Skip to main content

BINOKONG REKLAMASI


Sebagai warga Yogya, tiap hari saya tersinggung. Setiap lewat ujung Malioboro, terlihat gedung-gedung bekas milik pemerintahan Belanda berdiri gagah. Di belakangnya terdapat bangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang lebih rendah dan dipantati oleh kantor-kantor VOC itu.

Ditambah depannya ada Benteng Vredeburg yang kokoh. Benteng itu dulu membentengi siapa dari ancaman siapa? Sebab ada Negara dengan rakyat menggaji Pemerintah untuk membentengi keamanan hidup dan kerja mereka, tapi rakyat malah diancam. Pemerintah bayaran itu fokus berpikirnya bukan “awas kalau ada yang mengancam rakyat”. Melainkan “rakyat adalah ancaman”. Maka rakyat dipelototi terus. Kalau macam-macam, digebuk pakai tongkat sakti Kiai Perppu.

Kalau pergi umroh, susah khusyu berthawaf, karena Ka’bah yang saya putari seperti onggokan batu di dasar jurang. Bangunan-bangunan tinggi besar mengelilingi dan merendahkan rumah Allah. Paranoia merasuki jiwa, saya merasa para penghuni kamar-kamar hotel di atas sana ada yang meludah atau buang angin ke bawah tempat saya bermesraan di aura kesucian Allah. Rumah Tuhanku dikangkangi dan diludahi oleh raksasa peradaban Abad 21.

Kabarnya di pantai utara Jakarta dan bisa di titik-titik berikutnya di sepanjang Jawa, mulai dihamparkan bangunan-bangunan metropolitan menyaingi Iroma Dzatil ‘Imad Nabi Hud, atau keagungan fisik kota Negeri Atlantis, bahkan mengalahkan kecanggihan dan kemewahan kota Sulaiman yang menggaji arsitek dan para pekerja dari Masyarakat Jin. Raksasa itu mempantati ibukota Negeri saya. Mungkin akan membokongi titik-titik lain utara Pulau Jawa. Negara kita binokong (dibokongi) Reklamasi.

Itu tidak masalah, karena hidup kita tidak butuh harga diri. Asal dikasih Tumpeng dan Ambeng, tak ada lagi masalah dengan kita. Bahkan kita ngapurancang mohon di-rènten oleh Jin Ifrith. Dulu di dusun kita nakal: “wek-ku yo wek-ku, wek-mu yo wek-ku”. Punyaku adalah punyaku, punyamu adalah punyaku. Sekarang Ifrith menakali kita dengan kalimat itu.

Di tengah keliling-keliling Maiyahan, semakin banyak prajurit-prajurit ‘kecil’ di sana sini, di semakin banyak wilayah, membisiki saya: “Mohon petunjuk, Cak. Saya dan teman-teman prajurit semakin gerah oleh berita-berita dari atas. Hati kami makin panas mendengar kata Reklamasi, Meikarta dan banyak lagi. Tapi bagaimana. Kami terikat Sumpah untuk patuh kepada atasan…”

Terakhir empat malam berturut-turut di empat titik saya takjub kepada rakyat kecil yang tahan duduk 4-5 jam di atas tanah becek lendut berair ngecembeng, sangat licin dan ‘kotor’. Udan angin alias hujan badai mendadak, yang hampir merobohkan panggung, merusak semua instalasi dan memadamkan listrik -- tidak membuat mereka bergeming dan bergeser setapak pun. Wajah mereka bahagia dan badan mereka tidak sakit. Bahkan tidak bèsèr kencing.

Saya bisa melihat sampai tingkat mana tangguh-tanding para patriot ini kalau saatnya tiba. Tetapi mereka bukan rakyat Indonesia. Sebab bagi para penguasa politik dan transaksi modal-modal besar di Jakarta, mereka tidak ada. Kalaupun sesekali terasa ada, mereka sama sekali tidak diperhitungkan. Dan saya menyimpan mereka di lubuk hati saya.


Bandungsari, 24 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/binokong-reklamasi/



Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu