Seri PadangBulan (85)
MATI KETAWA CARA REFOTNASI
Bagian 2
------------------------------------------------------------------------
Tak Nunggu Berkuasa untuk Tolong Menolong Sesama Rakyat
Rata-rata kegelisahan rakyat kecil yang kami temui itu berkisar pada beberapa hal prinsip dalam kehidupan bernegara mereka.
Pertama, kapan sembako bisa beres. Kedua, partai politik kok banyak sekali, kita pilih yang mana. Ketiga, siapa pemimpin yang bisa dipercaya.
Kapan sembako bisa 'Oye!'? Siapakah yang paling menanggung kewajiban untuk membereskan masalah ini? Pemerintahan Habibie? Tentu saja. Seberapa jauh kita semua yang lainnya tidak berkewajiban untuk ikut membereskannya?
Apakah kita harus bikin partai politik dulu, menang pemilu dulu, menjadi presiden dan menteri, serta berkuasa dulu baru menanggung kewajiban untuk mengatasi krisis?
Tentu saja saya harus menjawab: Sekarang juga, sekali lagi: sekarang juga, sebagai sesama rakyat kecil kita harus mulai dan terus saling tolong menolong. Berkuasa secara nasional itu penting, asalkan prinsipnya bukan kekuasaan, melainkan kepemimpinan.
Menjadi presiden atau menteri itu penting, asalkan ia hanya wasilah, hanya alat, dengan ghoyah atau tujuan menyelesaikan problem rakyat.
Begitulah doa kami mengenai kekuasaan, kepemimpinan, parpol-parpol, calon-calon presiden dan seterusnya.
Kita ini Boss, Kita ini Juragan. Kita Yang Mengupah Presiden. Adapun karena kami semua ini sekedar orang-orang kecil, maka bersama kelompok shalawatan itu yang kami bisa lakukan dengan sesama rakyat kecil yang kami datangi adalah dua hal:
Pertama, membangun kembali ukhuwah ummat, persatuan antar manusia dan kesatuan sesama warganegara Indonesia. Menumbuhkan kesadaran politik, kesadaran sebagai rakyat, sebagai subyek utama kehidupan bernegara, sebagai 'boss' di mana presiden dan aparat-aparatnya adalah pembantu rumah tangga kita, sebab kita yang mengupah mereka. Karena kita rakyat kecil ini adalah 'juragan', maka kita lebih tinggi dibanding presiden, lha wong DPR/MPR saja cuma wakil kita.
Pemerintah butuh rakyat untuk menjadi pemerintah, sementara rakyat tetap bisa hidup tanpa pemerintah. Entah berapa ribu kali kita ulang dialog-dialog massal seperti ini: "Lebih tinggi mana Pak Bupati atau rakyat?" "Lebih tinggi rakyat!!!" "Siapakah yang harus membungkukkan badan? Rakyat kepada bupati ataukah bupati kepada rakyat?" "Bupati kepada Rakyat!!!" "Apakah pemerintah menggaji rakyat?" "Rakyat menggaji pemerintah!!!" "Jadi siapa yang berkuasa?" "Rakyaaat!!!" .......
Kedua, menggali dan menerapkan berbagai cara dan formula pemberdayaan ekonomi pada level orang kecil, serta memperhitungkan dialektikanya dengan mekanisme perekonomian makro nasional dan global.
Jadi, di luar acara shalawatan dan pendidikan politik, kami menyelenggarakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat khusus yang bersifat teknis untuk masalah itu.
MATI KETAWA CARA REFOTNASI
Bagian 2
------------------------------------------------------------------------
Tak Nunggu Berkuasa untuk Tolong Menolong Sesama Rakyat
Rata-rata kegelisahan rakyat kecil yang kami temui itu berkisar pada beberapa hal prinsip dalam kehidupan bernegara mereka.
Pertama, kapan sembako bisa beres. Kedua, partai politik kok banyak sekali, kita pilih yang mana. Ketiga, siapa pemimpin yang bisa dipercaya.
Kapan sembako bisa 'Oye!'? Siapakah yang paling menanggung kewajiban untuk membereskan masalah ini? Pemerintahan Habibie? Tentu saja. Seberapa jauh kita semua yang lainnya tidak berkewajiban untuk ikut membereskannya?
Apakah kita harus bikin partai politik dulu, menang pemilu dulu, menjadi presiden dan menteri, serta berkuasa dulu baru menanggung kewajiban untuk mengatasi krisis?
Tentu saja saya harus menjawab: Sekarang juga, sekali lagi: sekarang juga, sebagai sesama rakyat kecil kita harus mulai dan terus saling tolong menolong. Berkuasa secara nasional itu penting, asalkan prinsipnya bukan kekuasaan, melainkan kepemimpinan.
Menjadi presiden atau menteri itu penting, asalkan ia hanya wasilah, hanya alat, dengan ghoyah atau tujuan menyelesaikan problem rakyat.
Begitulah doa kami mengenai kekuasaan, kepemimpinan, parpol-parpol, calon-calon presiden dan seterusnya.
Kita ini Boss, Kita ini Juragan. Kita Yang Mengupah Presiden. Adapun karena kami semua ini sekedar orang-orang kecil, maka bersama kelompok shalawatan itu yang kami bisa lakukan dengan sesama rakyat kecil yang kami datangi adalah dua hal:
Pertama, membangun kembali ukhuwah ummat, persatuan antar manusia dan kesatuan sesama warganegara Indonesia. Menumbuhkan kesadaran politik, kesadaran sebagai rakyat, sebagai subyek utama kehidupan bernegara, sebagai 'boss' di mana presiden dan aparat-aparatnya adalah pembantu rumah tangga kita, sebab kita yang mengupah mereka. Karena kita rakyat kecil ini adalah 'juragan', maka kita lebih tinggi dibanding presiden, lha wong DPR/MPR saja cuma wakil kita.
Pemerintah butuh rakyat untuk menjadi pemerintah, sementara rakyat tetap bisa hidup tanpa pemerintah. Entah berapa ribu kali kita ulang dialog-dialog massal seperti ini: "Lebih tinggi mana Pak Bupati atau rakyat?" "Lebih tinggi rakyat!!!" "Siapakah yang harus membungkukkan badan? Rakyat kepada bupati ataukah bupati kepada rakyat?" "Bupati kepada Rakyat!!!" "Apakah pemerintah menggaji rakyat?" "Rakyat menggaji pemerintah!!!" "Jadi siapa yang berkuasa?" "Rakyaaat!!!" .......
Kedua, menggali dan menerapkan berbagai cara dan formula pemberdayaan ekonomi pada level orang kecil, serta memperhitungkan dialektikanya dengan mekanisme perekonomian makro nasional dan global.
Jadi, di luar acara shalawatan dan pendidikan politik, kami menyelenggarakan pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat khusus yang bersifat teknis untuk masalah itu.
Comments