Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2017

Gentholing Terombang-Ambing (Daur-II • 286)

Para Pakde tidak tega melihat Gentholing terombang-ambing dalam arus besar pertentangan antara kebenaran yang dipelajarinya selama ini dengan keadaan di sekelilingnya. Secara bertahap ia bersama teman-temannya belajar memahami zaman, melalui berbagai metode dan terminologi yang berasal dari berbagai macam sumber. Dari wacana-wacana tradisional hingga yang paling modern dan advanced . Dari filosofi sehari-hari hingga filsafat-filsafat besar dunia. Dari yang paling remang-remang di rimba kebatinan hingga informasi dan hidayah firman. Pengetahuan itu menjadi ilmu. Ilmu menjadi kesadaran. Kesadaran menjadi kritisisme yang mendorong gerak eksoterik ijtihad. Dan sebagian hasil ijtihad menjadi keyakinan. Tapi sekaligus semakin mengalami benturan-benturan dengan fakta-fakta sejarah terutama yang kasat mata. Berlakunya peradaban ummat manusia di seluruh dunia, yang penduduk Negerinya sedang setengah mati mengejarnya, adalah dalam lingkup Ilmu Katon. Semua yang tidak Kasa

Qithmir War-Roqim Wal-Anjing (Daur-II • 285)

Gentholing semakin sulit dihentikan. Berkepanjangan ia mengutip ayat demi ayat: “ Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat ”. [1] (Al-Baqarah: 7) “Bagaimana kalau yang dimaksud Allah itu adalah kita, bukan mereka”, akhirnya Jitul dan lainnya sepakat tanpa berunding terlebih dulu, untuk menggoda Toling. “Ya”, Junit menambah, “kitalah yang oleh Allah dikunci pendengarannya dan ditutup penglihatannya” Seger tak mau kalah: “Yang kamu tuduh itu adalah orang-orang yang hidupnya penuh Al-Qur`an, hadits, shalawat, Kitab-Kitab, nasab orang-orang suci, sanad ilmu yang diakui oleh sejarah. Sedangkan kamu, Ling, hanya korak …” Toling tidak peduli. Ia meneruskan ayat: “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman ”. [2] (Al-Baqarah: 8) “Kalau itu jelas, dan saya setuju”, kata Seger.

Politik Talbis Para Radikalis-Intoleran (Daur-II • 284)

Pesan tentang mengintensifkan laku-puasa dan “suami selingkuh” dari Markesot itu membuat Jitul dan teman-temannya meminta para Pakde mengadakan pertemuan khusus dengan mereka, terutama untuk mewanti-wanti Gentholing. Soalnya Toling sudah keterlaluan kalap pikirannya. Terakhir ia bilang kepada Junit, Jitul dan Seger: “Kita sekarang sedang dikuasai oleh kaum radikalis-intoleran, yang menuduh siapa saja yang tidak sejalan dengan mereka sebagai kaum radikalis-intoleran. Sedang berlangsung politik talbis besar-besaran, dan akan disempurnakan dua tahun lagi. Mereka mentalbiskan kejahatan sebagai kebaikan, kedhaliman sebagai kesantunan, perusakan sebagai pembangunan, kehancuran sebagai kejayaan…” Sangat berbahaya arah arus pikiran Toling. Teman-temannya tidak sedikit pun mendapatkan peluang untuk mereaksinya, karena akhir-akhir ini Toling kalau omong sangat gencar seperti mitraliur seribu peluru. Toling terus bicara. “Para istri, anak-anak dan semua keluarga sebenarny

Yang Lebih Mencintai (Daur-II • 283)

Rupanya hal 2018-2019 itu yang membuat Markesot pergi menghilang kali ini bersama Mbah Shoimun. Anak-anak muda itu mendengar dari Pakde Sundusin. Pernyataan Markesot sangat melankolik dan Zaman Old banget: “Demi cinta saya kepada rakyat, bangsa dan Negara, mulai sekarang hingga dua tahun ke depan atau lebih, saya akan berpuasa lebih total dibanding puasa-puasa saya selama ini”, berkata Markesot kepada teman-temannya. “Puasa bagaimana?” “Saya tidak akan mengatakan lebih banyak lagi hal-hal yang sebenarnya saya berhak mengatakannya. Bahkan demi kepentingan umum sesungguhnya saya setengah wajib mengatakannya. Saya akan mulai sangat menahan diri, mengunci mulut lebih erat, dan menyimpan lebih banyak hal-hal untuk disimpan dalam rahasia” “Hal-hal apa itu maksudnya?” “Hal-hal tentang Indonesia, Pemerintah, Islam, kekuasaan, ormas dll” Itulah salah satu contoh, di antara banyak contoh-contoh lain, di mana Markesot menjadi bahan tertawaan teman-temannya sendiri,

Beribu Kemungkinan

#Tetes https://www.caknun.com/2017/beribu-kemungkinan/

Pulau-Pulau Ternak (Daur-II • 282)

Ada zaman di mana suatu kumpulan manusia tidak mengerti bahwa ada ayam sedang berkokok, kalau si ayam tidak mengatakan kepada mereka bahwa ia sedang berkokok. Kalau di pagi hari matahari terbit, ia harus pasang iklan di radio, televisi, koran atau medsos yang mengumumkan bahwa ia sudah terbit. Kalau hujan turun dari angkasa, ia harus pasang baliho atau poster di jalan-jalan yang memaklumkan bahwa ia sedang mengguyur. Di antara kumpulan manusia itu komunikasi dilaksanakan dengan transparansi tingkat puncak. Orang tidak bisa menangkap cinta orang lainnya kecuali si pecinta menyatakan secara terang-terangan bahwa ia mencintai orang dicintai. Pernyataannya minimal dengan kata-kata, bunyi dari mulutnya, atau tertulis di kertas, atau dengan memberikan uang, mobil dan rumah. Kalau ada orang sedang bersedih, temannya baru mengerti sesudah orang itu memberi pernyataan: “ Saya sedang bersedih, lho ”. Kalau ada Setan mendatanginya, orang tidak paham bahwa itu Setan. Ketika si

Figur Pro-Iblis (Daur-II • 281)

Sangat sering Markesot mengungkapkan pemikiran, melontarkan hal-hal yang tidak lazim, atau mengajak diskusi teman-temannya tentang hal-hal yang tidak populer bagi mainstream dan khalayak ramai. Markesot tidak pernah terdidik untuk menjadi manusia yang berguna bagi Bangsa, Negara dan Agama sebagaimana umumnya orang Indonesia. Mungkin ia contoh dari manusia mubadzir. Padahal ungkapan-ungkapannya terkadang menabrak pagar orang, nyerempet kendaraan politik yang sedang melaju. Akibatnya ia dituduh anti ini dan pro itu. Padahal di tema seperti itu Markesot biasanya hanya urusan dengan Procold atau Antimo kalau mau naik bus ekonomi antar provinsi. Misalnya, tiba-tiba ia bilang ke teman-temannya: “Saya takut menanyakan kepada siapa saja apakah ia percaya bahwa kita semua ini hidup abadi. Bahkan kekal dan abadi: seolah-olah dua rentang keabadian. Kerdilnya akal dan imajinasi kita tidak bisa mengukur keabadian kecuali dibatasi oleh bayangan bahwa keabadian itu tak ada bat

Beri Daku Pancasila (Daur-II • 280)

“Saya ingin di masa yang akan datang ada Negeri yang ber-Pancasila, dan saya akan riang gembira menjadi rakyatnya. Saya ingin menjadi warga suatu Negara di mana Pancasila menjadi keutamaan pandangan hidupnya, prinsip mendasar perjuangannya dan panduan primer perjuangan sejarahnya. Kalau tidak mungkin, ya Provinsi Pancasila, atau Kabupaten, Kecamatan, Desa Pancasila. Kalau tetap mustahil yang keluargaku harus Keluarga Pancasila”. Gentholing menjawab tegas pertanyaan Pakde Sundusin yang penasaran terhadap bantahan-bantahan anak ‘kecil’ itu: “Jadi maumu sebenarnya apa to, Ling?” Tiga Pakde itu memberi peluang selapang-lapangnya kepada ide segar Toling yang mencita-citakan Pancasila di masa depan kehidupannya. Sementara Junit dan Jitul memperhatikan sambil Seger tak pernah melepas catatannya. “Saya Khalifah Allah di bumi. Allah meletakkan Khilafah di tangan saya. Pancasila adalah hasil ijtihad atas prinsip Khilafah itu oleh, pada dan bagi formula manusia Nusantara

Meskipun Kulempar Matahari (Daur-II • 279)

Kasihan Gentoling dan teman-temannya. Usia masih muda belia tetapi Pakde-Pakde mereka mempengaruhkan sesuatu yang tidak produktif untuk hidup mereka. Generasi muda harapan bangsa yang sedang giat-giatnya membangunkan jiwanya dipenuhi oleh hal-hal yang menyangkut ke-Tuhan-an, nilai-nilai rohani, monomor-satukan Akhirat dan monomor-duakan dunia. Gimana tak macet perjalanan mereka ke masa depan. Mestinya anak-anak Zaman Now dipacu adrenalin materialismenya. Dicambuk kariernya untuk sukses. Menjadi penguasa besar, pejabat tinggi, kaya raya. Memanjat waktu sampai setinggi langit. Mengarungi ruang sampai berkuasa mengeruk seluruh kekayaan cakrawala. Anak-anak muda harus ambisius, menggunakan hak-hak hidupnya untuk menjadi manusia besar, pemimpin pembangunan dan pengendali sejarah. Lha para Pakde ini mewakili Mbah Markesot malah menenggelamkan mereka ke dalam kosmos spiritual, filosofi, sangkan paraning dumadi , prinsip “ inna lillahi wa inna ilaihi roji’un ”. Jadinya hidup ka

Qur`an Sepertiga dan Perang Sampyuh (Daur-II • 278)

Ratusan ribu kaum pendatang diburu dan dibunuh. Sama sekali tidak sulit untuk menemukan yang diburu. Tidak perlu diperiksa kartu identitasnya, tak perlu membuka buku sensus atau menyandera Kepala Desa untuk mendata siapa-siapa kaum pendatang yang menginjak-injak harga diri para penduduk asli itu. Cukup dengan penciuman atau sekelebatan mata memandang jenis wajah mereka. Pemberangusan atas kaum pendatang itu berlangsung amat cepat. Ratusan ribu orang terkubur, atau kepala-kepala mereka ditancapkan di tonggak-tonggak pagar. Hukum tidak berdaya. Jangankan bertindak: sekadar mengidentifikasi data-data pemusnahan saja tidak mencukupi perangkat dan energinya. Sebab di belakangnya terdapat komplikasi sosial, konslet ekonomi dan akumulasi persaingan hidup yang panjang. Markesot dengan sejumlah temannya menemukan area Pesantren yang luluh lantak rata tanah karena dibakar. Pak Kiai dan para santri mati. Tinggal Bu Nyai dan anak kecilnya. Sebuah Mushaf Al-Qur`an terbakar, ti

Pesta Kambing Gembira (Daur-II • 277)

Apa ini? Kisah-kisah kepahlawanan kelas kacang? Aslinya Toling sudah sangat tidak tahan mendengar cerita-cerita Pakde Tarmihim. Tapi ia coba tetap bertahan. Siang hari bolong Markesot mendadak mendapat tamu aneh. Seorang Boss toko komputer besar, dengan beberapa stafnya, yang sebelumnya belum pernah datang ke situ. Wajahnya pucat, para pengawalnya juga tertekan air mukanya, diam, bibir tertutup dan menunduk. Rupanya ada kejadian yang bisa berkembang ke anarkisme dan kriminalitas di toko besarnya. Sekitar tiga puluh orang sangar-sangar masuk. Menyebar ke berbagai titik di ruang tokonya. Masing-masing naik ke meja, memegang komputer, mengangkatnya tinggi-tinggi. Kemudian salah seorang dari mereka berkata keras: “Siapa tadi yang bilang bahwa Pak Markesot dikasih mobil oleh Harmoko?” “Dikasih rumah oleh Moerdiono”, sambung yang lain. “Juga dibilang Pak Markesot sangat ingin diundang ke Istana Pak Harto” “Siapa?”, kata suara yang pertama, “Ayo ngaku. Semua tuduhan

Indah dan Menggembirakan (Daur-II • 276)

Belum sempat menyentuh makanan pesanannya di area warung lesehan terkenal, Markesot tiba-tiba mendengar suara gedebug-gedebug. Ketika ia spontan menoleh ke arah itu, dilihatnya seseorang memukul wajah seseorang lainnya sehingga jatuh terkapar. Markesot langsung melompat dan menjatuhkan diri telungkup di atas lelaki yang terkapar itu. Darah meleleh dari pangkal hidungnya sebelah kiri di bawah jidat dan alisnya. Kalau melihat letak titik lukanya dan merangkaikan dengan jenis gerakan dan posisi pemukulannya, tampaknya yang membikin luka adalah “sikut” jari tengah atau minimal jari telunjuk, yang dipukulkan dengan posisi sangga genggaman yang tidak seperti genggaman tangan biasanya. Itu pola pukulan dari suatu jenis bela diri tertentu. Sambil tangannya memeluk lelaki itu, Markesot menoleh ke atas, ke arah lelaki yang memukulnya. Tidak omong apa-apa, tapi sorot mata dan sedikit gerak tangannya menyampaikan agar jangan diteruskan, dan mohon tunggu sebentar. Lelaki pemuk

Ango`an Potèh Tolang, Setnov (Daur-II • 275)

Andaikan Markesot dikenal oleh Setya Novanto dan ditanya tentang keadaannya hari-hari ini, mestinya Markesot menjawab begini: “ Etembang potèh mata, ango`an potèh tolang, ta`iye! “. Daripada mata tinggal putihnya karena malu dan terhina, lebih baik mati badan tercabik-cabik tinggal tulang putih”. “Apa yang kau mau pertahankan lagi? Kau banting sendiri martabat dan harga dirimu, dan kini semua orang sekampung menginjak-injakmu? Kau menelanjangi dirimu sendiri bulat-bulat di spotlight panggung nasional dan dunia. Kau hancurkan sendiri eksistensi dan reputasimu, dan burung-burung pemakan bangkai mencabik-cabik nasibmu, mencucupi dan mereguk darahmu. Kepalang, Setnov. Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah…” Memang Setnov sedang berhadapan dengan tiga kekuatan. Pertama , Tuhan yang menciptakan dan menghidupkannya. Kedua , KPK dan sistem hukum Negara. Ketiga , suara-suara dari kegelapan yang melemparinya ancaman-ancaman terhadap keselamatan nyawa

Kegembiraan Bersedekah (Daur-II • 274)

Sebab bergembira dan dengan kegembiraan, seseorang menggembirakan 13.250 keluarga dengan menyedekahkan tak kurang dari 7 (tujuh) triliun rupiah untuk membangun rumah-rumah mereka. Sekitar 50.000-an jiwa atau anggota keluarga itu rumah-rumahnya tenggelam oleh luapan air kental keruh dari perut bumi. Orang itu memberikan 5X (lima kali) lipat harga tanah dan rumah mereka. Markesot ketemu orang itu dan bertanya: “Dulu Bapak Anda dimakamkan di mana?”. Orang itu menjawab: “Wah iya, kalau mereka tidak punya rumah, Bapak saya bisa bangkit dari kubur dan memurkai saya”. Markesot menyahut: “Jadi gimana?”. Orang itu menjawab: “Asal Cak Sot menemani, saya akan kasih mereka biaya berlipat untuk membangun rumah”. Dialog tak sampai 4 (empat) menit itu menerbitkan kegembiraan bersedekah. Yang dulu rumahnya sederhana, kini agak mewah. Yang dulu naik sepeda kini naik motor. Yang dulu naik motor kini naik beberapa motor. Yang dulu punya beberapa motor kini punya mobil. Yang dulu pu

Yang Maha Gembira (Daur-II • 273)

“ Ketika Tuhan tersenyum, terciptalah Pasundan ”. Begitu seorang komponis keindahan memilih bentuk ungkapan rasa syukurnya. Gembira atas anugerah tanah Pasundan nan indah dan kaya raya. Bangga dijadikan manusia Sunda dengan kehalusan jiwanya. Orang Madura boleh tak mau kalah. “ Ketika Tuhan tertawa ceria, terciptalah Madura ”. Manusia Madura sangat percaya diri. Jiwanya bebas. Pikirannya liar. Logikanya unik. Keberaniannya membelah kehidupan dan ketangguhannya melawan tantangan, tak tertandingi. Tetapi harus dijaga ungkapan itu jangan sampai keluar dari ranah puisi, amsal dan simbolisme-romantik susastra. Jangan lompat masuk ke fakultas ilmu, kecuali berbekal rentang dinamis antara fisika dengan metafisika. Cara pandang ilmu itu kategoristik dan lurus-lurus. Ilmu bertanya: Tuhan kok tersenyum. Apalagi tertawa ceria. Hati-hati terpeleset di jalan licin Mujassimah : menjisim-jisimkan Tuhan. Menjasad-jasadkan Malaikat. Meskipun Allah Maha Melihat dan Maha Mendenga

Dibubarkan, dan Foto Bareng (Daur-II • 272)

Di tahun 1991 sesudah hampir dua puluh tahun tidak ada demonstrasi mahasiswa, sahabat-sahabat muda Mbah Markesot bikin acara demo besar di Boulevard Universitas Gadjah Mada, yang diberi judul “ Anti Kekerasan ”. Ada sesi pembakaran patung Pak Harto. Orator aktivis mahasiswa yang naik panggung adalah Taufiq Rahzen, Rizal Mallarangeng, dan Brotoseno. Begitu masing-masing selesai pidato, sudah disiapkan kendaraan untuk membawa mereka ke suatu tempat yang aman. Ternyata pasukan TNI dan Polri datang dalam jumlah besar, dipimpin langsung oleh Danrem dan Kapolda. Ketika demo selesai, para orator sudah diangkut menghilang. Massa yang selama sejam lebih teriak riuh rendah, teriak-teriak, mengacung-acungkan tinju: surut pelan-pelan. Tinggal Mbah Markesot. Kenapa dia kok masih di situ? Apakah Mbah Sot seorang pemberani sehingga pasang badan? Tidak. Sama sekali tidak. Speaker butut yang dipakai untuk pidato-pidato di acara demo itu memakai accu Jeep kuno bututnya Mbah Sot.

Bermacam Cara Pembubaran (Daur-II • 271)

“Bukan perkara pelik untuk melawan penguasa lalim, kalau benar-benar penguasa lalim dan rakyat tidak salah persepsi bahwa mereka adalah penguasa lalim. Itu spektrumnya sebatas Ilmu Katon yang kasat mata. Ilmu Katon tidak susah-susah amat meskipun sangat berbahaya dan “ ngemu nyawa ”. Tetapi dulu Jailangkung saja tergolong mainan anak-anak.” “Yang susah adalah melawan penguasa lalim yang wajahnya utusan Allah, kostumnya Malaikat dan perilakunya Nabi. Ini abad kemunafikan. Pemalsuan seperti itu amat mudah dilakukan melalui seribu teknik pencitraan dan strategi “ talbis ”. Apalagi di era Medsos setiap orang bisa menjadi wartawan, redaktur dan sekaligus penyebar berita, dengan cukup melakukannya sambil jongkok di WC. Kemudian rakyat meyakini dengan mantap bahwa mereka dipimpin oleh Allah, Malaikat dan Nabi. Maka mereka siap mati untuk “bersyahadat” kepada “Allah”-nya, takjub kepada “Malaikat”-nya dan patuh membabi buta kepada “Nabi”-nya.” “Tak kalah susah adalah menyikapi