Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2017

Salah Terkam (Daur-II • 300)

“Tulisan ini adalah Halaqah ke 300. Di luar yang 309 dan 122.  Mulai besok kita akan ambil nafas panjang dulu sebelum memasuki yang 9 satu persatu. Apakah Allah memperjalankan kita. Dengan ratusan Halaqah itu. Dengan berjuta kemesraan di ribuan titik-titik itu. Untuk merenangi Ma’lamah saja, atau mengarungi Ma’rafah , kemudian membukakan pintu untuk menghamparkan Ma`dabah : kita belum akan tahu. 2018-2019 mungkin lebih medebarkan dibanding yang kita duga, meskipun kita tidak pernah bermaksud berada di dalamnya”. Markesot bilang kita semua ini “salah terkam”. Tapi jangan terlalu percaya. Jangan berpikir lurus, linier, flat dan lugu. Kandungan maksudnya pasti tidak di dua kata itu. Perlu pola pikir lipatan dengan tikungan-tikungannya. Supaya besok kita tidak terlalu terkejut. “Ibarat harimau”, pesan Markesot kepada sahabat-sahabat dan anak cucunya, “kita ini salah terkam. Umpama Garuda, kita salah sambar. Sebagai ikan, kita salah kolam. Bak angin, kita salah badai. A

Duduk di Balkon Zaman (Daur-II • 299)

Kalau Markesot dibantah, “Apa manfaat semua yang Mbah Sot omongkan selama ini? Apa manusia yang hidup di dunia ini perlu memahami apa yang Mbah uraikan itu?” Markesot menjawab: “Apa ada sesuatu hal yang manusia sungguh-sungguh berusaha memahaminya? Kecuali hal-hal yang ia, pribadi atau golongannya, berkepentingan? Dan kepentingannya adalah kerendahan materialisme dunia?” “Maksud Cak Sot?” “Misalnya kalau orang bertengkar seolah-olah temanya SARA. Coba kalian teliti kembali apa yang sebenarnya dimaksud. Ukur kembali semua komponennya, dengan kejernihan nalar, disiplin logika, pemetaan sosial dengan landasan ilmu yang sejujur-jujurnya dan setepat-tepatnya. Apa parameter Suku, temukan gradasi, distorsi dan berbagai relativitas faktualnya. Ras? Wa ma adroka ma Ras? Agama? Apa definisi Agama? Orang mempertengkarkan satu kata yang pemahaman mereka atas satu kata itu saling berbeda, bahkan saling bertentangan. Apalagi Antar-Golongan: Haihata ! Anwa’ wa asykal ! K

Wahai Do (Daur-II • 298)

Manusia pura-pura tidak mengerti perbedaan antara Do pada “ Ya ayyuhannas ” [1] (An-Nisa: 170) dengan Do pada “ Ya ayyuhalladzina amanu ” [2] (As-Shaf: 2) , apalagi “ Ya ayyuhal kafirun ” [3] (Al-Kafirun: 1) . Manusia memanipulasi asal-usulnya. Manusia menyembunyikan Penciptanya. Manusia mengumumkan kepada dirinya sendiri dan semua makhluk suatu bangunan peradaban di mana ia seolah-olah sanggup menciptakan sehelai bulu di sekitar kelaminnya, atau menciptakan setetes keringat dari ketiaknya. “ Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali kepada Tuhannya ” [4] (Al-Insyiqaaq: 14) . “ Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy yang mulia. Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang i

Khilafah Para Titah (Daur-II • 297)

Di antara manusia-manusia selama beratus-ratus bangunan sejarah peradaban, ummat manusia di Zaman Now inilah yang paling tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka serius mengurusi manusia. Kemajuan harta bendanya canggih, pembangunan peralatan fisiknya dahsyat, tetapi sukar menemukan gejala bahwa mereka peduli kepada manusia. Tidak peduli, atau memang tidak mengerti dan tidak merasa punya keperluan untuk mengerti manusia dalam konteks infinitas ruang dan keabadian waktunya. Yang mereka maksud dengan manusia dan peradaban hanyalah animasi kartun instan dan sesaat. Mereka berderap beramai-ramai penuh riang gembira menuju jurang. Mereka sangat sibuk menggagas kehancuran. Kemudian muncul generasi berikutnya belajar, bersekolah dan merancang kehancuran berikutnya. Manusia-manusia yang paling terpelajar, bekerjasama dengan yang paling punya uang, sangat sibuk berjuang agar bisa memanjat naik panggung yang disorot oleh spotlight sejarah, kemudian berebut mikrofon.

PSEU-DO-HAM (Daur-II • 296)

Anak-anak muda itu ditertawakan oleh Sundusin. “Sebenarnya”, katanya, “orang tidak mengerti Do sama sekali juga tidak masalah. Asalkan hidup dan perilakunya berada tepat pada Do ketika memang seharusnya Do. Dan berada di La Si atau koordinat apapun tatkala semestinya memang demikian” Kalau alam, hewan dan Malaikat selalu pada kewajaran Do sebagaimana Tuhan mengonsepnya langsung. Hanya manusia, yang karena diberi ruang demokrasi dan kemandirian untuk mengambil keputusan, maka ia bisa melakukan berbagai penyelewengan: seharusnya Do si manusia malah Sol, misalnya. Manusia diberi ruang untuk berdusta, memanipulasi, berpura-pura, menjebak sesamanya, memalsukan atau membikin topeng Do padahal yang di baliknya adalah La. Sesungguhnya, masalah utama pada manusia bukan ilmu. Mungkin akhlaq, atau aqidah, meskipun antara ketiganya bisa saling berdialektika dan sebab-mengakibatkan satu sama lain. Anjing tidak mungkin memiliki alat untuk memahami Do, tapi ia tidak pernah bera

Do = Raja Kambing (Daur-II • 295)

“Rasa-rasanya kok urusan Do ini malah bikin njelimet keadaan”, kata Jitul tiba-tiba. “Lho saya hanya menyampaikan pesan Mbah Sot kepada kalian”, jawab Pakde Tarmihim. Terdengar suara tertawa Sundusin. “Saya sudah hapal gayanya Markesot”, katanya, “dulu banyak orang minta tolong untuk menyelesaikan masalah. Tapi maunya Markesot disuruh atau diharapkan menjawab sesuai dengan solusi yang orang itu maksudkan, bukannya membuka diri untuk model penyelesaian dari Markesot. Jadi orang itu sebenarnya hanya tidak berani mengambil keputusan dengan dirinya sendiri. Maka datang ke Markesot dengan tujuan agar nasehat Markesot sesuai dengan keinginannya dalam menyelesaikan masalah. Akhirnya Markesot malah kasih orang itu model penyelesaian yang sesuai dengan kemauan pemintanya itu, tetapi di-sangat-kan, di-bengkak-kan…” Seger ikut tertawa. “ Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta ” [1] (Al-

IN DO NESIA (Daur-II • 294)

Karena setiap titik bisa menjadi Do. Karena setiap koordinat bisa berposisi Do. Karena setiap ungkapan bunyi bisa berperan Do. Juga setiap kata bisa beraktualisasi Do. Dan itu tergantung pada keterkaitan interval-intervalnya. Tergantung pada konteksnya, spektrum tematiknya. Setiap dan semua bisa menjadi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La maupun Si. Maka “Allahu Akbar” pun bisa berposisi Do, Re, Mi, Fa, Sol, La ataupun Si. Teriakan Allahu Akbar bisa bernuansa ketakjuban dan rasa syukur. Bisa juga tampil sebagai ancaman yang mengerikan. Pun tidak mustahil ia aktualisasi rutin orang sedang melakukan shalat, takbiran Idul Fitri atau Idul Adlha. Paralel dengan itu “Pancasila” bisa menaikkan adrenalin nasionalisme. Tapi bisa juga memancarkan kegeraman atau amarah kepada siapa saja yang dimaksudkan diam-diam di balik teriakan Pancasila. Demikian pula Merah Putih bisa menjadi lambang pengayoman bagi Hijau Coklat Kuning dan warna-warna lain. Atau justru merupakan peringatan keras k

Do = Cinta = Benci (Daur-II • 293)

Seorang tokoh yang pernah mengenal dunia musik mungkin menjawab: “Do adalah nada pertama dalam susunan Solmisasi”. Lainnya agak detail: “Do adalah nada sebelum Ré sebelum Si dalam susunan baku nada musik Barat”. Sejumlah praktisi musik menjawab lebih aplikatif: “Do pada C-mayor beda dengan Do = E-minor”. Do tidak bisa ada, menjadi Do atau disebut Do karena diri Do itu sendiri. Do tidak bisa meng-ada atau berbunyi sebagai Do tanpa ada unsur-unsur lain yang bukan Do yang hadir sebagai satu kebersamaan. Do bukan terutama eksistensi, melainkan posisi. Do bukan ekspresi otentik dan mandiri, melainkan bagian dari suatu susunan fungsi. Do disebut Do semata-mata karena berkaitan dengan Ré atau Si dan titik-titik nada lainnya dalam suatu interval atau jarak ketinggian atau kerendahan nada. Do eksis sebagai Do sepanjang ia berada dalam suatu silaturahmi dengan nada-nada lainnya. Tanpa interval-interval silaturahmi itu Do hanyalah setitik bunyi, yang tidak bisa disebut atau

Nada Mayor untuk Meminorkan (Daur-II • 292)

Seger tertawa dan bernyanyi “ do re mi fa sol la si do ”, nadanya naik, kemudian turun: “ do re mi fa sol la si do… ” Junit menyahut: “ a b c d e f g…v w x y z… sekarang aku tahu bagaimana a b c… ” Jitul tak mau kalah: “ Ahad Itsnain Tsulatsa Arbi’a Khamis Jum’ah Sabta… ”, ia tertawa, “hari keenam disebut Jumat, tidak meneruskan angka Arbi’a dan Khamis, karena sesudah lima hari kerja, dianjurkan rekap dan rembug kolektif (jum’ah), lantas kontemplasi dan tafakur di hari Sabat (Sabtu), terus kerja lagi di hari pertama: Ahad. Lha kok pada hari Ahad malah libur…” Tentu saja Toling tidak bisa menahan diri. Ia berjoget-joget: “ Alif difathah a alif dikasroh i alif didhommah u… hono coroko, doto sowolo, podho joyonyo, monggo bothongo bali podho joyonyo monggo bothongo…pahing pon wage, kliwon legi, iku dino pasaran tumrap wong Jowo… ” Seger bicara serius: “Pasti kita menghormati semua ijtihad atau kreativitas pemahaman waktu yang dilakukan oleh berbagai bangsa. Tetapi

Dismanajemen Do (Daur-II • 291)

“Allah menciptakan mozaik bunyi, peta nada dan struktur irama. Manusia, yang dijadikan sebagian dari pelakunya, juga dianugerahi sumber dan pengolah suara. Kemudian manusia mengalaminya, menikmatinya dan secara sengaja atau tak sengaja merumuskannya”. “Komposisi dan aransemen dari seluruh kemungkinan bunyi itu, tidak bisa dibatalkan atau diharamkan oleh siapapun termasuk manusia. Bahkan manusia mensyukurinya, mencoba memahaminya, memetakannya dan menyebutnya sebagai musik. Manusia menghayati musik alam, menirunya, kemudian mengkreatifinya, sehingga muncullah musik kebudayaan, yang sebagian darinya disebut musik kesenian atau seni musik.” “Setiap anak balita belajar berjalan menapaki tangga nada, mendaki, menuruni, berbalik, meloncat, melompat, mengulang. Nanti di Taman Kanak-kanak mulai diperkenalkan bahwa bunyi yang mereka alami dirumuskan dengan rumus do-re-mi-fa-sol-la-si. Setelah menapaki SD, SMP atau SMA, sebagian mereka mengetahui bahwa 5`5`5` 4`3`2` 3`2`1`a

Do (Daur-II • 290)

“Kalian harus mundur beberapa langkah. Kalian sedang terseret memasuki alam gaib yang luar biasa berkabut. Kalian perlu menarik seribu nafas panjang. Keluar hawa dengan kesadaran La Ilaha dan masuk udara dengan kekhusyukan Illallah . Kalian sangat mencintai Negeri di mana kalian lahir dan dibesarkan, tetapi kalian tidak semakin paham kepada Negara yang sedang kalian alami…” Mbah Shoimun nongol menyampaikan pesan Mbah Markesot terutama kepada anak-anak muda di lingkaran para Pakde Paklik, yakni sahabat-sahabat Markesot sendiri. “Negara kalian didirikan oleh anak-anak didik para penjajahnya”, Mbah Saimon meneruskan, “Maka muatan-muatan pemikiran, filosofi, landasan dan spektrum nilai-nilainya juga ditransfer dari pandangan hidup para kolonial yang mereka warisi. Bangunan sejarah yang kini sedang kalian alami adalah hasil dari pandangan hidup semacam itu. Kalian banyak dibikin bingung oleh itu semua, sehingga seringkali kalian terlempar ke wilayah-wilayah yang dise

Ngajak Berantem Allah (Daur-II • 289)

Salah satu prestasi tingkat tinggi demokrasi dan freedom of speech yang dicapai oleh Indonesia era Now adalah kemerdekaan manusia untuk melecehkan Tuhan, menghina Nabi, menginjak-injak Islam dan mencanangkan bahwa biang dari segala bencana sejarah adalah Al-Qur`an dan Sunnah. Prestasi itu mencapai puncaknya ketika tak ada risiko apapun dari manusia, masyarakat dan ummat, juga dari Negara, sesudah melakukan penghinaan-penghinaan itu. Bahkan puncak prestasi itu menjadi sempurna karena dilakukan di Negara yang sangat getol mencanangkan Pancasila sebagai dasar filosofi dan ideologinya. Semakin hari semakin kentara bahwa yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa di Sila Pertama itu bukanlah Allah swt. Sampai hari ini saya belum memperoleh bahan tentang siapa Tuhan Yang Maha Esa itu sebenarnya. Sementara saya hanya tahu ia bukan Allahu Ahad , [1] (Al-Ikhlas: 1) melainkan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ada dua-nya, tiga-nya dan seterusnya. Allah swt sendiri mempersilakan, membu

Kambing Zaman Now (Daur-II • 288)

“Kambing bertebaran di hamparan firman-firman. Tentu ada kode, maksud tersurat atau tersirat di balik itu”, Pakde Brakodin meneruskan bab kambing, “Seakan-akan Tuhan memaparkan tentang fenomena-fenomena psikologi, watak, budaya, mungkin strategi politik manusia, melalui kisah Bani Israel dengan kambing betina” Di rumah-rumah ibadat tertentu para pemimpinnya menyebut diri Penggembala, sementara jemaatnya adalah domba-domba. Ketika Allah menggambarkan orang-orang yang mempunyai hati tapi tak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata dan telinga tapi menjalani karier hidup dengan buta dan tuli atas sesamanya, dengan “ mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih hina ” [1] (Al-A’raf: 179) mestinya yang paling populer dan ranking 1 binatang ternak adalah kambing. Meskipun orang juga berternak lembu, kerbau, bebek, ayam, lele. Bahkan ada yang berternak rakyat – yakni memperlakukan rakyat dengan tata kelola peternakan. Pun Nabi Daud yang perkasa, Bapaknya Nabi Sulai

Kupijiti Kaki-Mu (Daur-II • 287)

“Bagaimana kalau kita rekreasi sejenak. Sekarang kita santai omong tentang kambing saja, anak-anak”, akhirnya Pakde Brakodin ambil inisiatif. Semua menoleh kepadanya dan tentu saja belum paham. “Omong tentang kambing bagaimana maksudnya, Pakde…”, tanya Seger. “Ya tentang kambing. Kembali ke yang ringan-ringan saja, yang sesuai dengan level ilmu kita”, jawab Pakde Brakodin. “Maksud Pakde, kalau ngomongin keadaan manusia, masyarakat, ummat, Negara, Pemerintah, kebudayaan, peradaban dan yang begitu-begitu itu bukan level kita?” “Menurut kamu apa tidak demikian? Kita sering berbincang tentang itu semua hanya karena cinta, bukan ilmu. Kalau secara ilmu, kita semua ini hampir 100 persen tidak memenuhi syarat. Kami orang-orang tua ini rata-rata mogol Sekolah, nyantri juga setengah-setengah. Kalau kalian mungkin agak lebih pantas karena dibesarkan di era modern. Sedangkan Pakde-Pakde ini pengalaman utamanya hanya menggembalakan kambing…” Seger akan membantah lagi,