Seri PadangBulan (96)
BANYUWANGI DAN DENDAM SEJARAH
------------------------------------------------------------------------
1. Kejadian pembunuhan massal di Banyuwangi dan wilayah-wilayah lain terdiri atas empat (4 lapis).
Pertama, dilakukan oleh suatu jaringan subversif dengan skenario dan target tertentu, dikerjakan secara canggih dan sistematis.
Kedua, suatu kelompok lain membonceng melakukan pembunuhan untuk turut mengail di air keruh.
Ketiga, terdapat pendompleng swasta, untuk melampiaskan dendam pribadi.
Keempat, masyarakat yang termakan isyu sehingga main hakim sendiri.
2. Terdapat sekurang-kurang sembilan (9) kemungkinan pelaku, tapi masing-masing asumsi atau hipotesis ini ada titik lemahnya, sehingga harus dilacak secara analitis-logis.
Kesatu, PKI bawah tanah.
Kedua, kelompok yang berkepentingan untuk memecah belah NU.
Ketiga, desoliditasi kekuatan Promeg yang diperhitungkan akan mengganggu establishment kekuasaan dan memecah belah Ummat Islam sampai tingkat yang sangat parah, sehingga kongres PDI-Perjuangan harus dicegat di pintu gerbangnya.
Keempat, ABRI memberi shock therapy agar tidak gampang-gampang orang berpikir tentang pencabutan Dwifungsi.
Kelima, pemerintah mempertahankan status quo, mengalihkan konsentrasi nasional agar bisa dikendalikan secara pro-aktif.
Keenam, jaringan atau link tertentu di tubuh ABRI yang jengkel pada kepemimpinan alam pikiran Gus Dur dan sekularisme reformasi, yakni yang terus memperluas konflik multi-polar.
Ketujuh, tikaman punggung oleh sebagian anak-anak Cendana.
Kedelapan, kelompok pejuang deIslamisasi, di mana Banyuwangi adalah episode kesekian sesudah kerusuhan Mei di mana Islam dikambinghitamkan secara sangat strategis dan taktis.
Kesembilan, kemungkinan kedelapan dalam suatu sinergi subversif dengan jaringan tertentu pada kemungkinan keempat dan kelima.
3.Point-1 maupun point-2 bukan BAP atau pernyataan hukum, melainkan analisis sosial. Yang manapun dari semuanya itu yang riil, ada hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan untuk disimpulkan sebagai kebenaran sejarah. Yakni bahwa kasus Banyuwangi hanya merupakan letusan 'kecil' dari kegagalan panjang sejarah bangsa dan pemerintah Indonesia. Kegagalan dalam menangani kebhinnekaan dan managemen konflik, kekeliruan dalam memahami SARA, ketidaksungguhan menjalankan prinsip bernegara dan bermasyarakat, perjuangan demokrasi semu, pembelaan hak asasi manusia yang palsu dan curang, serta yang utama: krisis kepemimpinan nasional yang sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada perubahan menuju titik terang.
4. Kasus Banyuwangi memerlukan solusi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berupa penanganan hukum yang jujur dan effektif. Jangka panjang berupa kesediaan dan inisiatif para pemuka bangsa untuk menumbuhkan kembali segala perangkat ilmu, konsep, pilihan sistem nilai menuju terbangunnya kepemimpinan humanistik-nasionalistik yang mengabdi kepada rakyat, yang menekan serendah mungkin kebodohan kolektif, feodalisme dan tahayul kepemimpinan.
5. Kalau kasus Banyuwangi masuk peti es sebagai banyak kasus-kasus besar lain sebelumnya, maka bangsa Indonesia sebaiknya menunda mimpi tentang perbaikan kehidupan nasional, serta menyiapkan diri untuk memasuki era kehidupan yang penuh konflik besar. Pada level arus bawah sejarah, terdapat polarisasi permusuhan antar kelompok yang permanen dan semakin parah. Pada level ombak-permukaan sejarah, muncul konstelasi pihak-pihak yang multi-polar, complicated, bergeser-geser, fragmentaristik dan temporal -- sehingga perbenturan di antara mereka bersifat brubuh, letusan demi letusan berlangsung secara sangat sukar diidentifkkasi, sampai akhirnya berlangsung benturan besar-besaran.
Jakarta 03.11.1998, 08161975511 EMHA AINUN NADJIB BERSAMA PADANGBULAN, KIAI KANJENG, ZAITUNA, HAMAS
BANYUWANGI DAN DENDAM SEJARAH
------------------------------------------------------------------------
1. Kejadian pembunuhan massal di Banyuwangi dan wilayah-wilayah lain terdiri atas empat (4 lapis).
Pertama, dilakukan oleh suatu jaringan subversif dengan skenario dan target tertentu, dikerjakan secara canggih dan sistematis.
Kedua, suatu kelompok lain membonceng melakukan pembunuhan untuk turut mengail di air keruh.
Ketiga, terdapat pendompleng swasta, untuk melampiaskan dendam pribadi.
Keempat, masyarakat yang termakan isyu sehingga main hakim sendiri.
2. Terdapat sekurang-kurang sembilan (9) kemungkinan pelaku, tapi masing-masing asumsi atau hipotesis ini ada titik lemahnya, sehingga harus dilacak secara analitis-logis.
Kesatu, PKI bawah tanah.
Kedua, kelompok yang berkepentingan untuk memecah belah NU.
Ketiga, desoliditasi kekuatan Promeg yang diperhitungkan akan mengganggu establishment kekuasaan dan memecah belah Ummat Islam sampai tingkat yang sangat parah, sehingga kongres PDI-Perjuangan harus dicegat di pintu gerbangnya.
Keempat, ABRI memberi shock therapy agar tidak gampang-gampang orang berpikir tentang pencabutan Dwifungsi.
Kelima, pemerintah mempertahankan status quo, mengalihkan konsentrasi nasional agar bisa dikendalikan secara pro-aktif.
Keenam, jaringan atau link tertentu di tubuh ABRI yang jengkel pada kepemimpinan alam pikiran Gus Dur dan sekularisme reformasi, yakni yang terus memperluas konflik multi-polar.
Ketujuh, tikaman punggung oleh sebagian anak-anak Cendana.
Kedelapan, kelompok pejuang deIslamisasi, di mana Banyuwangi adalah episode kesekian sesudah kerusuhan Mei di mana Islam dikambinghitamkan secara sangat strategis dan taktis.
Kesembilan, kemungkinan kedelapan dalam suatu sinergi subversif dengan jaringan tertentu pada kemungkinan keempat dan kelima.
3.Point-1 maupun point-2 bukan BAP atau pernyataan hukum, melainkan analisis sosial. Yang manapun dari semuanya itu yang riil, ada hal-hal yang tidak perlu diperdebatkan untuk disimpulkan sebagai kebenaran sejarah. Yakni bahwa kasus Banyuwangi hanya merupakan letusan 'kecil' dari kegagalan panjang sejarah bangsa dan pemerintah Indonesia. Kegagalan dalam menangani kebhinnekaan dan managemen konflik, kekeliruan dalam memahami SARA, ketidaksungguhan menjalankan prinsip bernegara dan bermasyarakat, perjuangan demokrasi semu, pembelaan hak asasi manusia yang palsu dan curang, serta yang utama: krisis kepemimpinan nasional yang sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada perubahan menuju titik terang.
4. Kasus Banyuwangi memerlukan solusi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek berupa penanganan hukum yang jujur dan effektif. Jangka panjang berupa kesediaan dan inisiatif para pemuka bangsa untuk menumbuhkan kembali segala perangkat ilmu, konsep, pilihan sistem nilai menuju terbangunnya kepemimpinan humanistik-nasionalistik yang mengabdi kepada rakyat, yang menekan serendah mungkin kebodohan kolektif, feodalisme dan tahayul kepemimpinan.
5. Kalau kasus Banyuwangi masuk peti es sebagai banyak kasus-kasus besar lain sebelumnya, maka bangsa Indonesia sebaiknya menunda mimpi tentang perbaikan kehidupan nasional, serta menyiapkan diri untuk memasuki era kehidupan yang penuh konflik besar. Pada level arus bawah sejarah, terdapat polarisasi permusuhan antar kelompok yang permanen dan semakin parah. Pada level ombak-permukaan sejarah, muncul konstelasi pihak-pihak yang multi-polar, complicated, bergeser-geser, fragmentaristik dan temporal -- sehingga perbenturan di antara mereka bersifat brubuh, letusan demi letusan berlangsung secara sangat sukar diidentifkkasi, sampai akhirnya berlangsung benturan besar-besaran.
Jakarta 03.11.1998, 08161975511 EMHA AINUN NADJIB BERSAMA PADANGBULAN, KIAI KANJENG, ZAITUNA, HAMAS
Comments