Skip to main content

DARI MAKE UP KE MAKE UP

Seri PadangBulan (106)

DARI MAKE UP KE MAKE UP

------------------------------------------------------------------------

Krisis ekonomi ini merupakan Salah satu produk dari krisis yang sudah berlangsung puluhan tahun. Apa itu? Yakni krisis politik dan krisis kebudayaan.

Krisis politik yang saya Maksudkan adalah, ketika kita bicara demokrasi, yang kita lakukan ternyata feodalisme, yang kita kerjakan jebul peternalisme. Kita ngomong ndaki-ndakik tentang republik, tapi yang kita lakukan bersama mensemukan lembaga-lembaga demokrasi. Kita bikin lembaga seperti MPR/DPR sebenarnya tidak punya eksistensi yang independen, dia tergantung pada puncak pimpinan eksekutif. Jadi Trias politika akhirnya hanya performa, hanya cat, make up, didandani ben kaya republik, begitu berwudlu, cuci muka, jebul kerajaan. Itu yang saya sebut krisis politik.

Untuk mengatasi krisis moneter, kita harus mendata kembali semua kekayaan terutama yang berada di kantongnya kelas kakap. Setelah itu, kalau saya jadi pemerintah, saya bikin peraturan nasional: semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin besar prosentase yang harus dia berikan untuk menyelamatkan negara ini. Kalau nanti Anda hitung-hitung betul, Anda kasih stratifikasi tentang prosentase tingginya pendapatan, akan Anda dapatkan ternyata rakyat miskin, menengah ke bawah, kaum proletar itu tidak perlu dilibatkan untuk mengatasi krisis.

Sing ora cinta iku sopo? Promosi cinta rupiah itu ke mana arahnya? Kalau Anda mengiklankan sesuatu kan harus tahu betul arahnya. Metode promosinya, metode dakwahnya harus disesuaikan betul arahnya, sasarannya siapa itu? Kalau sasarannya konglomer-at, tidak bisa mereka itu diinsafkan dengan himbauan cinta rupi-ah, mereka harus dipaksa oleh peraturan pemerintah. Metode sasa-ran cinta rupiah itu selama ini sasarannya kan wong cilik, masya-rakat umum. Masyarakat umum itu tidak bisa apa-apa, rupiah, rupiah yang tidak begitu cinta sama mereka, bukan mereka yang tidak cinta rupiah. Mereka direwangi hidup tidak karu-karuan, tapi rupiahnya tidak cinta sama mereka. Jadi promosi cinta rupiah yang ada di TV, di jalan-jalan itu menurut saya, sebagai metode dia tidak efektif, dia juga tidak kondusif. Tidak akurat dalam menentukan sasarannya, segmen yang akan dia promosikan.

Kalau politiknya sehat gampang itu mengatasinya, seperti Malaysia, Korea, lumayanlah. Kita tidak bisa bikin peraturan seperti itu, tidak bisa melakukan pembatasan-pembatasan seperti itu, karena ada tabu-tabu feodalisme politik. Anak ratu dilawan brata, karena tabu politik dan tabu budaya tidak bisa diungkap. Lha wong sinetron menggambarkan camat jelek saja tidak boleh, paling lurah yang boleh. Lha kalau camat saja sudah tidak boleh diobyektifikasikan eksistensinya, ya apalagi bupati, gubernur, menteri dan presiden, lebih tabu lagi.

Krisis budaya dan krisis politik ini bukan satu-satunya penyebab krisis. Ada peta global, ada gelombang ideologi, ada political will dari jaringan-jaringan tertentu yang bersifat internasional yang-kalau saya kutip pernyataan Mahathir-yang memang tidak menghendaki ada pemimpin-pemimpin Asia yang tidak dikehendaki AS memegang kekuasaan. Kalau mau lebih transparan, tidak boleh terjadi perkawinan antara dua faktor: faktor pertama adalah kekuatan ekonomi, faktor kedua adalah besarnya ummat Islam. Ummat Islam ini boleh banyak boleh besar tapi jangan pegang kekuatan ekonomi, ekonomi Indonesia boleh kuat, boleh menjadi macan di Asia tapi jangan dipegang ummat Islam. Ummat Islam kere saja, kalau kere diijinkan untuk hidup. Kere dan bodoh.

Saya bilang, yang harus dijadikan acuan oleh Pak Harto untuk mengatasi semua ini adalah acuan Khomeini atau Saddam Husain. Dengan belajar dari kasus di Aljazair, dan menghindari jangan sampai terjadi seperti di Turki. Turki boleh ummat Islamnya banyak, tapi Islamnya sudah sekuler. Dan Indonesia ini kan negara yang sangat-sangat sekuler. Orang baca al-Qur'an di mana-mana, adzan di mana-mana, bikin acara Ramadhan di televisi, dari pagi sampai pagi, semarak, tapi alam pikiran mereka dalam menyikapi dan memandang acara-acara semacam itu sangat sekuler. Jadi sekul-er tidaknya kehidupan itu tidak tergantung pada produknya, tapi tergantung pada bagaimana sikap Anda terhadap produk itu. Anda boleh saja ngaji tiap hari, tapi kalau pandangan Anda terhadap ngaji itu sekuler, ya ngaji itu jadi tidak religius.

Kalau orang punya banyak priuk di rumah, bukan merupakan tanda bahwa ia punya banyak nasi. Jadi tidak tergantung pada bendanya apa, peristiwanya apa, tapi anggapan dan konsep dia terhadap benda dan peristiwa itu. Sama seperti pelajaran agama atau pelajaran umum. Anda tidak bisa menyebut tarikh Islam, tafsir, hadis Rasul, sebagai pelajaran agama. Aljabar, biologi, matematika, tidak otomatis pelajaran umum. Bersifat religius atau sekuler tergantung bagaimana kita mensikapinya. Kalau saya bela-jar Aljabar untuk berproses menemukan ketakjuban saya pada hitun-gan Allah, pada hisbullah, religiuskan itu. Saya belajar Biologi untuk membuktikan ayat ya Allah tidak sia-sia Engkau menciptakan ini semua, religius itu biologi. Saya melihat teropong dengan gairah spiritual. Tapi sebaliknya, saya belajar tafsir, belajar segala macam, tapi cara saya melihat tafsir itu tidak religius, kan menjadi pelajaran umum, pelajaran sekuler, bukan pelajaran agama. Sama dengan orang sholat, belum tentu religius, niat dia bagaimana, konsep dia dalam sholat bagaimana? Bisa saja sholat itu merupakan representasi dari sekurelisme. Berdoa juga belum tentu religius, wong berdoa kok dia kotor. Kalau sholatnya untuk tujuan, bukan untuk cara, ya sekuler itu. Akhirnya Orang banyak menyembah sholat, "Wah dia rajin sholatnya, dia tidak pernah sholat, titik." Itu pertanda kita menyembah sholat. Sholat itu thariqah bukan ghoyah. Keislaman seseorang tidak ditentukan oleh kerajinan dia sholat, tapi oleh produk yang dihasilkan dari sholat itu.[ean)

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu