Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2009

CITA-CITA SUCI "SI DIA"

Di Jakarta, pusat kemajuan Indonesia, terdapatlah seorang wanita bintang seks yang cukup terkenal. la seorang foto model dan bintang film yang dianugerahi Tuhan wajah cantik dan tubuh indah. Rupanya ia tidak 'egois': anugerah itu tak dipakainya sendiri atau tak dipersembahkan hanya buat suaminya tercinta. la 'mendermakannya' kepada sebanyak mungkin orang, dengan cara membuka dan memaparkan keindahannya itu di depan kamera. Berkat 'kedermawatian'-nya itu, ia pun memperoleh uang dan kekayaan yang jauh melebihi kebanyakan penduduk negerinya. Itu, tentu saja, bukan berita aneh. Bahkan 'bukan berita'. Sebab kita sudah terbiasa memadukan baik dengan buruk secara harmonis. Kita mampu mengiklankan "budaya timur" sambil melanggarnya. Kita sanggup mempidatokan Ketuhanan Yang Maha Esa justru untuk melanggar-Nya. Kita ahli bicara soal film yang kultural edukatif sambil memproduksi barang jualan yang kurang beradab dan tak mendidik. Dunia jahiliah sudah men

OPLET BUNTUNG, THE HERO

Untuk mencapai dusun itu kita musti naik oplet dari Balerejo ke Kaliangkrik. Dan oplet itu, alangkah indahnya! Buntung, buruk, coreng-moreng, tanpa nomer, menggeram sepanjang jalan-jalan rnendaki yang curam dan memanjang. Orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di ekornya. Ibu-ibu bakul, Bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa yang bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup. Alangkah besar jasa oplet buntung ini. Itu rahmat yang bukan main besar dan megah dibanding teknologi transportasi di zaman Majapahit atau Mataram. Dan itu amat membantu kemudahan hidup mereka. Kemudian baru kita naik ojek, untuk menaki jalanan berbatu-batu yang Iebih curam lagi dan berkelok-kelok. Pembangunan amat sukar untuk mampir di daerah-daarah seperti itu, kecuali bila di dusun-dusun itu terdapat sumber tambang emas. Yang amat gampang dijumpai adalah pembangunan: Dua anak cukup, B3B, bebas tiga buta, tertulis di pintu-pintu rumah. Tetapi ada satu dua hal yang insya

MILIKKU,MILIK DAN KU

Para pembeli di warung kopi makin lama makin suka baca koran. Mempero!eh inforrnasi sudah sama kedudukannya seperti rnandi, makan nasi atau kerokan. Orang makin maju, karena tak mungkin berjalan ke belakang. Dulu orang cukup nguping, rerasan sana sini. Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang positif. Koran jual berita seperti warung jual mendoan. Maka semoga yang dijual oleh koran selalu 'rnakanan' objektif, sehat, bergizi, gurih, tidak dilatarbelakangi oleh subjektivitas kelompok ini-itu yang bisa bikin mencret. Meskipun demikian, kalau toh mencret, orang sudah terbiasa jajan di warung yang makanannya tak dilindungi dari debu dan lalat. Pelanggan warung kopi kita amal: suka berita kriminal, humor, iklan, atau guratan-guratan apa saja yang kira-kira bisa diindikasikan (oleh sebagian pelanggan) sebagai petunjuk nomer lotre. Yang paling kurang disukai biasanya ialah kutipan pidato. Pejabat ini bilang begini, sarjana itu bilang begitu. Bahasanya can

PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN

Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas, berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah. Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita. Dan itu amat terasa tatkala tubuh kita terhimpit-himpit. Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis, akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat jodoh. Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran, keterpojokan. Pusat sosial ekonorni ada

LISTRIK MAJAPAHIT

Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga seperti di kampung saya? Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif. Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis. Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata seseorang. "O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum ya?" Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis. Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad. Tapi kita tak tahu, dan tak be

Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi

Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya. Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi. Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda. Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan &qu

Buang Sial ke Singapura

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura. Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente. Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama. Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki y