allah yang ma'shum, mempan disantet? Tetapi memang mukjizat Muhammad adalah bahwa ia Nabi yang biasa-biasa saja. Yang Tidak terpelajar. Bukan jagoan intelektual dan tak ahli bikin syair. Tidak otot kawat balung wesi hingga tak terbakar oleh api seperti Ibrahim. Tak punya tongkat ajaib semacam Musa atau telapak tangan sakti bak Isa. Muhammad lumrah-lurnrah saja. Oleh karena itu ia populis, aktual dan tidak elitis. Tidur beralaskan daun aren ya OK. Baju tinggal satu diminta orang ya dikasihkan. Kalau kelaparan perutnya diganjal batu sehingga menggembung bak Dul Gendut. Maka hari tatkala beliau sakit aneh, didatangkanlah oleh Allah malaikat-Nya. Bagaikan dokter dan perawat, malaikat yang satu

Buruh 3

Akhirnya teman-teman pekerja itu mengetahui Para juragannya amat sangat sibuk untuk menyediakan waktu menatar buruh-buruhnya: untuk itu, saya menyarankan agar mereka membuat aktivitas drama". Maksud saya, daripada kalau nganggur-nganggur hanya diisi dengan joget dangdut atau ngramal buntutan, mungkin bisa mendaya -gunakan proses teater untuk menatar diri mereka sendiri. Bisa kumpul-kumpul di Balai RK atau di asrama atau tempat kost mereka. Tidak intuk membuat sandiwara seperti Rendra yang besar-besar, melainkan sekadar untuk proses penataran diri. Ini perlu karena proyek penataran pemerintah tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Jadi kaum buruh harus tahu bagaimana menatar diri mereka sendiri. Apa yang penting dalam drama itu bukan pementasannya, melainkan proses pembuatannya. Misalnya dalam menentukan lakon, mereka bisa mendiskusikannya, menggali dari pengalaman-pengalaman sebagai buruh. Mereka menginventarisasi, menganalisis, mendiskusikan dan menentukan artikulasinya.

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak

Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama. Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua. Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ket

"Sawang Sinawang" Politik

Hidup ini sawang sinawang. Juga kebudayaan. Dan politik. Pada sisi positif, sawang sinawang mengandaikan empati antar manusia pihak dalam pergaulan. yakni kesediaan dan kesanggupan untuk pada saat-saat tertentu mengidentifikasikan diri sebagai orang lain kepada siapa seseorang bergaul. Seorang suami dituntut untuk membayangkan seandainya ia adalah istrinya. Ini suatu metode penghayatan atas posisi mitra hidup. Suatu cara untuk saling bercermin. Sang suami. ikut "berada" dalam atau setidaknya rnerasakan posisi-posisi istrinya tatkala membuatkannya kopi, mengecupnya sebelum berangkat kerja, menelentang buat gairah suaminya. Demikian juga sebaliknya, sang istri berempati atas posisi suaminya. Itu semua merupakan metode untuk "menjadi satu", sebab suami dan istri adalah "satu pihak", meskipun dalam sejumlah urusan ada "pihak suami" dan ada "pihak istri". Keseimbangan pergaulan, keadilan hak dan keselarasan hati serta demokrasi menejemen per