Skip to main content

Membubarkan Penyiksaan (Daur-II • 268)

Di era 1980-an transportasi ideal dan mewah adalah Bus Malam. Yogya-Malang PP idolanya adalah Bus Agung Anugerah. Kalau lintas provinsi Jatim-Jateng viralnya adalah Bus Mila. Profesional, lajunya cepat tapi terukur, sopirnya canggih, duduk di kursinya serasa Bismillahirrohmanirrohim.
Tapi untuk memenuhi acara Minggu Pagi di Masjid Raya Batu Malang, Mbah Sot kehabisan tiket Agung Anugerah. Terpaksa naik Bus umum dari Yogya sedapatnya. Subuh tiba di terminal Malang, shalat, numpang antre mandi, sarapan pecel, kemudian naik angkot Malang-Batu. Semua serba manual. Belum ada Grab atau Go-Jek.

Kehidupan di zaman Markesot belum tua waktu itu belum move on, masih jadul, go-blog dan go-mbal. Ke mana-mana wajah masih go-song, mental go-cik, tidak gagah perkasa, tangguh berani dan sakti mandraguna seperti generasi sekarang. Dulu “old” sekarang “now”. Dulu “go” sekarang “guw”.
Paling lambat 15 menit sebelum acara, Mbah Sot harus sampai di dekat lokasi. Al-barnamiju ‘ala waqtiha. Program dilaksanakan tepat pada waktunya. Mbah Sot sembunyi di warung kecil. Ngopi sambil melihat Masjid dari kejauhan. Tapi jam 09.00, jam acara Mbah Sot diundang, belum tampak ada aktivitas apa-apa di Masjid. Mbah Sot tunggu sampai 30 menit, satu jam, kompromi sampai 1,5 jam. Akhirnya karena tidak ada tanda-tanda akan ada acara, Mbah Sot pun berjalan mencari angkot untuk balik ke Malang, kemudian Yogya.

Ternyata ketahuan oleh beberapa Panitia, yang entah sembunyi di mana. Mbah Sot dipindah ke kendaraan mereka, diajak ke Warung Jawa Timur, dan dikasih tahu bahwa “demi menjaga hubungan baik dengan Pemerintah, acara pengajian dibatalkan, karena Polres dan Kodim melarangnya”. Mbah Sot sempat merespons: “Awakmu bukan menjaga hubungan baik, Rèk, tapi bekerjasama melestarikan hubungan buruk”. Tapi Mbah Sot tidak marah. Bahkan bersyukur.

Tidak ada kenikmatan melebihi posisi Mbah Sot pagi itu. Sudah mendapat pahala karena memenuhi janji acara, sudah berjihad naik Bus semalaman sampai mandi di terminal, sudah beramal saleh mendekat ke Masjid dan siap acara — dan mendadak merdeka dan tak harus repot-repot bicara di podium Masjid, tapi sudah mendapatkan pahala dari niat dan bukti tanggung jawabnya. Malah tambah makan enak di warung maknyus, laba perenungan dengan pemuda-pemuda harapan bangsa.
Pakde Tarmihim dulu awalnya tidak benar-benar memahami cara berpikir Markesot. Normalnya orang yang diundang jauh-jauh dan sudah memenuhinya dengan naik Bus semalaman, datang sendiri ke tempat acara tanpa jemputan, lantas ternyata acaranya batal tanpa pemberitahuan sebelumnya: marah besar dong. Bahkan kalau di dunia profesional, ia berhak mendapatkan ganti rugi.

Hal seperti itu dialami Markesot tidak hanya sepuluh dua puluh kali. Ditambah lagi Markesot ternyata belum tentu mendapatkan apa-apa, penghargaan, uang transport, oleh-oleh ketela atau pisang, sesudah memenuhi janjinya. Pantas Markesot tidak pernah meningkat hidupnya. Kariernya tidak berkembang. Juga tetap miskin, tidak terkenal, tidak jadi apa-apa.

Tetapi Markesot seperti tidak mengalami apa-apa. Senyum-senyum saja. Malahan bersyukur. Anak-anak muda yang mengecewakannya itu tetap disayanginya, tidak berubah sedikit pun dari sebelumnya. Ketika Tarmihim mencoba bertanya, Markesot menjawab: “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. [1] (An-Nisa: 147)
O, jadi maksud Markesot, kalau bersyukur, bubarlah kemungkinan penyiksaan dari Allah.

Sidoarjo, 13 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu