Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri untuk menindas.
Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak.
Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menghancurkan.
Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan.
Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan.
Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah.
Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancangan-rancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara.
Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri.
Saudara-saudara kita sendiri kita pentaskan di dalam bayangan kecurigaan kita.
Saudara-saudara kita sendiri kita beri peran fiktif di dalam assosiasi prasangka kita.
Di dalam pementasan fiktif di dalam kepala kita itu, saudara-saudara kita sendiri kita hardik, kita injak-injak, kita pukuli, kita bunuh dan akhirnya kita makan beramai-ramai.
Padahal yang kita peroleh dengan memakan bangkai itu bukan keuntungan, melainkan kesengsaraan batin dan tabungan dosa yang sama sekali tidak produktif.
Yang kita dapatkan dari memakan bangkai itu bukan sukses, melainkan penderitaan yang terus menerus di kedalaman hati kecil kita.
Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta, melain mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kedengkian dan iri hati.
Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak.
Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menghancurkan.
Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan.
Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan.
Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah.
Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancangan-rancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara.
Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri.
Saudara-saudara kita sendiri kita pentaskan di dalam bayangan kecurigaan kita.
Saudara-saudara kita sendiri kita beri peran fiktif di dalam assosiasi prasangka kita.
Di dalam pementasan fiktif di dalam kepala kita itu, saudara-saudara kita sendiri kita hardik, kita injak-injak, kita pukuli, kita bunuh dan akhirnya kita makan beramai-ramai.
Padahal yang kita peroleh dengan memakan bangkai itu bukan keuntungan, melainkan kesengsaraan batin dan tabungan dosa yang sama sekali tidak produktif.
Yang kita dapatkan dari memakan bangkai itu bukan sukses, melainkan penderitaan yang terus menerus di kedalaman hati kecil kita.
Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta, melain mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kedengkian dan iri hati.
Comments