Skip to main content

Al-Fatihah Yok dan Dakwah Wali Nomo (10)



Cobalah dengarkan intro gitar Tonny Koeswoyo di lagu “Kasih Sayang”. Selidiki waktu kapan ia dikarang. Bandingkan dengan intro gitar “Stairway to Heaven” Led Zeppelin. Kita jangan terlalu rendah diri lah sebagai bangsa. Memang beda kasusnya dibanding lagu “Panon Hideung” dengan “Ochi Chernye”, “Cucak Rowo” dengan “She’ll Be Coming”, “Hotarubi no Mori e” dengan “Sayang”, atau “Sang Surya” dengan “A’thiny-Naya wa Ghanny”-nya Fairuz Lebanon. Bangsa Indonesia perlu mulai menghormati dirinya sendiri.

Sepeninggal Tonny, Yon dan Murry, hari ini kita masih punya Nomo dan Yok. Kalau Anda jumpa dan mengobrol dengan mereka, Anda harus telatèn mengenyam-ngenyam Indonesia serta merasakannya sampai ke lubuk hati. Indonesia, rakyatnya, tanah airnya, sangat memenuhi hati mereka.

Ketika ngopi bareng mereka, jangan tunggu Nomo atau Yok akan pernah bicara tentang diri mereka, tentang karier, Koes Bersaudara dan Koes Plus, jasa-jasa atau kehebatan mereka. Bahkan kalau Anda teliti, para Koes yang integritas batiniah mereka di hati ratusan juta rakyat benar-benar tak tertandingi oleh siapapun lainnya–sesudah mereka tinggal 60-an tahun di Metropolitan Jakarta Raya: tidak satu anasir pun dari ucapan mereka yang berubah dari dialek Tuban dan jiwa Jawa Timurnya. Mereka tetap anak-anak dusun Sendangharjo sampai ke Akhirat.

Sungguh beruntung mereka mau berkenalan dan bersaudara dengan saya. Sebab pada kehidupan mereka, Tuhan mempertunjukkan betapa Maha Kreatif, Maha Kaya dan Maha Aneh-nya Allah Swt itu. Sambil menguraikan kepada saya tentang “Sastro Gumelar”, bacaan alam semesta, wacana jagat raya, fil afaqi wa fi anfusikum–Mas Yok kasih saya rekaman lagu karyanya yang tak ada di Album Koes manapun. Suara Mas Yok sangat lembut, ia Bassist, tetapi di lagu itu ia bermain gitar efisien, minimalis, tidak berbunga-bunga dan berumbai-rumbai sebagaimana banyak musik yang mengindah-indahkan dan mencanggih-canggihkan diri.

Dengan nama Allah /Yang Maha Pengasih /Lagi dan Penyayang /Segala puji bagi Allah /Tuhan semesta alam 
Yang Maha Pengasih /Lagi Maha Penyayang /Yang menguasai  /Hari pembalasan
Hanya Engkaulah /Yang kami sembah /Dan hanya kepada Engkaulah /Kami mohon pertolongan
Tunjukilah kami /Jalan yang lurus /Jalan orang-orang /Yang telah Engkau beri nikmat /Bukan mereka yang dimurkai

Kerumunan orang-orang di sana sini berdebat tentang apa agama Yok, tanpa terlebih dahulu menyepakati pijakan metodologis dan analisisnya tentang apa yang mereka maksud dengan Agama. Mas Yok, yang dengan bergurau selalu saya gelari Begawan Koesyoko, tidak menjelaskan apapun kepada saya tentang dirinya. Ia hanya memberikan rekaman lagu “Al-Fatihah”-nya itu.

Lain lagi kakaknya, Begawan Koesnomo, Panembahan Pangurakan yang liar dan sangat energetik. KiaiKanjeng pertama mengiringi Mas Nomo di malam Ulang Tahun Kabupaten Tuban, yang setiap tahun meminta KiaiKanjeng. Ia hampir 80 tahun. Benar-benar tidak saya sangka ia masih berteriak melengking, melompat-lompat di seantero panggung, bahkan menerobos menemui bagian-bagian tertentu dari penonton.

Ning ngendi-ngendi wae /Kahanane koyo ngene /Kapan iki rampung /Podo njaluk benere dewe
Mbok iyo podo rumongso /Jamane wis rekoso /Akeh sing do nelongso /Mikir pimpinane bongso
Yen ngene terus /Kawulane ra keurus /Yo ndang elingo /Mengko kabeh do ngrasakno
Mbok ngertio kahanane koyo ngene /Ojo nganti lali ngendikane poro Wali /Eling lan waspodo kuwi kabeh piwelinge /Pro Pepunden Nuswantoro

Ke mana-mana pun pergi, keadaan sudah kayak gini. Kapan kekacauan ini akan selesai, setiap orang mau benarnya sendiri.
Kenapa tidak pada merasa, zaman sudah penuh sengsara. Rakyat sangat mendalam berduka, memprihatinkan para pemimpinnya.
Kalau begini terus, rakyat tak terurus. Ayo mulailah sadar dan ingat, agar senang hati rakyat.
Kenapa tidak mau mengakui, keadaan serusak ini. Kenapa kita lupa piweling para Wali, ingat d
an waspada, itu pesan para Pepunden Nusantara.

Di aliran darah semua Koes seolah terdapat butir fadhilah Mas Sahid, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Lokajaya alias Kanjeng Sunan Kalijaga, yang di dalam pengetahuan hati saya multi aktivitas beliau dilakukan sampai sesudah usia 100 tahun, kemudian dipanggil Allah pada usia 126 tahun. Wallahu a’lamu bishshawab.

Yogya, 14 Januari 2018

#Khasanah
https://www.caknun.com/2018/al-fatihah-yok-dan-dakwah-wali-nomo-10

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak