Skip to main content

Tul Kok Jaenak (2) - Tahniah kepada Habaib Koeswoyo




Kalau Mick Jagger, Bob Dylan, Yon Koeswoyo, Woody Guthrie, Waljinah atau Ummi Kaltsum ikut Pop Singer Contest di manapun di seluruh belahan bumi, menjadi Juara Harapan III pun tak akan. Dunia dikuasai oleh orang pandai. Peradaban ummat manusia dikendalikan oleh ‘Parameter Akademis’.

Suara yang bagus itu begini, bernyanyi yang enak itu begitu, bermusik yang bermutu itu begono. Lima contoh legenda dunia dan Indonesia itu tidak memenuhi syarat untuk menang lomba nyanyi. Baik jenis dan warna suaranya maupun kemampuan menaklukkan nada, cengkok, vibrasi, sèlèh, ghoyah.

Karena mereka berlima adalah karakter. Adalah manusia. Adalah tajalli percikan keindahan Maha Pencipta mereka. Mereka bukan penyanyi. Bahkan mereka bukan bernyanyi atau menyanyikan. Mereka menjalani diri mereka, melakoni kehidupan mereka. Penyanyi mengatur-atur dirinya, mengga-gayakan nyanyiannya, membatasi diri, mengikat dan menjerat kedaulatannya.

Penyanyi tidak merdeka seperti Woody Guthrie, tidak “rimba raya” seperti Bob Dylan, tidak “kearifan lokal” seperti Waljinah, tidak “hati orang banyak” seperti Yon Koeswoyo. Ummi Kaltsum sedikit beda: ia bisa menang lomba nyanyi asal mau “mengalah”. Sebab lagu-lagu yang tersedia untuk manusia di dunia adalah panggung yang terlalu sempit bagi kiprah “dlouq”-nya.

90 persen Ummi Kalstum live recording, setiap lagu rata-rata satu jam, berdiri memegang sapu tangan, vokal dan energinya konstan, tanpa fals satu tel-pun. Ummi Kaltsum men-cakrawala, orkestra mengikuti jejak pengembaraan keindahannya, bukan musik membuntutinya. Musik berada di Ummi Kaltsum, bukan Ummi Kaltsum menjadi bagian dari musik.

Waljinah menerobos pagar aturan “akademis” musik: tembang “Walang Kèkèk”-nya bertengger di puncak tangga lagu-lagu pop nasional. Woody Guthrie yang “mencangkul” tanah sejarah untuk menanam benih “American Folk Revival” di pesawahan luas “Civil Right Movement” dan “Free Speech Movement”. Kemudian Bob Dylan kenapa dengan suara sengau itu jadi legendaris, ia menjawab “The answer, my Friend, is blowing in the Wind”. Dan Orkestra London hanya merumuskan Mick Jagger sebagai “The Magic”.

Yon Koeswoyo, “Abu Sab’in”, usia kepala tujuh hampir delapan puluh, membawakan 25 lagu tanpa jeda di panggung, tanpa minum. Suaranya tidak gagah, tidak hebat, tidak canggih, jauh dari setiap gagasan “kebesaran” kebudayaan modern. Yon bukan penyanyi yang menyuguhkan nyanyian untuk menghibur. Yon melagukan keindahan otentik yang sudah bersemayam di hati kebanyakan orang.

Koes, Bersaudara maupun Plus, tidak mempertandingkan diri, tetapi mereka “pilih tanding”. Mereka tidak membandingkan diri dengan siapapun lainnya, tetapi mereka tak terbandingkan. Karya mereka, terutama Mas Tony, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan. Semuanya enak, semuanya sedap, semuanya nyamleng, karena semua karya mereka adalah jiwa orisinal semua pendengarnya. Setiap orang yang baru mendengar lagu Koes Plus, merasa sudah pernah mengenal bahkan menghafalnya.

Dari Padepokan Koeswoyo disebar piweling, indzar atau warning kepada bangsa dan Negara Indonesia: “Tul jaenak jaijatul jaeji. Kuntul jare banyak ndoge bajul kari siji…”. Wahai bangsaku, terutama wahai orang-orang yang berani-beraninya memimpin bangsa besar. Kita ini bangsa Banyak atau Angsa yang indah. Yang datang itu bukan Banyak, tapi Kuntul. Tul jaenak, Kuntul kok katanya Banyak. Bahkan itu Kuntul samaran, aslinya mungkin Musang, Beruang atau Naga. Menyamar jadi Kuntul supaya legal kalau mencucuk dan menelan telur-telur. Hati-hati kamu sedang dirampok. Buaya-buaya ternakmu kini telurnya tinggal satu…

Jakarta, 6 Januari 2018

#Khasanah
https://www.caknun.com/2018/tul-kok-jaenak-2/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak