Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2017

PECAH KEPALA KHALIFAH

Kami 15 bersaudara dan dari yang sulung hingga yang bontot selalu gagal menjadi Lurah di desa kami. Dulu Buyut kami, dari jalur Ibu, menjadi Lurah. Turun-temurun. Kakek kami juga Lurah. Malah berganti ke beberapa adiknya juga menjadi Lurah. Tapi sejak Bapak kami, tak ada lagi Lurah dari keluarga kami sampai hari ini.     Bapak kami gagal menjadi Lurah karena pada saat-saat menjelang Kakek akan sèlèh alias lèngsèr, sejumlah keluarga besar dan kuat mulai menunjukkan sikap permusuhan kepada Bapak kami. Tanda-tanda permusuhannya adalah sikap sehari-harinya yang berubah. Menyebarkan rerasanan atau isu ke seantero desa tentang keluarga kami. Sampai tingkat fitnah, karangan dan khayal-khayal yang lucu.     Bapak kami cukup cerdas untuk mengerti bahwa publik mulai menghirup atmosfer demokrasi. Kelurahan jangan bersifat monarki, jangan selalu pemimpin desa dari keluarga yang itu-itu saja. Bapak juga cukup peka bahwa sejumlah keluarga memiliki aspirasi untuk menyongsong

Pilgub, Pilpres, Pilnab, Piltu

(Suatu hari mudah-mudahan berguna) Ada orang Madura sakit parah butuh donor darah, tapi kemudian menolak setelah dikasih tahu siapa yang menyumbang darah. “Dak mau saya. Dia pernah mencuri. Kalau saya dimasuki darah dia, saya bisa jadi pencuri. Dak mau saya…” Kebetulan sampai situasi darurat, tak ada darah lain yang cocok. Kalau dokter memaksanya, ia berontak serius. Sampai akhirnya meninggal. Ia dipanggil Tuhan dan meninggalkan pertanyaan: ini peristiwa kebodohan ataukah keteguhan? Sebagaimana pada peristiwa rutin lainnya dalam hidup manusia, selalu diiringi pertanyaan: Apa beda antara hemat dengan pelit. Istiqamah dengan keras kepala. Konsisten dengan jumud. Boros dengan pemurah. Introvert atau kontemplatif. Setia atau konservatif. Lampu kuning di perempatan jalan itu masih atau sudah. Uang seratus ribu di saku itu hanya ataukah alhamdulillah. Itulah Ibu Ilmu. Itulah titik silang nilai yang melahirkan ideologi. Itulah asal-usul keselamatan dan kehancuran. Itulah mata air konsiderasi

MANTAPKAN HATI MENGINJAKKU

(Semoga kapan-kapan bermanfaat) Sebelum Allah meninggalkanku, harus ikhlas dan tega hatiku untuk bersegera meninggalkan segala sesuatu pada kehidupan manusia yang membuat Allah meninggalkanku. Sejauh ini semua “pakaian sosial” sudah kutanggalkan dan kutinggalkan. Dan kini ada yang sesuatu yang lain dan lebih substansial dari itu yang harus kutinggalkan. Selalu aku ditimpa rasa ngeri setiap Khathib Jumatan mengucapkan “Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah tak ada yang bisa memberinya petunjuk”.     Memang sama sekali tidaklah mudah untuk peka dan cerdas mengetahui apakah aku sedang memperoleh petunjuk-Nya. Dan selama mengalami kesulitan untuk tahu apakah mendapatkan petunjuk-Nya, rasa lain yang muncul dan menyiksa adalah: jangan-jangan Allah sedang menyesatkanku karena perbuatanku sendiri. Bahkan bisikan-bisikan dari wilayah yang lebih luas mengusikku: Dalam hal apa mereka, yang aku hidup di tengah-tengahnya

HINALAH AKU, JANGAN ISLAM, PLEASE

Kepada semakin banyak saudara-saudaraku yang menghina Islam, kumohon: hinalah aku. Sebab aku lemah, tidak punya daya, maka hinaanmu akan efektif. Seandainya pun aku tersinggung dan ingin membalas, tak ada padaku kesanggupan untuk melaksanakannya. Selama hidup, tak kupunyai energi, kekuatan dan rasa tega, untuk menyakiti siapapun, meski seberat apapun ia menyakitiku, sedalam apapun ia melukaiku, bahkan membunuhku.     Tetapi tolong engkau ingat: aku ini sudah hina tanpa engkau hina. Jadi sebenarnya tidak bisa ditambah lagi hinanya hidupku oleh penghinaanmu. Mending kau traktir aku makan Ketoprak Betawi, Garang Asem Kudus atau Sate Lalak Bangkalan. Kalau itu, manfaatnya sangat jelas dunia akhirat, bagimu maupun bagiku.     Aku pernah menerima di markasku serombongan tamu teman-teman Pendeta dan kawan Tionghoa aktivis gereja pada pukul 02.00 dinihari. Nanti pagi akan ada acara pengobatan bagi jemaat oleh seorang Pendeta dari Kanada di sebuah stadion olahraga Yogya. Acara itu diancam dibub

MEMUTAR ARAH ISTANA

Makin banyak penduduk bumi yang takut masuk Indonesia. Sebab di pandangan mereka Indonesia yang ramah telah berubah keras, Islamnya dikuasai kaum radikal. Saya berpikir, kayaknya Nabi Muhammad Saw harus turun tangan langsung ini. Masalahnya, bagaimana caranya untuk memungkinkan itu? Saya ini diakui sebagai Muslim atau belum, sedang saya tunggu dan lacak petunjuk (hidayah) berupa tanda-tanda (ayat) dari satu-satunya pihak yang tahu siapa dan bagaimana sebenarnya saya, baik yang jahr (tampak) maupun yang sir (tersembunyi). Kepada “pihak” inilah saya patuh, ia yang memperjalankan hidup saya, karena ia pula yang berhak atas mati saya sewaktu-waktu. Andaikan Tuhan mengakui bahwa saya Muslim yang tidak terlalu buruk, sehingga lumayan boleh mendekat kepada-Nya, maka saya akan nekad memohon agar Allah berkenan menghadirkan kembali Nabi Muhammad Saw, kekasih utamaNya, ke bumi. Satu dua bulan saja, atau seminggu lumayan lah. Kalau tidak ya beberapa jam saja cukup. “Wa kaana dzalika ‘alallah

TAMPAR MUKAKU, LUDAHI MULUTKU

Ini tulisan tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan dari Tuhan. Kenapa seseorang membungkukkan badan mencium tangan seseorang lainnya? Siapa mereka? Di mana? Kapan? Sejak berabad-abad tradisi cium tangan itu berlangsung di kalangan Kaum Muslimin tradisional, di desa-desa, pondok dan pesantren. Beberapa puluh tahun terakhir ini cium tangan menjadi tradisi baru di perkotaan Indonesia. Meskipun karena Indonesia menempuh “sejarah adopsi” dari nilai-nilai Barat sehingga pada wilayah mainstream tidak begitu membuka pintu untuk “sejarah kontinuasi”, di mana nilai-nilai otentik dari kakek nenek moyang ditransformasi secara terukur – tetapi tradisi cium tangan menembus ke perkotaan dan budaya metropolitan. Pertemuan Presiden dengan tokoh-tokoh masyarakat memuat adegan cium tangan. Juga cipika-cipiki cium dua pipi, yang ditransfer dari bentuk etika internasional, baik dari Barat maupun Arab. Tradisi cium tangan meresap seperti serbuk air yang melembabkan tembok, atau suhu udara yang menghan