Skip to main content

Gentholing Terombang-Ambing (Daur-II • 286)

Para Pakde tidak tega melihat Gentholing terombang-ambing dalam arus besar pertentangan antara kebenaran yang dipelajarinya selama ini dengan keadaan di sekelilingnya. Secara bertahap ia bersama teman-temannya belajar memahami zaman, melalui berbagai metode dan terminologi yang berasal dari berbagai macam sumber.

Dari wacana-wacana tradisional hingga yang paling modern dan advanced. Dari filosofi sehari-hari hingga filsafat-filsafat besar dunia. Dari yang paling remang-remang di rimba kebatinan hingga informasi dan hidayah firman.

Pengetahuan itu menjadi ilmu. Ilmu menjadi kesadaran. Kesadaran menjadi kritisisme yang mendorong gerak eksoterik ijtihad. Dan sebagian hasil ijtihad menjadi keyakinan. Tapi sekaligus semakin mengalami benturan-benturan dengan fakta-fakta sejarah terutama yang kasat mata.

Berlakunya peradaban ummat manusia di seluruh dunia, yang penduduk Negerinya sedang setengah mati mengejarnya, adalah dalam lingkup Ilmu Katon. Semua yang tidak Kasat Mata yang bersifat remang-remang dan penuh kabut: menjadi wilayah pemalsuan, klaim subjektif, iman yang tertekuk atau bahkan terbalik, manipulasi, pencitraan, kriminalitas nilai dan berbagai formula kemunafikan yang semakin hari semakin canggih.

Dan Gentholing terombang-ambing, terhempas-hempas ke tengah arus yang tak bisa dikendalikannya. Atau terdampar di pantai dengan bebatuan terjal yang menyakitinya dan mendorongnya untuk menyerah. Tetapi Toling tidak pernah menyerah, bahkan ia menolak Pakde-Pakdenya menyebut dia sedang terombang-ambing.

“Saya tidak terombang-ambing, Pakde”, bantahnya, “setiap yang saya ketahui, selalu jelas faktanya, masalahnya, metodologi dan analisisnya. Saya tidak terombang-ambing: saya sedang menyaksikan keadaan di mana sangat banyak orang sedang terombang-ambing. Sangat terang benderang saya menemukan maksud Allah pada keadaan yang sedang berlangsung…”

Ia mengutip: ”Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar”. [1] (Al-Baqarah: 11-12)

Junit merespons: “Mereka yang kamu maksud itu justru meyakini yang sebaliknya. Mereka yakin sedang membangun, sedang menyelenggarakan kebaikan. Dan justru muatan-muatan pikiranmu itu yang mereka anggap sebagai potensi perusakan”.

“Tidak”, Toling bersikeras, “Saya menghimpun sangat banyak bukti bahwa mereka itu otoritarian, Machiavelis, egosentris, menghalalkan apa saja asal mereka yang melakukan. Halal adalah sesuatu yang perlu mereka lakukan untuk mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan. Haram adalah hal yang sama dengan yang mereka lakukan itu, namun dilakukan oleh pihak-pihak lain yang merupakan penghalang bagi kekuasaan mereka…”

Jitul menggoda Toling: “Jadi apa yang seharusnya kamu lakukan terhadap penguasa yang lalim namun berlagak Malaikat itu?”

“Mereka mengolok-olok Allah, meremehkan isi firman-firman, mempermainkan Agama dan menghina para peyakinnya”, jawab Toling, “tetapi ‘Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka’”. [2] (Al-Baqarah: 15)

Jitul tersenyum: “O, jadi kamu nunggu Allah yang membalas mereka? Kenapa kamu tidak pilih perintah Allah “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. [3] (Al-Baqarah: 190)

Tiba-tiba Pakde Brakodin memotong: “Proses Toling ini sangat mahal. Biarkan dia meneruskannya, sepanjang ia jernih, objektif dan berniat suci. Biarkan ia omong apa saja kepada kita. Asalkan kita jaga jangan katakan yang begitu-begitu kepada para tetangga. Kepada orang lain, Toling harus belajar bijaksana dan pandai mengukur kadar muatan yang diungkapkannya, serta menahan diri untuk tidak menyatakan kebenaran-kebenaran yang ia yakini, yang hasilnya justru bisa sebaliknya, karena ruang dan waktunya belum tepat…”.

Yogya, 30 November 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu