Skip to main content

SESAT DAN LEDAKAN (Amhilhum Ruwaida)


Ada tiga golongan yang semakin hari akan semakin matang pertentangannya. Yang pertama sangat mengharapkan perubahan setotal-totalnya, karena semakin hari semakin mengalami ketidakbenaran dan ketidakseimbangan keadaan yang komprehensif. Yang lainnya sangat mantap dengan keadaan yang sedang berlangsung. Sangat menikmati hasilnya, sangat membanggakan keterlibatannya dan sangat memuja pemuka-pemuka yang memimpinnya.

Aku termasuk golongan ketiga. Yakni yang tersesat dan terhimpit di antara keduanya. Ini golongan gagal paham. Aku menemukan diriku berada di garis paling depan dari pasukan gagal paham ini. Kalau menoleh ke kanan, aku gagal memahami penolakan yang sangat keras terhadap kemungkinan perubahan. Kalau aku menoleh ke kiri, aku juga gagal memahami arah perubahan yang didambakan.

Aku sendiri, sebagai manusia yang menjalani kehidupan, pasti juga punya hal-hal yang berkaitan dengan kemungkinan perubahan. Tetapi muatan pikiranku tentang perubahan itu tidak terdapat di kanan maupun kiriku. Bahkan saya lihat-lihat kok juga tidak ada di kotak pemikiran manapun dan pada siapapun di seluruh Negeri ini maupun di seluruh dunia. Baik pada orang yang sesama manusia denganku, yang sebangsa maupun yang se-Agama. Ini fakta yang sangat jelas bahwa aku benar-benar berada di dalam kesesatan.

Kalau sekedar gagal paham, sebenarnya tidak terlalu menderita. Karena bisa saja aku cukup hidup di lingkup kecil yang kupahami, kujalani, kunikmati atau kuderita. Yang sering terasa berat adalah aku dicurigai, dimarahi, bahkan dibenci oleh mereka yang aku tak paham. Karena aku tak paham, maka pasti juga aku tidak bisa dipahami, serta tidak boleh mengharapkan siapapun akan tidak gagal paham padaku.

Akhirnya situasi saling tidak paham ini membuatku omong atau nulis tanpa orientasi untuk dipahami.

Bahkan ada beberapa kali menuliskan sesuatu hal separuh saja, atau sengaja ungkapan kata atau idiom atau terminologi yang kupilih, tidak kulanjutkan dengan kalimat yang menerangkannya. Kalau ada yang agak keras memprotes, kujawab: “Aku tidak sedang menulis apa-apa. Aku hanya mengulur-ulur waktu, hanya menunggu saat-saat itu tiba. Sebab ada yang sedang bekerja di luar pengetahuan banyak orang…”

Tetapi jawaban itu semakin membuat aku dicurigai dan dimarahi. Mereka tidak berpikir bahwa aku bilang gagal paham itu merupakan cara yang paling bijaksana yang bisa kupilih. Kalau aku meletakkan diri di wilayah “paham”, maka aku akan melawan, memberontak, menghimpun, memobilisasikan, membikin ledakan, melakukan sesuatu yang semua orang tidak pernah membayangkan bahwa itu bisa lakukan.

Aku bilang tidak paham berdasarkan beberapa pengalamanku di dua era sebelumnya di mana aku tertipu oleh suatu arus nasional. Sekarang keadaannya semakin membuatku tidak lagi bisa menemukan cara untuk menyelenggarakan perubahan, kecuali hanya akan lebih menyengsarakan banyak orang. Cara halus rasanya tak akan sampai. Cara keras akan pasti menghasilkan benturan-benturan besar, tanpa satu pihakpun memiliki kesiapan untuk menjalani perubahan yang sejati.

Posisiku seperti seorang istri yang nikah dengan suaminya dengan tata cara suatu Agama, tetapi setelah berumah tangga suaminya kembali ke Agama sebelumnya. Ia dimarahi oleh banyak teman-temannya. Bahkan beberapa Ustadz menasehatinya agar ia tidak meneruskan “berzina” dan segera kembali ke jalan kebenaran.

Si istri itu marah kepada orang yang memarahinya: “Saya ini sudah tertipu kok malah kamu marahi.
Saya ini sudah disesatkan suami saya kok malah kamu sesat-sesatkan. Enak saja menyuruh-nyuruh bercerai. Memangnya saya bukan manusia, sehingga tidak punya hati kepada anak-anak saya. Bukannya saya tidak paham syari’at. Tetapi apakah hidup ini bagian dari syari’at, ataukah syari’at bagian dari hidup? Syari’at itu dihadirkan untuk menghancurkan manusia hidup, ataukah membimbing prosesnya?”

Akan tetapi karena yang kualami ini bukan skala rumah tangga, melainkan komplikasi dalam skala yang jauh lebih luas, maka aku tidak berani membantah ke kanan maupun ke kiri. Aku diam-diam menantikan waktu saja, sambil tidak pernah mau mengemukakan secara eksplisit apa yang sesungguhnya aku maksudkan. Yang kumaksudkan justru terletak pada kalimat-kalimat yang tak kuucapkan.

Dua proposal Nabi Musa ditolak oleh Tuhan, dan sejumlah proposalku ditolak oleh hidupku sendiri. Akhirnya permintaannya digeser. Nabi Musa memohon agar Allah menampakkan wajah-Nya. Kali ini Allah memenuhinya, tetapi Musa pingsan sebelum ia benar-benar menghadap ke arah yang Tuhan menunjukkan wajah-Nya di seberang gunung itu.

Sampai-sampai aku niati 6,5 jam menaiki tiga lapisan gunung itu untuk sekadar merasakan duduk di batu tempat Baginda Musa duduk berdialog dengan Tuhan di seberang anak gunung yang teksturnya bagaikan cairan raksasa karena ledakan tatkala Allah menampakkan wajah-Nya kepada Musa.

Kepada Baginda Musa aku nyeletuk: “Lanopo Sampeyan blakra’an tutuk mriki niki”. Dan kepada Tuhan aku memohon: “Wahai Yang Maha Mewariskan, berapa lama lagi Kau perkenankan ledakan itu?”. Kubayangkan Ia menjawab: “Amhilhum ruwaida”.

Yogya, 9 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/sesat-dan-ledakan/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak