Seri PadangBulan (137)
------------------------------------------------------------------------
Di saat Jakarta rusuh, 6 orang tewas, puluhan mobil dan 6 gereja dibakar, dalam bentrok di Ketapang, Jakarta Pusat, ribuan masyarakat lainnya di Cilincing, Jakarta Utara, bersama Cak Nun dan tim Hamas --dalam waktu bersamaan, 22 Nov lalu-- bershalawat dan berdialog mencari ketentraman hati.
"Hari ini terjadi lagi kerusuhan, dan tidak ada yang sanggup menjamin bahwa kejadian seperti ini akan tidak terjadi lagi sewaktu-waktu", kata Cak Nun memulai dialog, "Setelah kerusuhan ini para pemimpin berkata hendaknya kita mulai membuat acara-acara yang menenteramkan dan menyejukkan. Sejak pertengah Mei 1998 kami berkeliling ke berbagai daerah, kota, desa, pulau-pulau untuk menenteramkan masyarakat. Kita berkumpul terkadang dengan 300an orang, terkadang 1000an orang, terkadang 5000an orang, terkadang 30.000an orang, bahkan pernah sampai 60.000an orang. Kita berkumpul bersama masyarakat, Ulama, pemimpin2 lokal, aparat militer dan kepolisian untuk merintis suatu komunikasi keindosiaan yang lebih kultural dan rasional. Kita tidak menunggu kerusuhan untuk menciptakan kedamaian. Tetapi acara-acara seperti yang kita lakukan ini tidak populer, tidak mampu menggugah media massa untuk menularkannya kepada masyarakat luas. Mereka lebih memilih yang memanaskan, mendorong iklim konflik dan kebencian..."
"Indonesia sedang benar-benar kacau", sambung Cak Nun dengan sekitar tiga ribu jamaah nelayan Jakarta Utara, "Tak ada yang akan mampu menolong. Habibie tak bisa menolong, Amien Rais tak akan bisa menolong, para tokoh tak akan bisa menolong. Yang mampu menolong hanyalah kesediaan kita semua untuk melakukan informasi internal. Dan kita memilih pedoman reformasi internal itu adalah acuan teologi dan akhlak Agama. Dengan kata lain: kita memohon syafaat Rasul. Kita minta pertolongan Imam kita, yaitu Rasulullah agar Allah tidak tega membiarkan Indonesia ini hancur lebur"
"Tidak ada jaminan kerusuhan hari ini , atau yang seperti kemarin akan berhenti. Jadi do'a ibu-ibu yang tampak menderita ini, insya Allah didengarkan Allah SWT,"tambah Emha yang hari itu berada diantara jamaah yang secara ekonomi sangat miskin. Daerahnya kumuh, keluguan tampak di wajah-wajah mereka.
Dialog dan shalawat sore hari itu pun gayeng dan menambah ketentraman hati masyarakat. Sebab, dialog yang mengedepankan "ketentraman hati" adalah sebuah "barang mewah" yang hari-hari ini sulit dicari. Yang sedang "laku keras" di dunia pasar global negeri ini adalah "caci maki", "hujat-menghujat" dan "tuding-menuding".
Sebuah realitas menunjukkan, kehausan akan dialog yang menentramkan, ternyata tidak hanya menjadi dambaan rakyat kecil. Terbukti dalam dialog dan shalawat di sebuah komplek elite di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, sehari setelah itu (23/11), hal yang sama juga mereka butuhkan."Kami betul-betul senang cak Nun bersedia datang ke sini, dialog dengan tentram adalah dambaan kami semua di saat negeri seperti ini,"papar Brigjen Nurhadi, mantan Kapuspen ABRI, yang juga pengurus Masjid Al-Muhajirin, Pondok Kelapa.
Jadilah dialog dan shalawat yang juga diikuti Letjen Pur.Arie Sudewo, serta jamaah yang sebagian besar kalangan pengusaha dan pejabat di Jakarta malam itu, menjadi sangat khusu'. Malahan, "paket" Ilir-ilir sebuah pesan Sunan Ampel yang malam itu juga didendangkan menjadi daya tarik, karena makna didalamnya cukup kental. (yus)
------------------------------------------------------------------------
Di saat Jakarta rusuh, 6 orang tewas, puluhan mobil dan 6 gereja dibakar, dalam bentrok di Ketapang, Jakarta Pusat, ribuan masyarakat lainnya di Cilincing, Jakarta Utara, bersama Cak Nun dan tim Hamas --dalam waktu bersamaan, 22 Nov lalu-- bershalawat dan berdialog mencari ketentraman hati.
"Hari ini terjadi lagi kerusuhan, dan tidak ada yang sanggup menjamin bahwa kejadian seperti ini akan tidak terjadi lagi sewaktu-waktu", kata Cak Nun memulai dialog, "Setelah kerusuhan ini para pemimpin berkata hendaknya kita mulai membuat acara-acara yang menenteramkan dan menyejukkan. Sejak pertengah Mei 1998 kami berkeliling ke berbagai daerah, kota, desa, pulau-pulau untuk menenteramkan masyarakat. Kita berkumpul terkadang dengan 300an orang, terkadang 1000an orang, terkadang 5000an orang, terkadang 30.000an orang, bahkan pernah sampai 60.000an orang. Kita berkumpul bersama masyarakat, Ulama, pemimpin2 lokal, aparat militer dan kepolisian untuk merintis suatu komunikasi keindosiaan yang lebih kultural dan rasional. Kita tidak menunggu kerusuhan untuk menciptakan kedamaian. Tetapi acara-acara seperti yang kita lakukan ini tidak populer, tidak mampu menggugah media massa untuk menularkannya kepada masyarakat luas. Mereka lebih memilih yang memanaskan, mendorong iklim konflik dan kebencian..."
"Indonesia sedang benar-benar kacau", sambung Cak Nun dengan sekitar tiga ribu jamaah nelayan Jakarta Utara, "Tak ada yang akan mampu menolong. Habibie tak bisa menolong, Amien Rais tak akan bisa menolong, para tokoh tak akan bisa menolong. Yang mampu menolong hanyalah kesediaan kita semua untuk melakukan informasi internal. Dan kita memilih pedoman reformasi internal itu adalah acuan teologi dan akhlak Agama. Dengan kata lain: kita memohon syafaat Rasul. Kita minta pertolongan Imam kita, yaitu Rasulullah agar Allah tidak tega membiarkan Indonesia ini hancur lebur"
"Tidak ada jaminan kerusuhan hari ini , atau yang seperti kemarin akan berhenti. Jadi do'a ibu-ibu yang tampak menderita ini, insya Allah didengarkan Allah SWT,"tambah Emha yang hari itu berada diantara jamaah yang secara ekonomi sangat miskin. Daerahnya kumuh, keluguan tampak di wajah-wajah mereka.
Dialog dan shalawat sore hari itu pun gayeng dan menambah ketentraman hati masyarakat. Sebab, dialog yang mengedepankan "ketentraman hati" adalah sebuah "barang mewah" yang hari-hari ini sulit dicari. Yang sedang "laku keras" di dunia pasar global negeri ini adalah "caci maki", "hujat-menghujat" dan "tuding-menuding".
Sebuah realitas menunjukkan, kehausan akan dialog yang menentramkan, ternyata tidak hanya menjadi dambaan rakyat kecil. Terbukti dalam dialog dan shalawat di sebuah komplek elite di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, sehari setelah itu (23/11), hal yang sama juga mereka butuhkan."Kami betul-betul senang cak Nun bersedia datang ke sini, dialog dengan tentram adalah dambaan kami semua di saat negeri seperti ini,"papar Brigjen Nurhadi, mantan Kapuspen ABRI, yang juga pengurus Masjid Al-Muhajirin, Pondok Kelapa.
Jadilah dialog dan shalawat yang juga diikuti Letjen Pur.Arie Sudewo, serta jamaah yang sebagian besar kalangan pengusaha dan pejabat di Jakarta malam itu, menjadi sangat khusu'. Malahan, "paket" Ilir-ilir sebuah pesan Sunan Ampel yang malam itu juga didendangkan menjadi daya tarik, karena makna didalamnya cukup kental. (yus)
Comments