Skip to main content

MELUDAHI WAJAH


Pemuda belia Ali bin Abi Thalib, berduel meladeni tantangan Amr bin Abd Wad AlAmiri, mewakili Pasukan masing-masing.

Pasukan apa? Jangan. Ini kisah tentang zaman di mana suatu bangsa bisa berperang besar di antara mereka karena mempertengkarkan satu kata. Misalnya: pribumi, radikal, kafir, makar, khilafah, dan lain-lain.

Cukup beberapa episode pertarungan kecanggihan bermain pedang, Amr tergeletak, ujung pedang Ali menyentuh lehernya, tinggal menancapkannya untuk membunuhnya dan membuat seluruh pasukannya menang.

Tiba-tiba dari posisi telentangnya Amr meludah ke wajah Ali, mengenai sebelah pipinya. Termangu beberapa saat, kemudian Ali menarik pedangnya, menyarungkannya. Tidak menggunakan kesempatan dan haknya untuk menusukkan pedangnya ke leher Amr.

Betapa terkejutnya semua yang menyaksikan, kedua pasukan maupun terutama Amr sendiri. Tatkala ditanya kenapa mengambil keputusan itu, Ali menjawab: "Aku terhina dan marah diludahi olehnya. Kutarik pedangku, karena aku kawatir membunuhnya karena amarah dan kebencian".

Bukankah itu perang, sehingga Ali berhak membunuhnya untuk memenangkan Pasukannya, dengan kebencian atau alasan apapun? Jangan. Ini kisah tentang zaman di mana suatu bangsa kehilangan pengetahuan dan keseimbangan untuk mengerti proporsi antara kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan dan kemuliaan.

Ini kisah tentang zaman ketika Anis bin Abi Thalib, dalam posisi ujung pedangnya menempel di leher lawannya, tetapi malah ia yang meludahi wajah lawannya yang telentang itu.

Sebenarnya ini soal momentum, yang menseyogyakan ketepatan ucapan atau tindakan. Kalau substansinya, mungkin ia punya sejarah pengalaman dan tumpukan pemikiran yang membuatnya layak bahkan merasa harus meludahi wajah lawannya. Hanya saja karena ia adalah pimpinan semua pasukan, mestinya dipertimbangkan kemungkinan lain formula tindakan dan pilihan ucapan yang lebih santun, bijaksana dan mengurangi wilayah pertengkaran.

Sesungguhnya Allah menciptakan wajah sebagai ekspresi keindahan dan harga diri kemanusiaan. Dan ludah sebagai alat untuk menikmati alam dan kehidupan. Tetapi ini adalah kisah tentang zaman di mana sebuah bangsa tak habis-habisnya bertengkar di antara mereka, karena semakin kehilangan kemampuan dan ilmu untuk merawat wajah dan menjaga lidah mereka.

Zaman di mana sebuah bangsa menjadi seakan kehilangan pengetahuan tentang bagaimana tidak merusak wajahnya, serta kehilangan kepekaan untuk meletakkan ludah pada ketepatan ruang dan waktunya.


Kadipiro, 18 Oktober 2017
Emha Ainun Nadjib
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/meludahi-wajah/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak