Skip to main content

PUNGGUK (Fir’aun Kuadrat)

Kalau bagimu apa yang berlangsung ini baik-baik saja dan rasional untuk diteruskan, maka good luck dan selamat jalan kuucapkan kepadamu. Tetapi aku tak bisa menghindari pikiran untuk "memulai kembali dari Nol".

Aku mengalami dan menemukan hal yang berbeda, tiap hari, terus-menerus, dalam skala kecil apalagi besar. Ini bukan tingkat servis ringan atau berat, turun mesin pun mungkin tak cukup. Mungkin harus ganti mesin dan ganti mobil. Sekurang-kurangnya aku dengan diriku sendiri memulai kembali dari Nol dalam peletakan diri dan penyikapan kepada semua ini.

Itulah sebabnya aku membayangkan, berdasar terbatasnya takdir dan kapasitasku – bahwa karena Nabi Musa merasa terpojok oleh tingkat keadaan seperti itu pulalah maka terpikir oleh beliau untuk meminta jadi makhluk pertama yang diciptakan oleh Tuhan.

Para sesepuh bercerita kepadaku bahwa Kalimullah Musa yang minta dijadikan makhluk yang pertama diciptakan, dijawab oleh Allah: “Sudah terlanjur, Musa. Makhluk yang pertama kuciptakan adalah Nur Muhammad”.

Karena kekerdilanku, aku menduga Nabi Musa berkhayal menjadi makhluk “wiwitan” yang Allah ciptakan, sebelum menjadi kumparan jagat raya, sebelum Malaikat, Jin, Banujan dan Adam – karena ia mengalami kesulitan yang luar biasa dalam tugasnya menangani Fir’aun. Segala sesuatunya sudah terlanjur, sudah hampir tak mungkin mengatasi kerusakan-kerusakan yang berlangsung. Sampai-sampai kubayangkan Nabi Musa berpikir untuk diperkenankan bertugas dari titik Nol.

Aku, sekali lagi, sangat tertarik oleh ide itu. Sesungguhnya “pamrih” semacam itu pulalah yang menjadi “kanker” di dalam hatiku. Aneh juga. Di era-era Fir’aun yang “gemah ripah loh jinawi” dengan hanya satu kesalahan teologis saja, sudah sedemikian memusingkan. Apalagi sekarang, yang sebagian keadaannya adalah pra-Fir’aun, dan sebagian lain Fir’aun-kuadrat.

Di setiap penanganan masalah yang kualami, kutemukan bahwa – ibarat kekasihku itu adalah mobil – ada yang salah dengan sasisnya. Ada yang tidak tepat pada konstruksi dasarnya. Mungkin karena awal mula niatan fundamentalnya juga tidak kompatibel dengan kepribadian otentiknya. Itu mengakibatkan tata kelola dan pola pengendalian kendaraan itu juga serba salah, serta kontraproduktif. Ibarat menyembah berhala, berhalanya tidak mau. Ibarat menuhankan uang dan materi, hasilnya tiap saat kesibukan utamanya adalah bertengkar dan mengeluhkan uang dan materi.

Ada improporsi antara cara menyetirnya dengan tatanan mesin kendaraannya. Kalau pakai amsal olahraga, kekasihku itu bermain karambol di lapangan sepakbola. Atau bermain pingpong di lapangan voli. Apapun lah analoginya. Keahlian para pemainnya tidak aplikatif untuk jenis permainan yang dipilih beserta aturan mainnya. Kipernya malah berdiri di depan. Wasitnya ikut menendang bola. Strikernya rajin memasukkan bola ke gawangnya sendiri. Official kedua kesebelasan duduk bersama di balkon dan berbisik-bisik di antara mereka. Sebagian pemain kaget oleh skor yang terjadi yang sangat tidak rasional, sementara sebagian pemain yang lain wajahnya aneh, seperti menyimpan sesuatu yang dirahasiakan.

Kendaraan kekasihku itu aneh secara selera maupun profesional. Kekasihku itu ternyata seorang Radikalis. Ia sangat radikal dalam menentukan jenis kendaraannya. Radikal caranya menyetir, memperlakukan peta jalan, jalur, lajur, bahu jalan, marka dan semuanya. Mungkin arah yang dimaksudkannya tidak nyambung dengan jalan yang dipilihnya. Ia merasa sedang menempuh perjalanan ke sorga, padahal jalur yang dilaluinya itu jalan buntu, dengan jurang di kiri-kanannya.

Ya Allah aku ngeri melihat kekasihku. Tak bisa aku memahaminya. Semakin aku melihat sopir dan wajah-wajah lain di kendaraan itu, semakin aku dihimpit oleh kesedihan dan kecemasan. Semakin menyaksikan laju meluncurnya kendaraan itu, yang bagiku semakin aneh dan ajaib, semakin nyata bahwa itu jauh melampaui kadar ilmu dan kesanggupanku untuk mengerti. Maka sebagai pelarian psikologisku, aku merasa yakin pada kecurigaanku kenapa Nabi Musa nekat untuk bermanja dan setengah menuntut kepada Tuhan.

Sungguh aku ingin kekasihku memulai kembali perjalanannya dari Nol. Mengenali dan menghitung kembali kepribadiannya. Apakah ia adalah kesatuan perdikan, kesatuan persemakmuran, kesatuan pemusatan, kesatuan penjaringan. Apakah demokrasinya monolitik, ataukah demokrasi hamparan, demokrasi siklikal, demokrasi Dewa Mahabharata atau demokrasi Semar dan Punakawan. Dan konsentrasi kependidikan sejarahnya terletak pada pilihan sistemnya, atau pembangunan kemanusiaan manusia-manusianya, atau gabungan seimbang dan seirama antara keduanya.

Tetapi itu mustahil. Kekasihku adalah anak panah yang meluncur tanpa busur. Ia pesawat yang take off tanpa runway. Pun kalau menawarkan itu, harus kujelaskan panjang lebar tinggi dalam kanan kiri depan belakang utara barat timur selatan. Sedangkan tak satu kata pun dariku yang kekasihku pernah mau mendengarkan dariku. Hubunganku dengan kekasihku itu bagaikan pungguk merindukan rembulan. Aku amat mencintainya, namun cintaku tak mampu menjangkaunya.

Aku seperti mencicipi rasa takut dan kebuntuan Nabi Musa. Tentulah ini sama sekali tidak sepadan.
Aku bukanlah tokoh, apalagi menyepadankan diri dengan tokoh lainnya, terlebih lagi Nabi Musa.

Tetapi aku butuh menyelamatkan hatiku sendiri. Mungkin itu sekadar situasi psikologis-subjektifku untuk – maaf – “mencari teman” dalam kebuntuan. Dan lagi ini GR-GR-ku sendiri saja, karena pada faktanya aku tidak punya kewajiban apa-apa atas kekasihku, dan kekasihku sendiri pun tak pernah tahu bahwa aku mencintainya. Bahkan ia tak tahu aku ini ada.

Kenekatan Nabi Musa merajuk kepada Tuhan itu kan latar belakangnya bukan sekadar karena Nabi Musa mengalami betapa susahnya melawan kekuasaan dan kerusakan Raja Fir’aun. Lebih dari itu, yang tak kalah ruwetnya adalah betapa tidak mudahnya mengurusi rakyat yang ia bela-bela dengan bertaruh nyawa, namun perilakunya sangat tidak menolong masa depannya sendiri. Betapa hampir tak tahan ia "menggembalakan domba-domba" yang ia sayangi, yang kadang-kadang ternyata memang benar-benar domba.

Baginda Musa merasa dadanya sempit dan sesak, lidahnya tidak lancar dan artikulatif. Bukannya celat, melainkan seperti tak berdaya merumuskan kelaliman Fir’aun. Bahkan sampai terucap dari mulut beliau: “Aku takut mereka akan membunuhku”.

Pada posisi buntu semacam itulah naluri setiap orang adalah ingin melarikan diri. Apalagi aku. Maka kubayangkan Nabi Musa meneruskan tawar-menawarnya dengan Tuhan: “Kalau begitu mohon tetapkan aku menjadi Nabi terakhir atau Rasul pamungkas”.

Kalau pakai bahasa manusia, kira-kira mungkin begini jawaban Tuhan kepada Musa: “Kamu lahir terlalu cepat, Musa. Nabi terakhir itu baru akan lahir beberapa ratus tahun lagi. Namanya Muhammad bin Abdullah”

Jakarta, 7 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/pungguk/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak