Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Ma RI wa La RI Disingkat: MALARI

Satu Tidak ada Malapetaka 15 Januari. Gerakan 15 Januari adalah shock theraphy. Untuk RI yang sudah mulai parah penyakitnya. Malari adalah nomenklatur diagnosis penguasa. Yang tidak merasa sakit dengan penyakitnya. Yang merasa sehat dalam sakitnya. Dua Dalam Bahasa Arab Ma artinya Tidak Kalau untuk kata kerja lampau Ma artinya Bukan Kalau ketemu kata benda Baik yang kongkret maupun abstrak La artinya juga Tidak Untuk kata kerja sedang atau sekarang Malari berarti dua kali tidak RI Dan satu kali bukan RI Tidak RI konteksnya Waktu Bukan RI spektrumnya Ruang Tidak RI artinya tidak mengerjakan sesuatu Yang menandakan bahwa ia RI Bukan RI artinya karena tidak pernah bekerja sebagai RI, dengan RI dan untuk RI Maka akhirnya ia benar-benar Menjadi bukan RI Tiga Bukan RI Bahasa Arabnya Ma RI Tidak RI Bahasa Arabnya La RI Jadi, Ma RI wa La RI Ia bukan RI, karena melihat perilakunya Tak ada tanda-tanda bahwa ia a

Bilik Cinta “Kwangwung” - Selamat jalan Mas Darmanto Jatman

Apakah stroke itu sakit? Apakah ia penyakit? Apakah “disfungsi” sejumlah peralatan biologis manusia itu penyakit? Apakah mati itu tidak atau bukan kehidupan? Apalagi, apakah mati itu tragedi? Anak bungsu saya pada usia 3 tahun berlari-lari riang gembira, lompat-lompat bersorak-sorak: “Horeeee Ibu meninggaaaaal! Horeeee…” Tentu saja Ibunya kebingungan, juga para tamu yang sedang ditemuinya. Pada suatu peluang, si bungsu dipanggil, dirangkul, dipeluk dan ditanya: “Kok bilang begitu kenapa, Nak?”. Si bungsu menjawab: “Lho kalau Ibu meninggal kan bagus. Berarti ketemu Allah. Apakah ketemu Allah itu buruk?” Manusia itu bikinan Allah. Disayang dan dicintai oleh Penciptanya itu. Disuruh hidup di bumi dengan perjanjian cinta: Allah mencintainya dan manusia diperjanjikan untuk juga mencintai-Nya. Mencintai-Nya berarti mengarahkan hidupnya untuk kembali menyatu dengan-Nya. Menjadi apapun di dunia–seniman, petani, pejabat, p

Paviliun di Sorga - Selamat jalan Mas Darmanto Jatman

  Andaikan ternyata kelak saya lulus masuk sorga, dan mendapat jatah rumah tidak terlalu kecil, dengan halaman depan dan samping yang cukup luas, serta kebun buah di belakang rumah: insyaallah akan saya bangun Paviliun di sisi kanan rumah saya untuk Mas Darmanto Jatman. Itu bukan karena saya seorang pemurah dan senang bersedekah, melainkan karena selama kost di Bumi, sampai Mas Dar ditimbali oleh Maha Pencipta dan Pengasuhnya: utang saya kepada Mas Dar belum saya lunasi. Di tahun-tahun terakhir kehidupan beliau yang “dimonopoli oleh Allah”, saya nyicil bayar utang dengan hanya memeluk-meluk beliau dan menciumi pipi beliau. Sebab lain kenapa hutang kepada beliau tak kunjung mampu saya lunasi adalah karena beliau lebih kaya dari saya terutama secara rohaniah. Beliau adalah kakak yang selalu tersenyum wajahnya sepanjang saya mengenal beliau sejak tahun 1969. Andaikan saya bisa melukis, yang saya torehkan di kanvas adalah senyuman itu sendiri: seluruh wajah dan kehidup

Al-Fatihah Yok dan Dakwah Wali Nomo (10)

Cobalah dengarkan intro gitar Tonny Koeswoyo di lagu “Kasih Sayang”. Selidiki waktu kapan ia dikarang. Bandingkan dengan intro gitar “ Stairway to Heaven ” Led Zeppelin. Kita jangan terlalu rendah diri lah sebagai bangsa. Memang beda kasusnya dibanding lagu “ Panon Hideung ” dengan “ Ochi Chernye ”, “ Cucak Rowo ” dengan “ She’ll Be Coming ”, “ Hotarubi no Mori e ” dengan “ Sayang ”, atau “ Sang Surya ” dengan “ A’thiny-Naya wa Ghanny ”-nya Fairuz Lebanon. Bangsa Indonesia perlu mulai menghormati dirinya sendiri. Sepeninggal Tonny, Yon dan Murry, hari ini kita masih punya Nomo dan Yok. Kalau Anda jumpa dan mengobrol dengan mereka, Anda harus telatèn mengenyam-ngenyam Indonesia serta merasakannya sampai ke lubuk hati. Indonesia, rakyatnya, tanah airnya, sangat memenuhi hati mereka. Ketika ngopi bareng mereka, jangan tunggu Nomo atau Yok akan pernah bicara tentang diri mereka, tentang karier, Koes Bersaudara dan Koes Plus,

Manusia Bukan Barang Jadi (9)

Pada tahun 2011, di rumahnya, Mas Yon pernah bertanya kepada saya: “Kalau kita Jumatan itu Khatibnya hampir selalu mengucapkan ‘Para Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah’. Itu bagaimana sebenarnya. Mulia itu kan soal derajat. Manusia punya derajat mestinya kan karena kelakuannya terpuji. Lha saya kan jadi malu, karena kelakuan saya belum pantas dipuji…” Mas Yon meneruskan bahwa kalau kalimatnya ‘Para Jamaah yang dikasihi Allah’ mungkin ada pantasnya. Karena semua kan makhluk Allah, jadi selayaknya kalau Pencipta mencintai ciptaan-Nya. Tapi kalau dimuliakan oleh Allah, ah, kok rasanya aneh. Apalagi di zaman sekarang kelakuan manusia tidak makin baik. Sepengenalan saya keluarga Koeswoyo ini memang tekun dan sungguh-sungguh soal nilai dan pencarian spiritual. Bahkan para cucu seperti Chicha dan Sari, kebanyakan orang tak menyangka sejauh dan sedalam itu proses pencarian spiritual mereka. Manusia itu bukan “barang ja

Berhijrah dari Khatulistiwa ke Cakrawala (8)

“ Di Nusantara yang indah rumahku. Kamu harus tahu. Tanah permata tak kenal kecewa. Di Khatulistiwa… ” (lirik Nusantara-1, Koes Plus). Di Nusantara. Tentu di wilayah atau pulau tertentu, tetapi hatinya di dan untuk Nusantara. Di Nusantara. Tidak golongan tertentu. Hidupnya di dan untuk seluruh bangsanya. Di Khatulistiwa. Berdiri di tengah. Tegak di antara semuanya. Bersemayam di titik dan garis keseimbangan. Tawashshuth. Khoirul umuri ausathuha. Tidak ber-parpol dengan mengambil seluruh Nusantara untuk parpol-nya. Tidak ber-pihak dengan menguasai seluruh tanah air demi pihaknya. Karena Koes selalu di tengah, maka ia bisa diterima oleh barat timur utara selatan. Tapi bisa ditolak oleh semuanya. Atau dipersalahkan oleh barat dengan dituduh sebagai timur, atau dimanfaatkan oleh timur untuk menyerang barat. Sebenarnya tahun-tahun sebelum Koes dipenjara peta pergulatan politiknya mirip dengan yang berlangsung hari-hari ini. Tetapi tidak persis sama, sebab hulu-hilirnya be

Jangan Tanya di mana Cinta (7)

Guru Bangsa bukanlah tokoh yang mengajari bangsanya. Guru Bangsa adalah orang yang fakta hidupnya, bukti perjuangannya, cinta dan komitmennya, kesetiaan dan keluhuran budinya—jangan sampai tak dipelajari oleh bangsanya. Jari-jari saya terus menunda menuliskan Skenario Dua pemenjaraan Koes Bersaudara. Tampaknya ia solider kepada hatinya. Emang siapa dan warga kelas sosial mana yang di Zaman Now ini mau benar-benar belajar kepada orang-orang yang mereka sungguh-sungguh butuh belajar kepada mereka demi masa depannya? Memang siapa yang bangsa Indonesia, pemerintahnya, tokoh-tokohnya, stakeholders – nya merasa perlu mempelajarinya? Kenalkah Indonesia kepada Syaikhona Kholil? Haji Ijay? Rendra? Cak Nurcholish Madjid? Tonny dan Yon Koeswoyo? Apalagi Markeso dan Sujud? Dulu Presiden SBY tampil di konferensi pers untuk berduka meninggalnya Mbah Surip, tapi tidak ketika Rendra wafat. Bahkan kepada Mbah Surip, meteor yang dipu

Digemblèng, Jatuh, Bangun Lagi (6) - Tohnyowo putra-putra Koeswoyo

Sebelum masuk Skenario Dua kenapa Koes Bersaudara dipenjara, kita tengok dulu keluar jendela. Sesudah menikahi model Bianca Pèrez-Mora Macias pada 12 Mei 1971, Mick Jagger ajak istrinya itu berbulan madu di Bali. Di hotel, di café , di mana-mana, terdengar lagu Yon Koeswoyo “ Hidup Yang Sepi ”. Beberapa lama kemudian lahirlah lagu Mick Jagger “ Party Doll ”, yang sangat mirip dengan karya Tonny Koeswoyo itu. Mungkin sekadar terinspirasi, tapi secara teknis memang wilayah nada dan framing lagunya terletak di koordinat yang sama dengan “Hidup Yang Sepi”. Kita sebagai bangsa yang rendah hati dan memilih akting tidak percaya diri, lebih senang menyimpulkan “Koes Plus meniru The Rolling Stones”. Tapi rasa tawadldlu` ini tidak didukung oleh fakta waktu terciptanya dua lagu itu. Satu-satunya hujjah (argumentasi) yang bisa melegitimasi “ being humble ” kita itu adalah suatu teori bahwa Koes Plus memiliki daya linuwih futurologi

Kereta Kencana Nusantara (5)

Andaikan Koes Bersaudara yang kondang tanpa saingan itu hidup berkiprah di Zaman Now, mereka akan ditawari menjadi Caleg Parpol untuk menjadi anggota DPR, menjadi Calon Gubernur atau Wakil Bupati, atau menjadi Duta ini itu, untuk semacam Peternakan Nasional. Tetapi saya tahu kepribadian dan nyali putra-putra Pak Koeswoyo: mereka mungkin bisa disandera dan ditaklukkan oleh kekuasaan besar, tetapi tidak mungkin mau diternakkan untuk menjadi hiasan penguasa, seberapa mewah pun kurungan dan makanan yang disediakan. Koes bukan burung-burung indah yang bisa dikurung di sangkar emas. Dengan bukti cinta, kesetiaan, perjuangan dan karya mereka berpuluh-puluh tahun: papan linuhung mereka adalah Kereta Kencana Nusantara, yang tidak boleh direndahkan untuk dinaiki oleh sembarang orang. Ada sekurang-kurangnya dua skenario tentang kenapa Koes Bersaudara dipenjara tiga bulan pas. Ini l

Ngak-Ngik-Ngok Bung Karno (4) - Koes di Penjara Glodok

Tonny, Nomo, Yon dan Yok ditangkap, disekap di sel penjara Glodok pada 29 Juni 1965 hingga 29 September 1965. Besoknya, 30 September, terjadilah G.30.S-PKI, yang sampai hari ini masih menjadi kontroversi pandangan sejarah. Singkatannya Gestapu. Kemudian versi lain Gestok, Gerakan 1 Oktober (1965). Berarti itu momentum peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dari Sukarno ke Suharto. Sampai beberapa waktu yang lalu para elite dan kelas menengah politik Indonesia masih mempertengkarkan soal ini, hanya saja volumenya naik turun, bergantung kepentingan beliau-beliau yang berebut panggung, mikrofon dan spotlight . Tapi apa yang sebenarnya dialami oleh Koes Bersaudara putra Pak Koeswoyo itu? Beberapa tahun kemudian Yon menyanyikan liriknya Tonny: “ Aku tahu senyum manismu. Aku tahu tajam lirikmu. Tapi tak kutahu isi hatimu… Ayo ayo he berterus terang. Jangan lewat he pintu belakang… ” Suharto dikenal dunia sebagai The Smilin

Tony Yon Selubang Berdua (3)

  Yon Koeswoyo dimakamkan selubang dengan Tony Koeswoyo kakaknya. Tony sudah menantikannya dengan wajah berbunga-bunga, kemudian menerimanya, memeluknya dan meletakkan kepala adik tersayang itu di pangkuannya. Entah apa yang mempertemukan rasa jiwa mereka, tapi terdengar mereka bernyanyi: “ Terlalu indah dilupakan, terlalu sedih dikenangkan… ”. Dan Yok Koeswoyo, adik mereka berdua yang berdiri di tepian makam, melantunkan “suara dua” dengan kelembutan hati dan kedalaman cintanya. Ah, benarkah ketiga bersaudara itu bernyanyi bersama? O, mungkin tidak bagimu, tapi ya bagiku. Atau sebaliknya. Tak apa. Kalau kamera kita berbeda, memotret objek sama, hasilnya benar semua, meskipun tak sama, karena resolusi dan pixel kamera kita berbeda. Hai, apa yang kau maksud dengan “benarkah”, “benar”? Benar dan kebenaran adalah cakrawala. Kebenaran tidak bisa dipersempit menjadi hanya yang kita bisa lihat, dengar dan raba. Kebenaran tak bisa kita batasi dengan anggapanku atau anggapan

Tul Kok Jaenak (2) - Tahniah kepada Habaib Koeswoyo

Kalau Mick Jagger, Bob Dylan, Yon Koeswoyo, Woody Guthrie, Waljinah atau Ummi Kaltsum ikut Pop Singer Contest di manapun di seluruh belahan bumi, menjadi Juara Harapan III pun tak akan. Dunia dikuasai oleh orang pandai. Peradaban ummat manusia dikendalikan oleh ‘Parameter Akademis’. Suara yang bagus itu begini, bernyanyi yang enak itu begitu, bermusik yang bermutu itu begono . Lima contoh legenda dunia dan Indonesia itu tidak memenuhi syarat untuk menang lomba nyanyi. Baik jenis dan warna suaranya maupun kemampuan menaklukkan nada, cengkok , vibrasi, sèlèh , ghoyah . Karena mereka berlima adalah karakter. Adalah manusia. Adalah tajalli percikan keindahan Maha Pencipta mereka. Mereka bukan penyanyi. Bahkan mereka bukan bernyanyi atau menyanyikan. Mereka menjalani diri mereka, melakoni kehidupan mereka. Penyanyi mengatur-atur dirinya, mengga-gayakan nyanyiannya, membatasi diri, mengikat dan menjerat kedaulatannya. Pe

Merebak Bunga di Sorga (1) - Nyelawat Mas Yon

Mas Yon pernah bercerita tentang asal-usul lagu “ Bunga di Tepi Jalan ” yang ia rangkai di Yogya. Kisah “teknis”nya biarlah kita “ pendhem jero ”, dikubur dalam-dalam. Menjadi aurat sejarah. Tetapi maknanya bisa kita genggam jadi “ jimat ” di tengah Zaman Now yang penghuninya semakin banyak yang menjelma jadi “ jrangkong ”, tulang belulang yang kaku, kasar dan mudah melukai: di wilayah apapun, dari politik kekuasaan, pecah belah kebudayaan, bahkan pun di wilayah ketuhanan dan peribadatan. “Jimat” dari Mas Yon yang dari lagu 1969 itu misalnya adalah kemuliaan menghijrahkan, mengangkat dan menjunjung bunga yang tergolek di tepi jalan. Lebih mulia lagi karena helai bunga itu bukan sekadar dipindah ke tempat lain yang lebih aman dari kaki-kaki manusia yang sewaktu-waktu bisa menginjaknya tanpa rasa bersalah, sebagaimana tradisi nasional di Zaman Now. Melainkan “biarlah kan kuambil, penghias rumahku”. Dimuliakan oleh Mas Yon