Skip to main content

DI SELA-SELA HUJAN DERAS


Setiap aku menulis, kemudian menengok keluar jendela, selalu lantas kusadari bahwa yang kutulis ini kurang tepat, terhampar beribu pengetahuan hidup yang belum kuketahui. Tetapi kubiarkan tulisan ini menjadi catatan untuk momentumnya. Yang penting aku bahagia, karena Tuhan “mencampakkan”ku ke tengah “mereka”.
   
Siapa mereka? Ini juga bagian dari pengetahuan yang belum benar-benar kuketahui. Sehingga mustahil untuk memahamkanmu atau membawamu mengetahui mereka. Aku hanya menikmati bahwa aku bergembira, di tengah atmosfer zaman yang dipenuhi duka, kabut dan ketidakmenentuan.

Beberapa teman Abu Sittin (usia kepala-6) cemburu pada kegembiraan hidupku. Hampir tiap malam kumpul dengan ribuan orang sampai menjelang pagi. Seharusnya bersama tulisan ini disertakan ratusan atau ribuan foto-foto hamparan massa itu, terutama anak-anak muda “millennium” termasuk Ibu-Ibu Bapak-Bapak Nenek-Nenek Kakek-Kakek yang sumringah, bahagia, tertawa cekikikan dan cekakakan, garis-garis wajahnya plong, karena semakin merdeka dari Indonesia.

Duduk bersila di lapangan, tenang, tidak ingin kencing 5-7 jam. Anak-anak kecil sampai bayi juga ada di antara mereka tanpa terdengar tangis atau rewelnya. Badan sehat, hati mongkog, perasaan tenteram, pikiran jernih, mental kokoh, jiwa seimbang. Tak ada desak-desakan, rebut-rebutan, aman tanpa keamanan, tak ada niat buruk, saling toleran, senang mengalah, gembira memberi, ada tali-temali rahasia yang sangat kukuh kuat mengikat mereka di dalam kebersamaan.

Mereka di lapangan-lapangan, yang kemudian berhimpun dan menjaring perhubungan satu sama lain di wilayah masing-masing itu adalah manusia-manusia merdeka. Sedangkan teman-teman Abu Sittin mungkin belum merdeka dari Indonesia. Masih dirundung duka oleh Indonesia. Masih merasa direpotkan bahkan diporotin oleh Indonesia. Masih traumatik dan paranoid oleh cara berpikir Indonesia dan Negara. Mereka belum berlatih bagaimana “tidak terlalu basah kuyup berjalan di sela-sela hujan deras” Indonesia yang penuh kotoran dan najis.

Mereka masih berpikir punya kemungkinan untuk mengubah Indonesia. Bahkan masih menyangka bahwa Indonesia ingin berubah. 

Tapi ternyata saya salah. Teman-teman Abu Sittin mentertawakan saya dalam hal Indonesia: "In lam yakunillahu Godlibun 'alayya, fala ubali..."


Gresik, 22 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/di-sela-sela-hujan-deras/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu