Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2017

Enam dari Sepuluh (PASUKAN ZALITUN)

Kalau engkau memandang sampai kedalaman danau air Maiyah, tampak betapa sejati Tsaqafah Tauhid yang dijalani Jibril, Adam hingga kesempurnaannya pada Baginda Muhammad saw. Kelihatan juga oleh pandanganmu tingkat kebenaran alamiah masyarakat nomaden, suku-suku, komunitas, maupun tingkat kemashlahatan Kerajaan, Keraton, Persemakmuran, Perdikan, Republik, Demokrasi, hingga pun Globalisasi. Tergambar di penglihatanmu satuan-satuan Ideologi, aliran pemikiran, organisasi massa, madzhab, golongan dan kelompok, syu’ub wa qabail , yang sangat mudah kau temukan rasio iktikad sosialnya, serta kandungan ijtihad rahmah lil’alamin -nya. Bahkan betapa indahnya sekolah, universitas, pesantren, percantrikan, halaqah, workshop dan satuan-satuan pembalajaran hidup model apapun. Apalagi di lingkaran kecil keluarga-keluarga. Tetapi itu semua batal dan menghanguskan kehidupan, kalau manusianya menuhankan dunia. Bermental egosentris dan otoriter. Dadanya dipenuhi ananiyah dan hasad . Otaknya

Lima dari Sepuluh (MENJAUHLAH DARI MAIYAH )

Sebagai yang dititipi mengawal memancarnya mataair Maiyah, saya mengalami dan menyimpulkan bahwa Maiyah itu tidak ada manfaatnya bagi kehidupan di mana manusia menikmati dan merakusi dunia. Disebabkan oleh sekurang-kurangnya sepuluh hal, yang saya petikkan dari ribuan sebab: Pertama , Maiyah tidak menjadikan dunia sebagai tujuan.   Kedua , Maiyah tidak memposisikan dunia sebagai tempat membangun kehidupan yang nyata berdasarkan kesejatian dan keabadian. Ketiga , Maiyah tidak berminat untuk memiliki dan menguasai dunia. Keempat , Maiyah tidak punya kesanggupan dan perangkat untuk mengubah kehidupan manusia di dunia.   Kelima , Maiyah tidak berani ikut melakukan perusakan atas rahmat dan amanah Allah. Keenam , tidak punya daya untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia di dunia, apalagi menjadi dan menambah masalah. Ketujuh , Maiyah takut terlibat di dalam keserakahan keduniawian, penganiayaan hakikat dan martabat manusia, kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa, pemalsua

Empat dari Sepuluh

Air yang mereka tadahi dari Mataair Maiyah mungkin sekedar dijadikan minuman untuk kesegaran di tenggorokan hidup bersama keluarga. Untuk peluasan dan pendalaman ilmu kehidupan. Untuk racikan baru kesehatan dan pengobatan. Untuk meningkatkan kualitas  Ziro’ah,  eksplorasi kreativitas  Shina’ah  dan respons terhadap perubahan tata penghidupan  Tijaroh . Atau bisa juga untuk penghimpunan energi zaman melawan kedhaliman nasional dan global. Bahkan lebih menyeluruh, bulat,  kaffah  sekaligus detail dan ‘serbuk’. Tetapi skala mereka sebatas “ wala tansa nashibaka minad-dunya ”. Tumpuan mereka adalah “ innalloha ‘ala kulli syaiin qodir ”. Koridor ilmu mereka adalah kesadaran bahwa pelaku utama perubahan adalah Allah sendiri. Serta takkan mereka lukai atau retak-kan nikmat Allah berupa perkenan  Al-Muhtadin  dan ikhtiar  Al-Mutahabbina Fillah . Pun jangan lupa: Mataair Maiyah bisa tidak berguna apapun. Orang datang ke Mataair Maiyah sekadar untuk memetik keuntungan bagi dirinya

Tiga dari Sepuluh

Para pereguk mataair Maiyah diantarkan dan dihimpun memasuki suatu jagat kejiwaan di mana mereka mengalami kenikmatan bertauhid, ketakjuban ber-Islam, kesegaran silaturahmi, kemurnian ukhuwah, keseimbangan mental, kejernihan penggunaan akal, keadilan berpikir, ketenteraman hati, kebijaksanaan bersikap — serta secara keseluruhan semacam keterbimbingan hidup. Tetapi Allah menguji mereka: Seperti ada tangan besar yang menarik mereka ke jalan sunyi, yang membuat mereka terasing, berbeda bahkan bertentangan dengan dunia dan Indonesia. Emha Ainun Nadjib 28 Okt 2017 #Tetes https://www.caknun.com/2017/mataair-maiyah-tiga-dari-sepuluh/

Dua dari Sepuluh

Mataair Maiyah melahirkan Al-Muhtadin , hamba-hamba yang dihidayahi oleh Allah. Kemudian berhimpun menjadi Al-Mutahabbina Fillah , hamba-hamba yang saling mencintai semata-mata karena Allah. Bersaudara tidak karena hubungan darah, kesamaan golongan atau motivasi kekuasaan dan transaksi keduniaan.  Mereka bersaudara dan merawat persaudaraan fid-dunya wal-akhirah, kholidina fiha abada , dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Dalam kemudahan atau kesulitan, kemiskinan atau kekayaan, kesedihan atau kegembiraan, dalam kepungan kegelapan atau limpahan cahaya. Mereka mengalir dalam getaran bersama. Mereka bergetar di aliran yang sama.  Emha Ainun Nadjib   27 Okt 2017   #Tetes   https://www.caknun.com/2017/mataair-maiyah-dua-dari-sepuluh/

RADIKALIS MERAH PUTIH

Agak jengkel tapi juga takjub. Kenapa dalam legenda “Ande-ande Lumut”, yang ditolak lamarannya adalah Kleting Abang (Merah) dan Kleting Putih. Lebih uring-uringan lagi karena yang diterima untuk diperistri Ande-ande Lumut malah Kleting Kuning. Mosok Golkar. Apa Ande-ande Lumut sekarang Muallaf, sehingga terpesona pada KH. Setya Novanto Muttafaqun ‘Alaih. Bagaimana tidak gemes. Kleting Merah dan Putih ditolak karena tidak suci. Kok mau-maunya ditiduri oleh Prabu Yuyu Kangkang sebagai syarat untuk diseberangkan dengan multi-infrastruktur ke seberang sungai, minad-dhulumati ilan-nur, minal kemiskinan ila kemakmuran. Mbok Rondo Dadapan bangga pada idealisme dan nasionalisme Ande-ande Lumut putra-garudanya. Tetangga sebelah kiri berkomentar: “Merah Putih itu melacurkan diri pada Ya’juj Kapitalis dan Ma’juj Liberal”. Tetangga sebelah kanan nyeletuk: “Merah Putih itu menyembah Thoghut”. Yang di belakang juga ngomel: “Memang mereka itu radikalis merah putih. Kesucian harga dirinya diradikali s

Satu dari Sepuluh

Meskipun Maiyah adalah mataair yang dicurahkan dari langit ke suatu titik di tanah Indonesia, tetapi ia diperuntukkan hanya bagi hamba-hamba yang di dalam dirinya terdapat jiwa yang segelombang dengan  amr  dan  irodah  Maha Ruh sumber mataair itu, melalui garis syafaat kekasih-Nya Muhammad saw. Emha Ainun Nadjib 26 Okt 2017 #Tetes https://www.caknun.com/2017/mataair-maiyah-satu-dari-sepuluh/

BINOKONG REKLAMASI

Sebagai warga Yogya, tiap hari saya tersinggung. Setiap lewat ujung Malioboro, terlihat gedung-gedung bekas milik pemerintahan Belanda berdiri gagah. Di belakangnya terdapat bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang lebih rendah dan dipantati oleh kantor-kantor VOC itu. Ditambah depannya ada Benteng Vredeburg yang kokoh. Benteng itu dulu membentengi siapa dari ancaman siapa? Sebab ada Negara dengan rakyat menggaji Pemerintah untuk membentengi keamanan hidup dan kerja mereka, tapi rakyat malah diancam. Pemerintah bayaran itu fokus berpikirnya bukan “awas kalau ada yang mengancam rakyat”. Melainkan “rakyat adalah ancaman”. Maka rakyat dipelototi terus. Kalau macam-macam, digebuk pakai tongkat sakti Kiai Perppu. Kalau pergi umroh, susah khusyu berthawaf, karena Ka’bah yang saya putari seperti onggokan batu di dasar jurang. Bangunan-bangunan tinggi besar mengelilingi dan merendahkan rumah Allah. Paranoia merasuki jiwa, saya merasa para penghuni kamar-kamar hotel di atas sana ad

HUTANG TUHAN

Tahun 1984 di Berlin saya dikursus privat oleh Senior (usia) yang tak bisa balik ke Indonesia sejak 1965 tentang Ekonomi Sosialis: hasilnya saya tidak lulus. Kemarin saya diceramahi oleh Junior (usia) tentang “sunnatullah” kapitalisme liberal: hasilnya lebih tidak lulus lagi, gagal paham dan tidak mampu move-on. Allah dalam “sunnatullah” di sini maksudnya uang. Uang adalah the Second God, tuhan kedua. Bagi Negara ataupun manusia, hidup adalah “membangun reputasi di hadapan sumber keuangan”. Keselamatan adalah “mematuhi kondisi yang ditetapkan fund manager”. Jalan menuju sukses adalah “menunjukan performa terbaik, supaya investor masuk, menghutangi kita tuhan”. Sudah terlanjur tua renta saya baru timik-timik mulai sangat sedikit paham bahwa hidup adalah keseimbangan berlayar di atas gelombang hutang-piutang. Hidup adalah menjaga posisi di atas ombak sebab-akibat keuangan yang berputar dan dinamis: bukan soal yang kau makan itu milikmu atau bukan, melainkan tetap bisa makan atau tid

MENYEMBAH GURU BESAR DARI UTARA

Yang sedang berkuasa di negeri ini menyangka bahwa rakyat Indonesia adalah cacing-cacing yang terus menerus klugat-kluget di bawah tanah. Adalah batu-batu krakal yang bisa diinjak-injak selamanya. Atau kambing-kambing yang bisa disembelih kapan saja. Mereka juga menyangka rakyat Indonesia hanyalah para pengumbar sesumbar di medsos. Para bintang film kelas menengah yang berpose di depan spotlight. Atau sejumlah segmen yang kebetulan terlihat oleh mata kuda lembaga-lembaga survey. Lebih dari itu, para penguasa negeri ini, setelah melakukan riset komplit dan komprehensif dengan metodologi paling advanced: mereka menetapkan kesimpulan bahwa Tuhan kurang tepat mendisain bumi, daratan dan lautan. Bahkan Tuhan gagal paham terhadap manusia. Tuhan kurang move-on. Maka diipilihlah pucuk pimpinan dan Pemerintahan Indonesia yang mantap dan kapabel memperbaiki kelemahan disain Tuhan di Indonesia. Kalau pakai bahasa Medsos: supaya Tuhan tahu bahwa konsumsi kuliner manusia bukan hanya tambang dan kor

GOLDLIGHT DAN PELURU ASIMETRIS

Saya sedang memproses modulasi spektrum mata saya ngelihat Reklamasi dll itu dalam simulasi ilmu waktu “Pendekar Khidlir mencekik anak kecil”. Hasilnya kacau. Saya menuduh Negeri ini semakin lama semakin berkabut, padahal mata saya sendiri yang kabur karena usia makin renta. Dan sudah lama terlanjur mufarraqah. Saya menuding Negara ini terbalik menentukan arah. Melihat apa-apa meleset identifikasi. Hancur disangka sukses. Bunuh diri disangka prestasi. Pohon disangka hantu. Hantu beneran disangka Polisi sembunyi di balik pohon. Kuwowo disangka manusia. Manusia disangka Malaikat. Malaikat disangka Iblis. Iblis disangka Tuhan. Tuhan disangka berhala. Pokoknya pathing blasur, wolo-wolo kuwato, japi-jopo mantra-montro setane banaspati demite sontoloyo… Padahal, sekali lagi, mata saya sendiri yang rabun. Lucunya, karena saya rabun, maka banyak orang lantas ikut menjadi rabun dalam melihat saya. Mata publik yang rabun melihat saya itu membuat saya hampir tiap malam mereka suruh mengerjakan be

PRIBUMI

Saya kok cemas melihat Reklamasi, Meikarta, serta banyak program dan kontrak-kontrak yang sejenis itu. Apa kita yakin hari esok pasti bisa kita rancang, laksanakan dan kendalikan. Tentu saja kecemasan saya ini tidak rasional. Karena yang saya cemaskan itu adalah bagian dari kecemerlangan prestasi Pemerintahan yang menurut lembaga-lembaga survei memuaskan 67% rakyat. Bahkan banyak yang meyakini Indonesia kali ini adalah yang terbaik dibanding sejumlah Indonesia sebelumnya. Namun demikian, secara pribadi saya tetap siap payung sebelum hujan. Andaikan kita punya Imperium Raksasa menguasai lima benua – apa seluruh kemungkinan bisa diidentifikasi, disimulasi dan di-handle. Apa setiap pagi tiba, pasti tidak ada yang kita tidak duga. Apa kehidupan, ruang dan waktu ini bisa kita pastikan selalu dalam kontrol kekuasaan kita. Apa semua hal dalam perjalanan sejarah bisa benar-benar kita ketahui dan kuasai. Apakah Indonesia, manusia, kehidupan dan nasib, begitu remehnya di telapak tangan raksasa d

DI SELA-SELA HUJAN DERAS

Setiap aku menulis, kemudian menengok keluar jendela, selalu lantas kusadari bahwa yang kutulis ini kurang tepat, terhampar beribu pengetahuan hidup yang belum kuketahui. Tetapi kubiarkan tulisan ini menjadi catatan untuk momentumnya. Yang penting aku bahagia, karena Tuhan “mencampakkan”ku ke tengah “mereka”.     Siapa mereka? Ini juga bagian dari pengetahuan yang belum benar-benar kuketahui. Sehingga mustahil untuk memahamkanmu atau membawamu mengetahui mereka. Aku hanya menikmati bahwa aku bergembira, di tengah atmosfer zaman yang dipenuhi duka, kabut dan ketidakmenentuan. Beberapa teman Abu Sittin (usia kepala-6) cemburu pada kegembiraan hidupku. Hampir tiap malam kumpul dengan ribuan orang sampai menjelang pagi. Seharusnya bersama tulisan ini disertakan ratusan atau ribuan foto-foto hamparan massa itu, terutama anak-anak muda “millennium” termasuk Ibu-Ibu Bapak-Bapak Nenek-Nenek Kakek-Kakek yang sumringah, bahagia, tertawa cekikikan dan cekakakan, garis-garis wajahnya plong, karena

MAKNA KEADILAN

Karena otak lèlèt, baru akhir-akhir ini saya memahami bahwa yang dimaksud oleh Indonesia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Materialisme. Sila kedua hingga keempat adalah Mesin Kapitalisme Liberal. Adapun Sila kelima  Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia maknanya adalah Hedonisme. Kemakmuran fisik dan kemewahan cara hidup. Kalau menurut Islam mungkin “hubbud dunya” yang risikonya “karohiyatul maut”. Yang dimaksud tuhan adalah sesuatu yang diutamakan. Dinomorsatukan. Diletakkan tertinggi di skala prioritas pembangunan Negaranya dan kehidupan bangsanya. Ketuhanan adalah segala potensi dan aset yang dinomorsatukan: uang sebanyak-banyaknya, modal sebengkak-bengkaknya, akses seluas-luasnya, kekuasaan sekokoh-kokohnya, pasar setakterbatas-takterbatasnya.      Keterlibatan ke dan di dalam gelombang, struktur, sistem, jala raksasa dan tentakel-tentakel kapitalisme liberal, merupakan ghirrah atau gairah utama bangsa ini dalam menempuh kehidupan. Orang keluar rumah, bersekolah, kulia

Syahrul Huzni (Bulan Duka)

Aku terkurung di tengah kayu pintu yang tertutup. Pintu itu terkunci, gerbangnya tergembok. Siapa yang mengunci pintu? Kewajaran. Siapa yang menggembok gerbang? Keharusan. La haula wala quwwata illa billah al-‘Aliy al-‘Adhim. Sedangkan yang ada padaku hanya ketakberdayaan. Terkadang aku harus melumpuhkan diri dengan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak kulakukan, atau tidak melakukan hal-hal yang semestinya kulakukan. Di saat lain aku memasuki ranjau dengan membuka sesuatu yang seharusnya tak kubuka, atau tidak menguakkan sesuatu yang semestinya kukuakkan. Pintu gerbang keluar menuju Indonesia habis semua kuncinya tanpa ada yang bisa dipakai untuk membukanya. Pintu gerbang masuk ke dalam kebun dan rumahku sendiri ketelingsut di bawah ribuan kaki-kaki yang berjejal, riuh rendah, gaduh oleh jutaan kata dan kalimat yang tak bersambung satu sama lain. Daur wajib kuhentikan putarannya sampai hari yang kunantikan. Tinggal setetes demi setetes air liurku sendiri. Menemani detak-detik jantu

MEMBACA AMSAL

Sejak kecil saya ini orang yang tidak jelas. Sering bertengkar dengan teman-teman. Gara-gara telinga saya ini agak kopoken, sehingga kurang terang mendengarkan. Jadinya sampai tua saya terlalu sering menyusahkan orang.     Menjadi sangat parah kalau saya ketemu teman sesama kopoken. Dia menegur: “He, kamu pribumi ya?”. Tentu saja saya marah. “Jangan ngawur kamu. Saya ini asli pribumi!”. Dia naik juga nadanya, “Lho, semua orang bilang kamu pribumi kok”. Untuk menghindari konflik saya tinggalkan dia sambil menggerundal: “Dasar tukang fitnah… Jelas-jelas saya pribumi gini kok” Tidak hanya telinga, daya tangkap otak saya juga kopoken. Ada sahabat biasanya rajin jamaah di Masjid, Subuh itu absen. Nabi Muhammad bertanya, ternyata orang itu meninggal. Nabi segera ke kuburannya dan melakukan shalat. Saya berkesimpulan, “O, shalat di kuburan itu halal”.         Orang bilang sinar, saya memahaminya tergantung maunya status saya pagi itu. Terkadang saya artikan lampu, bolam, genset, PLN, matahari

MELUDAHI WAJAH

Pemuda belia Ali bin Abi Thalib, berduel meladeni tantangan Amr bin Abd Wad AlAmiri, mewakili Pasukan masing-masing. Pasukan apa? Jangan. Ini kisah tentang zaman di mana suatu bangsa bisa berperang besar di antara mereka karena mempertengkarkan satu kata. Misalnya: pribumi, radikal, kafir, makar, khilafah, dan lain-lain. Cukup beberapa episode pertarungan kecanggihan bermain pedang, Amr tergeletak, ujung pedang Ali menyentuh lehernya, tinggal menancapkannya untuk membunuhnya dan membuat seluruh pasukannya menang. Tiba-tiba dari posisi telentangnya Amr meludah ke wajah Ali, mengenai sebelah pipinya. Termangu beberapa saat, kemudian Ali menarik pedangnya, menyarungkannya. Tidak menggunakan kesempatan dan haknya untuk menusukkan pedangnya ke leher Amr. Betapa terkejutnya semua yang menyaksikan, kedua pasukan maupun terutama Amr sendiri. Tatkala ditanya kenapa mengambil keputusan itu, Ali menjawab: "Aku terhina dan marah diludahi olehnya. Kutarik pedangku, karena aku kawatir membunuhn

Hantu dan Peci Reformasi (“Untuk Saya Saja ya…”)

Jadi hantu, kadang nikmat kadang capek. Orang pasang macam-macam wajah di mukaku, padahal aku hantu Si Mukarata. Kepalaku menggelinding-gelinding melewati pagar-pagar. Ada yang lari terbirit-birit karena dia bilang aku mengajaknya tertawa “ mringis ”, sehingga aku digelari Hantu Glundhung Pringis. Padahal aslinya aku menangis. Bagi diriku sendiri aku juga hantu. Kupikir aku kelapa, ternyata semangka. Tetapi di tengah aku berlaku sebagai semangka, ternyata aku kelapa. Ketika kemudian aku turuti fenomena kelapa, ternyata hanya  blarak  kering. Bahkan terkadang kujumpai diriku hanya serpihan sabut kotor baru karena barusan dipakai untuk “ pèpèr ”, pembersih anus seperti di hotel-hotel mewah. Sebagai manusia biasa sampai hari ini aku belum sanggup  move on  dari peradaban “cebok” ke peradaban “ pèpèr ” itu. Sungguh dekaden aku. Hidup sebagai hantu itu nikmat ketika  mancala putra mancala putri . Dilempar orang dengan batu karena dipikir aku kaca, padahal aku angin. Di saat lain

Masyarakat Tahlil (Pemimpin dan Pewaris)

Bangsa Indonesia sedang terbelah dua. Ada kalangan masyarakat yang sangat bergembira, merasa beruntung, dan berpendapat bahwa kiprah Pemerintahan yang berlangsung ini sebuah kemajuan yang sangat berhasil di semua bidang kehidupan. Ada kalangan lain yang merasa sangat menderita, merasa semakin terpuruk dan berpendapat bahwa Pemerintahan saat ini melakukan penghancuran yang besar-besaran terutama di bidang kesejahteraan dan martabat kebangsaan. Perbedaan di antara keduanya sangat ekstrem, dengan kekuatan hujjah persepsi serta dengan kemantapan keyakinan masing-masing. Yang satu yakin sedang dijunjung, lainnya menyimpulkan sedang dijajah. Yang satu berpendapat mereka hidup dalam sukses demokrasi, lainnya berpegangan bahwa mereka sedang diinjak oleh otoritarianisme kekuasaan. Andaikan dua keyakinan menggumpal dan dua kekuatan ini meruncing, maka tidak bisa dibayangkan dahsyatnya benturan horizontal yang bisa terjadi. Tetapi sepertinya tak akan terjadi sejauh itu. Arena pepe

Sinar Cemerlang (Peradaban Informatika)

Hoax, Intoleran, Radikalis, Teroris, PKI, Khilafah, Makar, Ujaran Kebencian, dan berbagai macam kata dan idiom yang mengerikan itu: siapa yang menentukan “ya” atau “tidak”nya? Misalkan saya menerima info berikut ini, bagaimana saya bisa menemukan “sumber primer” untuk mengkonfirmasi ia benar atau bohong? Apa jaminan bahwa sebuah kantor berita di belahan manapun di dunia bisa dipercaya atau tidak? “126.778 teroris yang dimasukkan ke dalam tahanan dan 59.254 teroris lainnya dijebloskan ke sel-sel penjara, oleh pemimpin anti-teroris dunia. Dan masih akan lebih banyak lagi. Ia kejar para teroris itu, termasuk kader-kadernya, sampai ke ujung dunia, ke pelosok-pelosok hutan dan tepian-tepian jauh semua laut dan samudera. Negara-negara di permukaan bumi ia kasih informasi tentang jaringan internasional pengkaderan terorisme itu. Ia mau dunia aman. Kalau perlu ia pengaruhi, ia takut-takuti atau ia paksa sekitar 164 Negara-negara untuk melepas para teroris yang akan ia penjarak

Kiai Hologram (Tuhan itu ada beneran, po?)

Aku tidak pernah beranggapan bahwa ada orang, terutama di zaman sangat modern ini, yang butuh dinasihati, diceramahi, dikasih pengajian atau minta pencerahan. Tetapi kalau kebetulan ada yang berlaku seperti itu kepadaku, aku menjawab: “Aku tak punya apa-apa yang kau perlukan. Tapi mungkin kalimat Tuhan ini ada gunanya buatmu: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka ”. Dahsyat informasi itu: “ tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia ”. Maka kata-kata anakku tentang Dmitry Itskov, sangat menggangguku. Meskipun aslinya ia bukan siapa-siapa bagiku, apalagi aku baginya. Ada yang lantas merespons dengan pertanyaan: “ Tuhan itu ada beneran, po? ”. Kujawab: “ Sebagai orang yang sudah tua, kupilihkan jawaban begini: Mending kamu pilih per

Pakar Juwet (Revisi Jiwa Manusia)

Apa maunya milyuner Rusia bernama Dmitry Itskov itu bercita-cita kelak pada tahun 2045 menciptakan Hologram yang memiliki kecerdasan seperti manusia? Tidak sekadar robot seperti sekarang, yang hanya bisa melakukan beberapa hal yang diprogram? Baik robot dalam arti benda “bid’ah” bikinan manusia, maupun manusia-manusia yang dirobotkan oleh sistem dan mekanisme yang diberlakukan di dunia? Yang paling mudah diprasangkai adalah Itskov ingin “menelanjangi” semua ummat manusia, seluruh data tentang manusia ada di genggamannya, sehingga “satu sistem dunia” yang dipimpinnya menguasai dan mengendalikan setiap langkah peradaban manusia. Prasangka lain adalah manusia hologram ini merupakan kritik kepada Tuhan yang meskipun sudah menciptakan “ manusia hibrida baru ” yang “ ahsanu taqwim ” tapi tetap saja kejam kepada sesamanya, gila kekuasaan, maniak keduniaan, merusak bumi dan menumpahkan darah, menipu, merekayasa, menjajah, menjebak, memonopoli. Cita-cita Itskov adalah merevisi so

BERHATI-HATILAH PADA MANUSIA (Berhala Yang dituhankan)

Anakku menginformasikan suatu hal yang menggembirakanku. Yang memberi harapan pada masa depanku, meskipun hanya Allah dan Malaikat Izroil yang tahu apakah aku masih punya masa depan, ataukah tinggal sebentar lagi. Info anakku itu hal baru bagiku. Padahal itu berita lama dan usang bagi Generasi Milenial. Kayaknya anakku sengaja menghiburku. Sebab pagi itu aku murung. Aku dibombardir oleh banyak teman: “Sampeyan ini sebenarnya Pro apa Kontra? Anti atau Pro? Mendukung apa melawan? Kanan apa kiri? Tuhaner atau Ibliser…”. Dan macam-macam lagi. Kubilang aku ini murung, supaya teman-temanku lega hatinya. Kujawab serampangan: “Aku ini plinthat-plinthut seperti hari: kadang siang kadang malam, kadang pagi kadang sore. Aku ini slinthat-slinthut seperti kelapa: kadang sabut kadang batok, kadang krambil kadang blarak…”. Yang Tuhaner dan Ibliser tidak kujawab, karena aku tahu di pandangan mereka Tuhan dan Iblis itu dua musuh bebuyutan. Tuhan dan Iblis adalah “dua tuhan”, dua kekuatan yang saling be

NABI DI JAKARTA (Shiddiq Amanah Tabligh Fathonah)

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kalau Tuhan menyuruh kita pergi Haji, Tuhan sendiri tidak lantas mencontohi pergi Haji. Kalau Tuhan memerintahkan kita bayar zakat dan suka bersedekah, Tuhan sendiri jelas Maha Pemurah dan sangat nyah-nyoh. Kalau Tuhan menyuruh kita berpuasa, dalam makna tertentu Tuhan sendiri selalu sangat berpuasa, menahan diri, menunda hukuman. Kalau tidak, layaklah Pulau Jawa ini longsor seluruhnya ditelan bumi. Kalau Tuhan memerintahkan manusia bersyahadat, meneguhkan kesaksian atas diri-Nya beserta kekasih-Nya, Ia sendiri bersaksi atas diri-Nya. “Kullama nadaita ya Hu, qala ya ‘abdii ana-Llah”. Setiap kali hatimu memanggil-manggil-Ku dengan cintamu, aku menjawab: “Ya, kekasih-Ku, ini Aku Allah kekasihmu…”. Dan kalau Allah memerintahkan agar manusia bershalawat kepada Muhammad kinasih-Nya, Allah sendiri memeloporinya, memberi teladan dan memulainya: “Innallaha wa malaikata-Hu yusholluna ‘alan-Nabi. Ya ayyuhalladziina amanu shollu ‘alaihi wa sallimu tasliima…” S

TARZAN ABAD 21 (Kasyaf Intelligence)

Ya Allah ya Rabbi ya Karim aku Tarzan abad 21. Aku bertanya kepada anak sulungku: “Dunia sudah sampai di mana, Nak?”. Ia menjawab enteng: “AI, Cak, Artificial Intelligence”, seperti menjawab di mana warung tongseng yang paling enak. “Apa itu?”, kukejar. Ia menjawab: “Kecerdasan buatan”. “Yang membuat siapa?” “Ya manusia, Cak, mosok kambing” “Dibuat bagaimana?” “Kecerdasan manusia dirumuskan kemudian diterapkan ke benda” “Benda apa? Akik? Jimat? Susuk?” “Terutama komputer, Cak. Kecerdasan manusia ditransfer supaya komputer bisa melakukan sesuatu seperti manusia sampai batas yang ditentukan” “Ooo. Bapak pikir seperti rajah, mateg aji Rog-rog Asem atau Lembu Sekilan…” “Ndak, Cak. Itu hubungannya dengan misalnya logika fuzzy, jaringan saraf tiruan, robotika. Ada AI konvensional, ada juga kecerdasan komputasional…” “Sudah, sudah, Nak, yang istilah-istilah begituan jangan panjang-panjang. Yang penting itu semua untuk apa?” “Untuk memudahkan hidup. Nanti di jidat kita