Skip to main content

HUTANG TUHAN


Tahun 1984 di Berlin saya dikursus privat oleh Senior (usia) yang tak bisa balik ke Indonesia sejak 1965 tentang Ekonomi Sosialis: hasilnya saya tidak lulus. Kemarin saya diceramahi oleh Junior (usia) tentang “sunnatullah” kapitalisme liberal: hasilnya lebih tidak lulus lagi, gagal paham dan tidak mampu move-on.

Allah dalam “sunnatullah” di sini maksudnya uang. Uang adalah the Second God, tuhan kedua. Bagi Negara ataupun manusia, hidup adalah “membangun reputasi di hadapan sumber keuangan”. Keselamatan adalah “mematuhi kondisi yang ditetapkan fund manager”. Jalan menuju sukses adalah “menunjukan performa terbaik, supaya investor masuk, menghutangi kita tuhan”.

Sudah terlanjur tua renta saya baru timik-timik mulai sangat sedikit paham bahwa hidup adalah keseimbangan berlayar di atas gelombang hutang-piutang. Hidup adalah menjaga posisi di atas ombak sebab-akibat keuangan yang berputar dan dinamis: bukan soal yang kau makan itu milikmu atau bukan, melainkan tetap bisa makan atau tidak, pertumbuhan ekonomi positif atau tidak, devisa Negara mencukupi atau tidak -- meskipun posisinya hutang.

Saya dikursus bahwa hidup ini bukan soal apa Agamamu, Pancasila atau Khilafah ideologimu, seberapa rajin shalat, umroh dan wiridanmu. Hidup adalah kemesraanmu dengan lalulintas the Second God. Padahal 60 tahun lebih saya menyia-nyiakan waktu hidup dalam kausalitas dan mizan di spektrum the First God (tak bisa lagi saya sebut the Only God, karena menurut kursus itu ada the Second God yang “lebih berkuasa”).

Salah asuhan saya ini. Habis usia untuk transaksi dengan Tuhan yang bukan uang, “Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan pelunasan pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh bonus yang banyak”

Sejarah adalah rangkaian sebab-akibat. Hidup adalah keseimbangan plus minus. Tindakan adalah hutang dan piutang. Hutang-piutang uang dan harta benda.  Hutang-piutang perilaku baik dan buruk. Hutang-piutang keputusan yang menebar kegembiraan atau menerbitkan kesengsaraan. Hutang-piutang syukur dan durhaka.

Setiap kebaikan atau keburukan se”zarroh” akan “yaroh”. Itu regulasi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang selama ini saya kira beneran. Tuhan mendesain tata langit dan bumi, dengan menyertakan equilibrium. Meletakkan keseimbangan. “Mizan”. Itu berlaku pada skala kecil sehari-hari hingga kaliber Banjir Nuh dan Negeri Atlantis jadi debu oleh Krakatau.

Kalau saya mendongak ke atas, menatap para pemimpin, para penguasa otoritas, para penggudang modal besar, termasuk para pendompleng, tumor kanker  dan benalu-benalu, semua yang sedang gencar diselenggarakan oleh Oligarki raksasa ini, yang volume dan ragam garapnya baru diketahui publik paling banyak 5% – saya bingung posisinya di hadapan the First God itu hutang ataukah piutang?

Kalau itu piutang, Tuhan Yang Maha Konsisten pasti akan melunasinya. Tapi kalau itu hutang kepada-Nya, kapan Tuhan akan menagihnya? Apa bentuk tagihannya? Tampaknya ada semacam persaingan antara Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Keuangan Yang Maha Esa. Dan yang dimenangkan oleh Indonesia insyaallah yang kedua.


Semarang, 25 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/hutang-tuhan/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu