Skip to main content

Kegembiraan Bersedekah (Daur-II • 274)

Sebab bergembira dan dengan kegembiraan, seseorang menggembirakan 13.250 keluarga dengan menyedekahkan tak kurang dari 7 (tujuh) triliun rupiah untuk membangun rumah-rumah mereka.

Sekitar 50.000-an jiwa atau anggota keluarga itu rumah-rumahnya tenggelam oleh luapan air kental keruh dari perut bumi. Orang itu memberikan 5X (lima kali) lipat harga tanah dan rumah mereka.
Markesot ketemu orang itu dan bertanya: “Dulu Bapak Anda dimakamkan di mana?”. Orang itu menjawab: “Wah iya, kalau mereka tidak punya rumah, Bapak saya bisa bangkit dari kubur dan memurkai saya”. Markesot menyahut: “Jadi gimana?”. Orang itu menjawab: “Asal Cak Sot menemani, saya akan kasih mereka biaya berlipat untuk membangun rumah”. Dialog tak sampai 4 (empat) menit itu menerbitkan kegembiraan bersedekah.

Yang dulu rumahnya sederhana, kini agak mewah. Yang dulu naik sepeda kini naik motor. Yang dulu naik motor kini naik beberapa motor. Yang dulu punya beberapa motor kini punya mobil. Yang dulu punya satu mobil kini beli mobil lagi. Yang dulu istri satu kini ambil istri lagi. Yang dulu buruh kini punya badan usaha. Yang dulu karyawan kantor kini bikin kantor sendiri.

Yang dulu alim kini punya ide maksiat. Yang dulu makan sekadarnya kini makan agak mewah. Mereka berombongan pergi umroh dengan jargon “Alhamdulillah perut bumi dibocorkan oleh Allah”. Mirip dengan kalimat Ibunya orang yang menyedekahkan 7 triliun itu yang memerintahkan kepada putranya: “Bikinlah mereka kelak berkata: Untung ada luapan air kental keruh”.

Kegembiraan orang itu bahkan dibiarkan melebar-lebar dan menciprat-ciprat ke sekeliling. Misalnya untuk pihak-pihak yang menodongnya dengan kekuasaan untuk membayar ini itu. Orang-orang yang sudah dikasih rumah kemudian melakukan demonstrasi sehingga dikasih rumah lagi. Orang-orang yang mengumumkan perjuangan dan pembelaannya kepada rakyat dengan maksud agar dikasih rumah. Serta berbagai macam modus kemuliaan dan kesucian untuk mendapatkan harta benda.

Ketika awal dijumpai oleh perwakilan belasan ribu keluarga itu, Markesot menjawab: “Dan Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’”. [1] (Ibrahim: 7). Maka diwujudkan oleh Allah kedua klausul itu. Yang pertama, mereka memperoleh lima kali lipat dari yang mereka kehilangan. Bahkan sebagian memperoleh 6X (enam kali) lipat, berdasarkan kadar kesetiaannya kepada prinsip yang sejak awal dipegang bersama.

Yang kedua, mereka yang culas dan tidak bersyukur, didaftari oleh Markesot. Ada yang pabriknya terbakar. Ada yang bangkrut usahanya. Ada yang bubar rumah tangganya. Ada yang berhijrah dari pimpinan perusahaan menjadi karyawan pom bensin. Ada yang masuk penjara karena terpeleset kerakusan. Ada yang dipanggil langsung oleh Allah. Berbagai macam “inna ‘adzabi lasyadid” diterapkan oleh Allah. Ada yang langsung. Ada yang sebulan dua bulan atau setahun dua tahun kemudian. Ada yang dititipkan ke Malaikat Malik di Neraka.

Orang yang bersedekah 7 triliun itu disempurnakan kegembiraaannya: Tuhan membungkam mulut publik, media, koran, teve, medsos, institusi dan tokoh-tokoh agar jangan ada yang memujinya. Boleh memberitakan, asal yang merugikan dan menghancurkan nama si penyedekah itu. Sebab “a bad news is a good news” (Amin ya Robbal ‘alamin). Kalau ada 2.500 orang kumpul syukuran punya rumah baru, di sampingnya ada 15 orang demo teriak-teriak pura-pura belum punya rumah, atau pokoknya nodong lebih banyak – maka yang dimuat di media adalah yang 15 orang.

Bahkan pandangan mainstream mengutuk dan memfitnahnya sampai hari ini. “Dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih”. [2] (Al-Jatsiyah: 8). Allah pun memaklumkan agar kita memberi kabar gembira.

Markesot sok-sok ikut memaklumkan: “Luapan air keruh kental ini ujian bagi nurani, akal sehat dan akhlak kita semua. Lulus tidaknya kita, akan membenih ke selamat atau tidak selamatnya nasib hari depan seluruh bangsa kita”. Hahahaha. EGP. Emangnya elo Tuhan, Sot.

Purwokerto, 19 November 2017
 
#Daur
https://www.caknun.com/2017/kegembiraan-bersedekah/
 
 

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu