Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 1998

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(5)

Seri PadangBulan (88) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 5 ------------------------------------------------------------------------ Hak Makmum atas Imam.Kewajiban Imam atas Makmum "Saya juga diserbu oleh banyak pertanyaan, apakah Anda datang ke sini untuk kampanye suatu partai baru?" "Lho, saya ke sini karena Anda yang mengundang!" "Apakah untuk memobilisir massa?" "Kalau pengertian mobilisasi adalah membuat rakyat kritis dan mobil dalam kecerdasan menyikapi negara, ya. Tapi kalau pengertian mobilisasi adalah mempengaruhi Anda untuk kepentingan suatu parpol atau golongan, lha saya ndak punya golongan. Nasib saya kan sama dengan Anda." "Anda mencari dukungan?" "Saya sudah didukung sepenuhnya oleh Novia." "Anda menghimpun ummat?" Menghimpun ummat agar mereka benar-benar menjadi ummat. Untuk sungguh-sungguh menjadi makmum yang baik. Makmum yang baik itu yang kritis. Kalau Imam salah, mereka menegur dengan 都ubhanall禀・ Dan

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(5)

Seri PadangBulan (88) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 5 ------------------------------------------------------------------------ Hak Makmum atas Imam.Kewajiban Imam atas Makmum "Saya juga diserbu oleh banyak pertanyaan, apakah Anda datang ke sini untuk kampanye suatu partai baru?" "Lho, saya ke sini karena Anda yang mengundang!" "Apakah untuk memobilisir massa?" "Kalau pengertian mobilisasi adalah membuat rakyat kritis dan mobil dalam kecerdasan menyikapi negara, ya. Tapi kalau pengertian mobilisasi adalah mempengaruhi Anda untuk kepentingan suatu parpol atau golongan, lha saya ndak punya golongan. Nasib saya kan sama dengan Anda." "Anda mencari dukungan?" "Saya sudah didukung sepenuhnya oleh Novia." "Anda menghimpun ummat?" Menghimpun ummat agar mereka benar-benar menjadi ummat. Untuk sungguh-sungguh menjadi makmum yang baik. Makmum yang baik itu yang kritis. Kalau Imam salah, mereka menegur dengan 都ubhanall禀・ Dan

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(3)

Seri PadangBulan (86) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 3 ------------------------------------------------------------------------ Segera Gantikan Habibie atau Bantu Dia Atasi Krisis Jadi bagaimana kita musti menyikapi pemerintahan Habibie? Kalau kita tidak mantap, apakah kita akan memaki-makinya? Ngrasani dan menggerundal dari pagi sampai sore sampai malam dan pagi lagi. Dalam forum-forum shalawatan itu kita coba teguhkan sikap bahwa hanya ada dua kemungkinan dalam menyikapi Habibie: Pertama, kalau memang tidak setuju, entah karena beralihnya kekuasaan dari tangan Soeharto ke Habibie dianggap tidak konstitusional, atau karena pemerintahan Habibie dianggap tidak plural dan tidak mewakili semua golongan dalam masyarakat Indonesia, atau apapun, maka mbok ya segera saya ambil alih kekuasaan negara dari tangan Habibie dan teman-temannya. Caranya monggo saja. Mungkin mengerahkan massa ke Istana dan tidak pulang sampai Habibie meletakkan jabatan. Atau mengutus tim untuk mendesak Habibie agar

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(2)

Seri PadangBulan (85) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 2 ------------------------------------------------------------------------ Tak Nunggu Berkuasa untuk Tolong Menolong Sesama Rakyat Rata-rata kegelisahan rakyat kecil yang kami temui itu berkisar pada beberapa hal prinsip dalam kehidupan bernegara mereka. Pertama, kapan sembako bisa beres. Kedua, partai politik kok banyak sekali, kita pilih yang mana. Ketiga, siapa pemimpin yang bisa dipercaya. Kapan sembako bisa 'Oye!'? Siapakah yang paling menanggung kewajiban untuk membereskan masalah ini? Pemerintahan Habibie? Tentu saja. Seberapa jauh kita semua yang lainnya tidak berkewajiban untuk ikut membereskannya? Apakah kita harus bikin partai politik dulu, menang pemilu dulu, menjadi presiden dan menteri, serta berkuasa dulu baru menanggung kewajiban untuk mengatasi krisis? Tentu saja saya harus menjawab: Sekarang juga, sekali lagi: sekarang juga, sebagai sesama rakyat kecil kita harus mulai dan terus saling tolong menolong. Be

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(1)

Seri PadangBulan (84) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 1 ----------------------------------------------------------------------- Sejak pertengahan Mei bersama teman-teman Hamas dan Kiai Kanjeng alhamdulilah saya diberi kesempatan untuk berkeliling ke berbagai tempat sampai luar Jawa. Sampai hari saya tulis ini kami sudah mengunjungi komunitas-komunitas rakyat bawah sampai menengah lebih dari 130 kali. Ada yang hadirinnya hanya ratusan orang, ada yang sampai puluhan ribu orang. Acaranya ada yang berlangsung pagi hari, ada yang siang hari, ada juga yang bahkan dimulai pukul 00.30 dinihari sampai menjelang subuh -- padahal jamaahnya puluhan ribu. Ada jamaah yang ketahannya paling lama dua jam, ada yang bisa sejak selepas maghrib duduk bersama hingga lewat tengah malam. Setiap acara selawatan produknya berbeda-beda, karena segmen dan strata sosiologis masyarakat yang hadir juga hampir tak ada yang sama. Bukan hanya pengalaman sejarah mereka bermacam-macam, bukan hanya Agama pilihan mereka

Ilir-ilir (13)

Kita adalah bumi yang menutupi cahaya matahari yang semestinya menimpa rembulan untuk kemudian dipantulkannya kepada bumi. Kitalah penghalang cahaya rembulan yang didapatkannya dari matahari, sehingga bumi kita sendiri menjadi gelap gulita. Matahari adalah lambang Tuhan. Cahaya adalah rahmat nilai dan barakah rejekinya. Rembulan adalah Rasul, Nabi, para Wali, Ulama, pemimin-pemimpin kemanusiaan, pemerintah, lembaga-lembaga sosial, pers, tata nilai kemasyarakatan dan kenegaraan, atau apapun, yang mentransformasikan cahaya rahmat Tuhan itu agar menjadi manfaat bagi kehidupan seluruh manusia. Tapi cahaya itu kita tutupi sendiri. Tapi informasi itu kita sampaikan secara disinformatif. Tapi cahaya terang itu kita pandang tidak layak pasar sehingga yang kita kejar-kejar adalah kegelapan, kerusuhan, pembunuhan, kebohongan, pertengkaran. Tapi cahaya Tuhan itu kita halangi sendiri. Suara Rasul kita curigai, sabda Nabi kita singkirkan, ayat-ayat kita remehkan, firman-firman kita anak tirikan --

Ilir-ilir(12)

Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menghancurkan. Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancangan-rancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri. Saudara-saudara kita sendiri kita pentaskan di dalam bayangan kecurigaan kita. Saudara-saudara kita sendiri kita beri peran fiktif di dalam assosiasi prasangka kita. Di dalam pementasan fiktif di dalam kepala kita itu, saudara-saudara kita sendiri kita hardik, kita injak-injak, kita pukuli, kita bunuh dan akhirnya kita makan beramai-ramai. Padahal yang kita peroleh dengan memakan ba

Ilir-ilir(11)

Ilir-ilir. Kita sudang nglilir. Kita sudah bangun, sudah bangkit, bahkan kaki kita sudah berlari ke sana kemari, namun akal pikiran kita belum, hatinurani kita belum. Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk di mulut, namun kita biarkan ajaran-ajarannya terus hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita. Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan, yakni melarangnya untuk insaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancangan pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana Iblis, yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri. Siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang menolak husnul khotimah manusia, yang memblokade pintu so

Ilir-ilir10)

Yang penting sekarang kita sedang terus berupaya menyempurnakan kemerdekaan itu. Baik kemerdekaan untuk memilih kebenaran maupun kebebasan untuk ngotot mempertahankan pendapat dan pembenaran. Baik kemerdekaan untuk bersatu maupun kebebasan untuk semakin asyik memecah belah hubungan kemanusiaan, hubungan sosial, politik dan kebudayaan kita. Pokoknya, semakin banyak golongan yang saling bertentangan, kita merasa semakin dewasa. Semakin banyak partai politik, rasanya semakin demokratis. Semakin banyak benturan dan perang saudara, rasanya semakin modern kita. Kita mendadak bangun dan mendadak sudah berada di lapangan sepakbola zaman baru, pas di depan kotak penalti yang ribut. Kemudian tiba-tiba bola masuk ke dalam gawang, dan kita bersorak-sorak riang gembira, karena kita merasa kaki kitalah yang bikin gol itu. Namun itu tidak penting. Sebab yang utama dari ili-ilir kita sekarang adalah tidak jelasnya mana gawang mana bola, siapa kiper siapa gelandang, mana wasit mana penonton. Kita berji

Ilir-ilir(9)

Lho, kita memang sudah bangun. Kita sudah nglilir sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu. Kita sudah bangkit. Beribu-ribu kaum muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit, keluar rumah dan memenuhi jalanan. Kita telah membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan. Bahwa karena terlalu lama tidak merdeka lantas sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan, sehingga tidak paham beda antara demokrasi dengan anarki -- itu soal lain. Bahwa karena terlalu lama kita tidak boleh berpikir lantas sekarang hasil pikiran kita keliru-keliru, sehingga tidak sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang, mana nasi dan mana tinja -- itu tidak terlalu penting. Bahwa karena terlalu lama kita hidup dalam ketidakmenentuan nilai lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai-nilai sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran adalah kemauan, nafsu dan kepentingan kita sendiri -- itu bisa

Ilir-ilir(8)

Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane. Yo rurako surak Hiyooo!. Dari sudut apapun, kecuali kelemahan SDMnya, Indonesia Raya ini masih merupakan ladang masa depan yang subur, masih memancar cahaya rembulannya. Ilir-ilir itu karya Sunan Ampel. Aku pilih untuk dalam berbagai pertemuan dengan sesama rakyat kecil melantunkannya, sebab kami sepakat untuk tidak memilih karya Sunan Isyu, Ayatollah Surat Kaleng, Syekh Katanya, Wali Qila Wa Qala atau Imam Selebaran Gelap... Tak usah kita perhatikan apakah ia berbahasa Jawa atau Jerman, memakai kata Arab atau Perancis. Juga tak usah berpikiran apa-apa mengenai primordalisme atau sektarianisme seandainyapun lantunan itu berbahasa planet Mars atau jin Gunung Kawi. Yang penting kita rasuki saja kemesraannya, kita resapi saja keindahannya, kita nikmati saja ketulusan hati yang dikandungnya, serta kita kita renungi saja setiap kemungkinan muatan nilainya.

Ilir-ilir(7)

Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore. Pakaianlah yang membuat manusia bukan binatang. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggung jawab. Pergilah ke pasar, lepaskan semua pakaianmu, maka engkau kehilangan segala-galanya sebagai manusia. Kehilangan harkat kemanusiaanmu, derajat sosialmu, eksistensi dan kariermu. Semakin lebar pakaian menutupi tubuh, semakin tinggi pemakainya memberi harga kepada kemanusiaan pribadinya. Semakin sempit dan sedikit pakaian yang dikenakan oleh manusia, semakin rendah ia memberi harga kepada kepribadian kemanusiaannya. Jika engkau berpakaian sehari-hari, engkau menjunjung harkat pribadi dan eksistensi sosialmu. Jika engkau mengenakan pakaian dinas, maka yang engkau sangga adalah harga diri dan rasa malu negara, pemerintah dan birokrasi. Jika engkau melanggar atau men

Ilir-ilir(6)

Lunyu-lunyu penekno. Kanggo mbasuh dodot iro. Sekali lagi, selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani.... Selicin apapun pohon pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan. Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun. Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan 'nafsu reformasi' itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas rasional apapun?