Skip to main content

FUNDAMENTAL ECONOMY OK ? BAGAIMANA DENGAN FUNDAMENTAL AKHLAQ ??!!

Seri PadangBulan (107)

FUNDAMENTAL ECONOMY OK ? BAGAIMANA DENGAN FUNDAMENTAL AKHLAQ ??!!

------------------------------------------------------------------------

Sebelum terjadi akrobat moneter yang kini melanda negeri ini, tentunya kita ingat betapa meyakinkannya keterangan para petinggi negeri ini tentang masih kuatnya Fundamental Economy kita, sehingga tidak perlu ada kecemasan massal dalam menyongsong berla-kunya open trade dalam waktu dekat mendatang ini. Setelah apa yang terjadi ini apakah masih relevan untuk meneliti kembali apakah memang betul fundamental economy kita cukup kuat atau tidak menghadapi berbagai bentuk gonjang-ganjing moneter? Saya tidak tahu.

Namun saya yakin bahwa meskipun dikatakan bahwa fundamental economy kita cukup kuat, bahwa fundamental politik kita cukup kuat, bahwa fundamental sosial kita kuat betul, bahwa fundamen-tal budaya kita lumayan kuat, namun pada kenyataannya fundamental mental kita dan akhlaq kita masih amburadul, saya yakin semua pernyataan tentang betapa kuatnya segala fundamental kita itu adalah semu belaka. Lalu bagaimana kita menilai fundamental akhlaq kita dalam posisi yang seperti apa? yang namanya fundamen-tal, tentunya kita cari dari akarnya : kita diberi tahu para alim (cendekia) Bahwa Allah menciptakan seluruh alam semesta segala isinya ini adalah dengan adil, artinya segala sesuatu adalah pada tempatnya. Dan yang diberi kemampuan oleh Allah untuk bertindak tidak adil, ya hanya manusia dan iblis (melalui manusia). Dan suatu tindakan atau serentet kejadian yang berwal dari ketidak-adilan akan berefek menggoyang Singgasana (Arsy), yang membuat Allah tidak suka, begitu kata para alim.

Dalam masyarakat kita pihak mana saja yang sepatutnya menjaga agar hukum berlaku sebagaimana seharusnya, yaitu adil ? Mereka itu adalah Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara. Dari pengalaman pribadi, dimana saya sebagai pemilik sah sebidang tanah (dibukti-kan dengan Sertifikat Hak Milik, yang dikeluarkan Dirjen Agraria) selama 20 tahun, ternyata sebagiannya telah terserobot secara melawan hukum oleh orang lain , dapatlah saya katakan bahwa telah terjadi ketidak-adilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.

Kasus-kasus serupa ini banyak kita dengar dibicarakan dimasyara-kat.

Pernahkah anda membuat SIM? sepanjang pengalaman saya mengurus SIM di DKI ini, selalu disertai ketidak-adilan.

Dengan adanya ketidak-adilan yang berlangsung luas dimasyarakat, sehingga terkesan tiadanya kepastian hukum, apakah mengherankan bila banyak anggota masyarakat lebih gemar berlomba mengambil jalan pintas, dan dengan demikian melanggar keadilan, dari pada menanggung resiko kehilangan kesempatan?

Ya tidak heran kan!!

Dalam situasi demikian bagaimana mungkin tumbuh dan berkembang sikap profesionalisme dalam diri setiap pelaku kegiatan negeri ini? Dan kalau SDM nya, modal utama suatu bangsa, tidak profe-sional, bagaimana mungkin diharap mampu bersaing secara interna-sional, bila telah diberlakukan perdagangan bebas diantara bang-sa-bangsa?

Efek lebih buruk lagi dari situasi demikian itu adalah hilangnya rasa saling mengasih diantara anggota masyarakat, yang diperaga-kan oleh kasus dibuanya mayat janin hasil aborsi (yang telah berwujud bayi) hanya dalam kantong plastik ketempat pembuangan sampah biasa, dan bukannya dikubur baik-baik , yang sesuai dengan martabat bakal calon manusia. Pesan maupun doa yang melekat pada Prabu Silih Wangi dari Pajajaran tidak lagi dikenal apalagi dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat.

Padahal dapat dikatakan bahwa silih wangi adalah interpretasi singkat Surat Al Ihlash, suatu anjuran atau ajakan agar kita saling mewangikan, saling mendorong, saling menarik ke maqam akhlaq yang lebih tinggi.

Saya yakin Prabu Silih Wangi bersedih hati dan menggeliat dalam (alam) kuburnya menyaksikan masyarakat kini hanya tahu mengguna-kan namanya saja, tanpa faham dan tahu makna dari pesan yang terkandung dalam namanya itu.

Maka kalau lalu terjadi musibah yang terasa mencolok, ya seyogya-nya dan seharusnya kita terima sebagai isyarat dari Pemilik Arsy tentang ketidak-suka-an NYA terhadap yang terjadi di negeri ini. Tetapi mengapa dalam situasi demikian ini ada seseorang yang mengingatkan perlunya dibuat upaya taubatan nasional, banyak sekali tokoh masyarakat yang menanggapinya secara sinis dan bahkan menggangap ajakan itu sebagai suatu langkah yang berbau politis: ada yang mengatakan tidak perlu karena "saya telah melakukannya setiap hari kok"; dan tidak kurang dari petinggi kementrian agama sendiri yang menolak ide taubatan nasional itu. Ya memang kalau Allah telah membutakan mata kita , apapun yang kita lakukan rasanya benar- dan baik-baik saja. Padahal suatu upaya taubatan nasional itu perlu dibuat berkali-kali, minimal-nya adalah untuk menggugah kesadaran sosial seluruh anggota masyarakat terhadap telah kritisnya fundamental akhlaq kita. Dan suatu upaya massal yang bersifat mendidik untuk mensosialisasikan suatu konsep kan tidak dapat dilakukan hanya sekali, sambil lalu saja.

Apakah kita malu mengakui kelemahan dan ketidak-adilan yang sedang terjadi, karena merasa kalau mengaku, khawatir dianggap suatu kelemahan. Yang demikian itu bukanlah ide yang tepat kan. Pengakuan atas suatu kekeliruan itu bukan tanda suatu kelamahan, justru itu adalah tanda suatu kekuatan. Kita mendapatkan kekuatan atau apapun yang kita miliki ini kan hanya dari Allah. Kalau kita mengaku bahwa kita lemah, kita khilaf, karena ketundukkan kita kepada Allah, justru itulah kekuatan yang sejati, yang memang layak dimiliki Khalifah Allah di bumi ini.

Nampaknya saja kehidupan beragama masyarakat semakin semarak. Kita perhatikan betapa kita saling menyapa dengan "Salam". Betapa seringnya kalimat itu terlontar dalam suatu majelis. Padahal hanya kalimat itulah yang disampaikan oleh Allah untuk menyambut kedatangan penghuni sorga. Dan yang berkwalifikasi untuk menyata-kan kalimat itu sesungguhnya ya hanya As Salamu saja. Jadi kalau kita menyampaikan kalimat tersebut tanpa mengkaitkan kalbu kita dengan Sang Pemilik Salam sendiri, apakah masih ada manfaatnya?! Bukankah itu suatu tanda sederhana bahwa sebagian besar masyara-kat kita (termasuk saya) telah kehilangan kesungguhan dalam mengupayakan perbuatan benar sebaik baiknya. Padahal yang dipera-gakan Nabi Muhammad saw selama 22 tahun masa kenabiannya, ya itu tadi: suatu kesungguhan dalam berbuat baik dan benar. Jadi kalau kita selalu mengatakan perlu menteladeni Nabi saw ya sikapnya yang bersungguh-sungguh gemar berbuat baik dan benar inilah yang perlu kita contoh.

Tanpa ditegakkannya keadilan oleh para penanggung jawab keadilan (empat serangkai: Hakim, Jakksa, Polisi, Pengacara dan tanpa sikap bersungguh-sungguh (kata lain: jihad) dalam berbuat benar sebaik mungkin dari seluruh (minimal sebagian besar) anggota masyarakat, ya artinya fundamental akhlaq kita belum cukup kuat untuk menyongsong jaman perdagangan bebas.

Pesan Islam dalam hal fungsi pemimpin cukup jelas: "Jika kalian berdua (atau lebih), pilihlah diantara kalian pemimpin (kriteria-nya, sesuai dengan kebutuhan jaman). Kalau sudah dipilih pemimpin diantara kalian, patuhilah. Kecuali jika ternyata dia (pemimpin) itu dzalim (atau membiarkan terjadinya ke-tak- adilan atau ked-zaliman). Dalam hal demikian gantilah dia dengan pemimpin yang lebih baik. " Dalam kenyataannya konsep ini secara lengkap tidak mudah dilaksanakan, apalagi dalam suatu masyarakat yang telah bersifat kompleks atau canggih, dimana struktur kepemimpinan berlapis-lapis. Dan pendelegasian wewenang serta tanggung jawab itu selalu menjadi problem klasik yang dihadapi umat manusia sepanjang sejarah keberadaannya. Namun tetap saja, yang paling bertanggung jawab ya yang berada di pucuk piramida kekuasaan. Lalu siapa saya ini, kok berani-beraninya mengutarakan hal-hal ini. Ini saya lakukan hanya karena kebetulan saja saya setuju dengan salah seorang sahabat Nabi saw, yang menyatakan: "Jangan dinilai siapa yang mengatakan, tetapi nilailah dari (makna) kali-mat yang diucapkan." Artinya meskipun kalimat itu keluar dari mulut anjing buduk (dan jelas saya bukan anjing buduk) ataupun dari mulut penjahat keji (dan jelas sayapun bukan penjahat keji), tetap saja patut diperhitungkan, karena sesungguhnya baik dan benar itu hanya milik Allah SWT Al Haqqu sendiri saja.

Memperhatikan latar belakang uraian tadi semuanya, kiranya memang perlu kita berkali-kali melakukan taubatan nasional mumpung menjelang memasuki bulan Ramadhan : Ya Allah, ampunkan segala dosa (kelalaian-untuk -selalu- mengkaitkan-diri- dengan Engkau) kami semua, segala kemaksiatan(penentangan-terhadap-hukum-MU-yang-telah-Engkau-tetapkan-untuk-kami) kami semua, segala ke-tidak-layakan-keberagaman kami semua, segala ke-tidak-layakan-melaksanakan-kebenaran-kami semua, segala ke-tidak-layakan- meng-Agung-kan-MU kami semua, segala ke-tidak-layakan-pengetahuan-akan- Engkau kami semua, Ya Allah Sang Pengasih Sang Penyayang.

Ya Allah, berikanlah petunjuk MU kepada kami semua, khususnya para pemimpin kami, agar keadilan dapat ditegakkan di negeri yang kami cintai sebagai amanat dari MU ya Allah; agar kami semua, khususnya para pemimpin kami, mampu melaksanakan dan memberikan tauladan tentang kebersungguhan gemar melakukan yang benar sebaik mungkin sesuai kemampuan kami masing-masing, sebagaimana dicontohkan Nabi kami dan Rasul MU saw di waktu lalu. Kabulkan doa kami ya Allah. Amiiin.

Konkritnya saya usul agar Gerakan Disiplin Nasional (GDN) lebih dipertegas dan difokuskan untuk secara spesifik merupakan Gerakan Peningkatan Fundamental Akhlaq Nasional (Gening Daman), yang diawali dengan taubatan nasional.

Hanya Allah Yang Maha Tahu.

Jakarta, 27 Desember 1997
SUTONO bin Joyosuparto
Pusat study Bugar Jiwa Raga
Yayasan Indonesia Perkasa
Jl. Bangka Buntu II No. 4 Jakarta 12720 telp. 7993497, 7191667

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu