Seri PadangBulan (100)
DARI DEWAN NEGARA, PENGADILAN SUHARTO, HINGGA KONFLIK PASCA SI-MPR
------------------------------------------------------------------------
Bagaimana Cak Nun menanggapi semakin ruwetnya reformasi, bentrokan dan konflik yang semakin berkepanjangan, terutama yang memuncak pada SI-MPR?
Tentu saja sangat berprihatin. Sejak jauh sebelumnya kita sudah tahu dan merasa itu akan terjadi. Resiko semacam itu tentunya juga sudah diketahui dan diperhitungkan oleh semua pihak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena saya ini "junior", saya tidak dipercaya oleh pemerintah, oleh tokoh-tokoh reformis, oleh mahasiswa, oleh LSM dan pers. Saya ini hanya anak kecil dan hanya ada di "garis belakang", hanya bisa mbantuin kecil-kecilan kepada rakyat langsung.
Apakah SI-MPR itu sendiri Cak Nun setuju?
Sejak Suharto belum turun saya sudah umumkan teori "es balok". Kalau sebagai pemilik warung es ada menerima kiriman es balok ada (maaf, ibaratnya: ) tainya, tentu es itu Anda buang dan Anda marah tak percaya kepada pabrik es. Di Hari-hari sebelum dan sesudah Suharto turun, mahasiswa menuntut Sidang Istimewa MPR, maka saya heran kok mahasiswa ingin membuang es tapi kok tidak melabrak pabriknya. Setelah sekian bulan, menjelang SI-MPR 10 Nopember, baru mereka menonjok pabrik itu.
Apakah Cak Nun setuju Pak Harto diusut dan diadili?
Jangankan Pak Harto, seandainya ada Nabi salahpun harus diusut dan diadili. Atau bahkan justru karena Nabi, dan justru karena Pak Harto memerintah 32 tahun, maka ia harus mas'ul, harus bertanggungjawab. Hanya saja kalau Anda menyeret maling ke kantor polisi, tolong tak usah Anda ludahi mukanya atau Anda perhinakan maling itu sebagai manusia. Ketika Pak Harto masih berposisi mutakabbir, berkuasa dan angkuh, saya tidak mau salaman. Ketika ia memperlihatkan kesediaan khusnul khotimah dan taubah nasuha, kita wajib menghormati iktikad itu.
Apakah Cak Nun setuju kekuasaan di Indonesia dialihkan ke Presidium atau Komite Rakyat Indonesia? Tanggal 19 April 1998 saya mengusulkan "Sekarang saatnya Suharto mengembalikan kekuasaan kepada rakyat...". Tapi ketika itu media massa masih tiarap, sehingga tak ada yang memuat. Saya mengusulkan pengalihan kekuasaan dari Suharto ke Dewan Negara, yang terdiri dari tokoh-tokoh kedua belah pihak. Dari monopoli ke distribusi, bukan dari monopoli ke monopoli baru. Juga melalui konsep Komite Reformasi dengan 45 tokoh reformis terutama Gus Dur, Amin Rais dan Megawati. Tapi ditolak orang, sehingga Habibie yang jadi Presiden. Setelah sekian bulan baru orang ribut lagi soal presidium dan komite. Situasinya sudah berubah, produknya juga akan lain.
Apakah Cak Nun setuju pada berdirinya partai-partai agama? Partai sapipun boleh. Dua tahun yang lalu saya bilang "Islam Yes, Partai Islam Yes", saya dimarahi banyak orang karena dianggap membawa Indonesia mundur 30 tahun. Isi reformasi kemudian adalah berdirinya puluhan partai Agama. Biar saja, demokrasi dan isme-isme boleh, mosok Agama ndak boleh. Kalau saya jadi Gus Dur dan Amin Rais, saya usahakan berdirinya Partai NU dan Partai Muhammadiyah: Ini lho partai Islam, Islam itu rahmatan lil'alamin, Islam itu membela siapa saja yang benar dan menindak siapa saja yang salah, tanpa pandang bulu. Islam itu menyayangi semua manusia dengan pilihannya masing-masing. Lebih baik terang-terangan partai agama, daripada pura-pura partai bukan agama tapi toh mengeksplor kekuatan massa agama. Itu politik malu-malu kucing. Pokoknya yang penting bukan apa latar belakang dan nama formalisme nama partainya, yang penting adalah produknya untuk keadilan bagi seluruh rakyat atau tidak. Islam adalah keadilan bagi semua manusia. Ibarat di warung, biarkan siapa saja yang masak di dapur, yang penting makanannya tak beracun, sehat dan bergizi atau tidak.
Kok Cak Nun tidak ikut demo?
Sebab kalau saya ikut demo, pertanyaan Anda jadi lain: Kok Cak Nun memanfaatkan demo untuk popularitas pribadi? Kok Cak Nun oportunis?
Cak Nun tampaknya tidak nulis lagi di media, bahkan sangat jarang muncul di koran, majalah atau televisi?
Saya tahu diri. Gerakan saya tidak populer. Komunikasi saya dengan masyarakat, silaturahmi, informasi saya hanya dalam lingkup Padang Bulan, Hamas, Kiai Kanjeng, Zaituna dan jaringannya, serta melalui Jurnal "Syukur" ini serta buku-buku saya yang diterbitkan oleh Zaituna. Saya juga tidak punya kesanggupan untuk mendatangi wartawan, atau mengundang konferensi pers, agar omongan dan gerakan saya diketahui orang lewat media massa.
(Yus/Hilman)
DARI DEWAN NEGARA, PENGADILAN SUHARTO, HINGGA KONFLIK PASCA SI-MPR
------------------------------------------------------------------------
Bagaimana Cak Nun menanggapi semakin ruwetnya reformasi, bentrokan dan konflik yang semakin berkepanjangan, terutama yang memuncak pada SI-MPR?
Tentu saja sangat berprihatin. Sejak jauh sebelumnya kita sudah tahu dan merasa itu akan terjadi. Resiko semacam itu tentunya juga sudah diketahui dan diperhitungkan oleh semua pihak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena saya ini "junior", saya tidak dipercaya oleh pemerintah, oleh tokoh-tokoh reformis, oleh mahasiswa, oleh LSM dan pers. Saya ini hanya anak kecil dan hanya ada di "garis belakang", hanya bisa mbantuin kecil-kecilan kepada rakyat langsung.
Apakah SI-MPR itu sendiri Cak Nun setuju?
Sejak Suharto belum turun saya sudah umumkan teori "es balok". Kalau sebagai pemilik warung es ada menerima kiriman es balok ada (maaf, ibaratnya: ) tainya, tentu es itu Anda buang dan Anda marah tak percaya kepada pabrik es. Di Hari-hari sebelum dan sesudah Suharto turun, mahasiswa menuntut Sidang Istimewa MPR, maka saya heran kok mahasiswa ingin membuang es tapi kok tidak melabrak pabriknya. Setelah sekian bulan, menjelang SI-MPR 10 Nopember, baru mereka menonjok pabrik itu.
Apakah Cak Nun setuju Pak Harto diusut dan diadili?
Jangankan Pak Harto, seandainya ada Nabi salahpun harus diusut dan diadili. Atau bahkan justru karena Nabi, dan justru karena Pak Harto memerintah 32 tahun, maka ia harus mas'ul, harus bertanggungjawab. Hanya saja kalau Anda menyeret maling ke kantor polisi, tolong tak usah Anda ludahi mukanya atau Anda perhinakan maling itu sebagai manusia. Ketika Pak Harto masih berposisi mutakabbir, berkuasa dan angkuh, saya tidak mau salaman. Ketika ia memperlihatkan kesediaan khusnul khotimah dan taubah nasuha, kita wajib menghormati iktikad itu.
Apakah Cak Nun setuju kekuasaan di Indonesia dialihkan ke Presidium atau Komite Rakyat Indonesia? Tanggal 19 April 1998 saya mengusulkan "Sekarang saatnya Suharto mengembalikan kekuasaan kepada rakyat...". Tapi ketika itu media massa masih tiarap, sehingga tak ada yang memuat. Saya mengusulkan pengalihan kekuasaan dari Suharto ke Dewan Negara, yang terdiri dari tokoh-tokoh kedua belah pihak. Dari monopoli ke distribusi, bukan dari monopoli ke monopoli baru. Juga melalui konsep Komite Reformasi dengan 45 tokoh reformis terutama Gus Dur, Amin Rais dan Megawati. Tapi ditolak orang, sehingga Habibie yang jadi Presiden. Setelah sekian bulan baru orang ribut lagi soal presidium dan komite. Situasinya sudah berubah, produknya juga akan lain.
Apakah Cak Nun setuju pada berdirinya partai-partai agama? Partai sapipun boleh. Dua tahun yang lalu saya bilang "Islam Yes, Partai Islam Yes", saya dimarahi banyak orang karena dianggap membawa Indonesia mundur 30 tahun. Isi reformasi kemudian adalah berdirinya puluhan partai Agama. Biar saja, demokrasi dan isme-isme boleh, mosok Agama ndak boleh. Kalau saya jadi Gus Dur dan Amin Rais, saya usahakan berdirinya Partai NU dan Partai Muhammadiyah: Ini lho partai Islam, Islam itu rahmatan lil'alamin, Islam itu membela siapa saja yang benar dan menindak siapa saja yang salah, tanpa pandang bulu. Islam itu menyayangi semua manusia dengan pilihannya masing-masing. Lebih baik terang-terangan partai agama, daripada pura-pura partai bukan agama tapi toh mengeksplor kekuatan massa agama. Itu politik malu-malu kucing. Pokoknya yang penting bukan apa latar belakang dan nama formalisme nama partainya, yang penting adalah produknya untuk keadilan bagi seluruh rakyat atau tidak. Islam adalah keadilan bagi semua manusia. Ibarat di warung, biarkan siapa saja yang masak di dapur, yang penting makanannya tak beracun, sehat dan bergizi atau tidak.
Kok Cak Nun tidak ikut demo?
Sebab kalau saya ikut demo, pertanyaan Anda jadi lain: Kok Cak Nun memanfaatkan demo untuk popularitas pribadi? Kok Cak Nun oportunis?
Cak Nun tampaknya tidak nulis lagi di media, bahkan sangat jarang muncul di koran, majalah atau televisi?
Saya tahu diri. Gerakan saya tidak populer. Komunikasi saya dengan masyarakat, silaturahmi, informasi saya hanya dalam lingkup Padang Bulan, Hamas, Kiai Kanjeng, Zaituna dan jaringannya, serta melalui Jurnal "Syukur" ini serta buku-buku saya yang diterbitkan oleh Zaituna. Saya juga tidak punya kesanggupan untuk mendatangi wartawan, atau mengundang konferensi pers, agar omongan dan gerakan saya diketahui orang lewat media massa.
(Yus/Hilman)
Comments