Skip to main content

GOLDLIGHT DAN PELURU ASIMETRIS


Saya sedang memproses modulasi spektrum mata saya ngelihat Reklamasi dll itu dalam simulasi ilmu waktu “Pendekar Khidlir mencekik anak kecil”. Hasilnya kacau. Saya menuduh Negeri ini semakin lama semakin berkabut, padahal mata saya sendiri yang kabur karena usia makin renta. Dan sudah lama terlanjur mufarraqah.

Saya menuding Negara ini terbalik menentukan arah. Melihat apa-apa meleset identifikasi. Hancur disangka sukses. Bunuh diri disangka prestasi. Pohon disangka hantu. Hantu beneran disangka Polisi sembunyi di balik pohon. Kuwowo disangka manusia. Manusia disangka Malaikat. Malaikat disangka Iblis. Iblis disangka Tuhan. Tuhan disangka berhala. Pokoknya pathing blasur, wolo-wolo kuwato, japi-jopo mantra-montro setane banaspati demite sontoloyo…

Padahal, sekali lagi, mata saya sendiri yang rabun. Lucunya, karena saya rabun, maka banyak orang lantas ikut menjadi rabun dalam melihat saya. Mata publik yang rabun melihat saya itu membuat saya hampir tiap malam mereka suruh mengerjakan berbagai macam hal yang aslinya saya tidak mampu, tidak punya ekspertasi, tanpa sanad ilmu, tanpa nasab sejarah. Sehingga hanya 20-30% saya sempat berkeluarga dengan anak istri saya.

Lho malah saya dihubungi oleh sebuah kumpeni naga raksasa. Yang wilayah bisnisnya dari hulu sampai ke hilir: Pulp dan Kertas, Agribisnis dan Food, Jasa Keuangan, Developer dan Real Estate, Telekomunikasi, dan Energi dan Infrastruktur, termasuk Kesehatan dan Pendidikan. Pokoknya dari Sabang hingga Merauke, dari Dunia hingga Akhirat.

Sekitar 20-30 orang, owners-nya, pucuk-pucuk pimpinan dan para Komisarisnya mau berkumpul dan saya diminta “ngomongin tentang situasi nasional saat ini dan ke depan”. Coba. Bener-bener Negeri Kabut. Saya ini monyet lewat disangka Ketua RW. Dan tidak hanya sekali ini saya menjadi “monyet lewat”. Banyak peristiwa, keadaan, situasi konflik, kekacauan tatanan di berbagai level dan segmen: mereka minta tolong kepada “monyet lewat”.

Padahal rang-dil-krang-kèl-ci-ker-bung-ker haqqulyaqin ílmulyaqin ‘ainulyaqin ruhulyaqin saya nul-puthul gak-gablek gak-enthos tidak tahu apa-apa yang diperlukan oleh kumpulan manusia-manusia “gold light” itu tentang masalah nasional. Saya lari terbirit-birit sembunyi sampai ke pelosok dusun dekat hutan. Dan mungkin karena kelelahan, saya pingsan.

Ketika siuman, saya terbaring di sebuah rumah kumuh. Beberapa orang mengerubungi. Itu desa puluhan tahun sawah-sawahnya tiba-tiba menjadi milik Negara yang beralih tangan ke sebuah Universitas. Sisa tanah di desa mereka barusan didirikan perumahan atas nama warisan Raja kesekian. Kemudian mereka nekad merobohkan rumah-rumah itu.

Mereka rakyat kecil yang ketakutan pada hantu modal besar. Mereka ngeri pada pejabat, naga, raksasa. Mereka tiarap siang malam takut ketembus peluru-peluru Asimetris. Mereka gemetar kalau ingat Pemerintah, pejabat, para pembesar dan kaum pintar. Tetapi mereka yang menolong saya ketika pingsan.


Kadipiro, 24 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/goldlight-dan-peluru-asimetris/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu