Skip to main content

Bilik Cinta “Kwangwung” - Selamat jalan Mas Darmanto Jatman



Apakah stroke itu sakit? Apakah ia penyakit? Apakah “disfungsi” sejumlah peralatan biologis manusia itu penyakit? Apakah mati itu tidak atau bukan kehidupan? Apalagi, apakah mati itu tragedi?
Anak bungsu saya pada usia 3 tahun berlari-lari riang gembira, lompat-lompat bersorak-sorak: “Horeeee Ibu meninggaaaaal! Horeeee…”

Tentu saja Ibunya kebingungan, juga para tamu yang sedang ditemuinya. Pada suatu peluang, si bungsu dipanggil, dirangkul, dipeluk dan ditanya: “Kok bilang begitu kenapa, Nak?”. Si bungsu menjawab: “Lho kalau Ibu meninggal kan bagus. Berarti ketemu Allah. Apakah ketemu Allah itu buruk?”

Manusia itu bikinan Allah. Disayang dan dicintai oleh Penciptanya itu. Disuruh hidup di bumi dengan perjanjian cinta: Allah mencintainya dan manusia diperjanjikan untuk juga mencintai-Nya.
Mencintai-Nya berarti mengarahkan hidupnya untuk kembali menyatu dengan-Nya. Menjadi apapun di dunia–seniman, petani, pejabat, pengusaha, atau apapun–sama saja: mengelola seluruh faktor dalam hidupnya agar tiba kembali dan diterima di rumah-Nya.

Tuhan menyuruh seorang Utusan-Nya agar menyampaikan kepada Ummat manusia: “Kalau memang kalian mencintai Allah, ikutilah jejakku untuk menyatu kembali dengan-Nya”. Nanti bersama Allah, manusia hidup abadi. Selamanya. Bahkan di rentang dua keabadian.

Tatkala manusia masih hidup di dunia, namun tidak bisa lagi melakukan komunikasi budaya dengan manusia lainnya–misalnya karena stroke: apakah itu penyakit, apakah itu berarti Tuhan sedang menyiksanya? Bagaimana kalau ternyata Allah menunjukkan cinta-Nya kepada hamba tertentu yang dipilih-Nya?

Si manusia pilihan itu dipagari dari kemungkinan-kemungkinan untuk berbuat buruk. Ia dimerdekakan sampai batas tertentu untuk terlibat dalam “hawa buruk” kemanusiaan, kebudayaan, terutama politik yang semakin busuk. Ia dikurung oleh Allah di “bilik cinta”-Nya. Ia dimonopoli oleh kekasih-Nya.

Sebelas tahun Mas Darmanto mengalami stroke. Artinya Allah tidak memberi kesempatan kepada siapapun kecuali keluarga setianya untuk memperoleh cinta mas Darmanto. Sebab di luar itu, keadaan lingkungan sedang dipenuhi pengkhianatan, kemunafikan dan tipu daya.

Mas Darmanto sangat susah mengucapkan kata, tetapi tetap berkomunikasi dengan pandangan mata beliau. Itu menurut pandangan kita. Tetapi bukan demikian yang sesungguhnya dialami oleh Mas Dar. Ia sudah mengalami transformasi ke habitat yang baru yang lebih penuh kemurnian dan ketulusan. Ia bercengkerama, bercanda, bermesraan dengan sahabat-sahabat yang lebih sejati, yang kita belum bisa mengalami dan merasakannya karena masih tenggelam di alam kepalsuan.

Di pandangan mata kita, Allah menyisakan kenangan yang indah-indah dan baik-baik pada diri Mas Dar, sehingga beliau dalam kondisi stroke itu tampak selalu bergembira, banyak tersenyum dengan sesekali menangis haru dan bahagia.

Dulu Beliau adalah penyair yang spesifik dan khas karya-karyanya, beberapa puisinya dibawakan dengan bentuk Musik-Puisi oleh saya dan Musik Dinasti yang merupakan kepeloporan bentuk pemanggungan puisi. Yang paling terkenal di era itu adalah Musik-puisi “Main Cinta Model Kwangwung”. Mungkin “Dunia Kwangwung” itu yang sedang dimasuki oleh Mas Dar.

Andaikan ternyata kelak saya lulus masuk sorga, dan mendapat jatah rumah tidak terlalu kecil, dengan halaman depan dan samping yang cukup luas, serta kebun buah di belakang rumah: insyaallah akan saya bangun Paviliun di sisi kanan rumah saya untuk Mas Darmanto Jatman.

Itu bukan karena saya seorang pemurah dan senang bersedekah, melainkan karena selama kost di Bumi, sampai Mas Dar ditimbali oleh Maha Pencipta dan Pengasuhnya: utang saya kepada Mas Dar belum saya lunasi. Di tahun-tahun terakhir kehidupan beliau yang “dimonopoli oleh Allah”, saya nyicil bayar utang dengan hanya memeluk-meluk beliau dan menciumi pipi beliau.

Sebab lain kenapa utang kepada beliau tak kunjung mampu saya lunasi adalah karena beliau lebih kaya dari saya terutama secara rohaniah. Beliau adalah kakak yang selalu tersenyum wajahnya sepanjang saya mengenal beliau sejak tahun 1969. Andaikan saya bisa melukis, yang saya torehkan di kanvas adalah senyuman itu sendiri: seluruh wajah dan kehidupan Mas Dar adalah senyuman. Tidak akan sanggup saya melukis wajah beliau, apalagi karakter dan kehidupan beliau. Saya hanya bisa menggoreskan senyuman.

Dengan senyuman itu pula beliau menerima saya pada suatu siang tahun 1972, membukakan pintu rumah beliau di kawasan Tamansiswa Yogyakarta. Beliau memapah dan menuntun saya ke tempat tidur dan saya terbaring lunglai. Badan saya sangat panas, demam tinggi, kepala seperti dihimpit dua gunung, lidah tidak bisa menikmati rasa apapun, seluruh hidup saya greges-greges, kehilangan alat-alat untuk menikmati betapa indah dan nyaman sesungguhnya Allah menghamparkan rahmat-Nya.

Tidak mungkin tubuh terbengkalai itu saya baringkan di trotoar Malioboro, tempat tinggal saya selama 1970-1975. Mas Dar menyiapkan ranjang untuk adiknya yang malang itu. Saya tidak mengutuk atau membenci kemiskinan, tetapi saya, juga kebanyakan teman-teman penyair dan sastrawan Yogya, memang sungguh-sungguh miskin. Miskin dalam arti yang sementah-mentahnya maupun sematang-matangnya. Kemiskinan bukan simbol, bukan retorika, bukan konotasi. Juga tidak pakai dramatisasi dan romantisisasi. Miskin dalam arti belum tentu makan ketika hari ditempuh, hari yang kemarin, yang sekarang, atau apalagi yang besok: yang sama sekali tidak pernah ada di dalam ingatan atau kesadaran.

Kami para pembelajar puisi dan sastra di paruh pertama 1970an itu disayang Tuhan dengan bisa mencapai Peradaban Sandang. Kami lalu lalang di sepanjang Malioboro dengan berpakaian. Kami pakai celana, berbaju, minimal pakai kaos. Linus Suryadi AG sahabat karib saya dan adik kesayangan Mas Dar, bahkan cèkèran, tak pakai sendal. Saya masih agak lumayan kelas sosialnya dibanding saudara saya asal Kadisobo itu. Tetapi hanya sampai Peradaban Sandang taraf pencapaian kami. Adapun Peradaban Pangan, itu adalah spekulasi, harapan dan doa setiap saat. Sedangkan Peradaban Papan, itu utopia, itu khayalan yang sombong, itu “Waiting for Godot”.

Di kelas terbawah dari strata sosial itu, seperti itu, kalau sakit, tidak bisa romantis “rumahku adalah Bumi, atapku adalah Langit”. Setiap punggung dibaringkan di Malioboro, ternyata lantai trotoar adalah neraka salju. Setiap angin menerpa, ia menjelma pisau, menikam-nikam tubuhku, memperhinakan eksistensiku. Maka ketika itu malaikat yang nyata ada tiga: Mas Darmanto Jatman, Mas Bambang Soebendo, wartawan senior “Sinar Harapan”, serta Soewarno Pragolapati, senior kami di “Persada Studi Klub” Malioboro. Mereka bertiga bergiliran menampung pengungsi asal Jombang yang terbengkalai nasibnya di Malioboro.

Lho kemana Presidennya? Di mana Umbu Landu Paranggi? Kenapa bukan Presiden Malioboro itu yang menampung para pengungsi? Wahai, kalau angin menyapu wajahmu tapi tanpa kelihatan wujudnya: Umbu lebih tak kelihatan dibanding angin. Kalau setiap makhluk meng-ada dengan memerlukan ruang dan waktu: Umbu sudah lama dicari-cari oleh ruang dan waktu dan belum pernah ketemu. Kenapa Umbu tidak menampung anak-anaknya yang miskin, yang tak berumah, tak pasti makan, yang profesinya adalah kelaparan dan ideologinya adalah kesepian? Hahahaha, Umbu lebih lapar dan lebih sepi dibanding kelaparan dan kesepian itu sendiri.

Dan Mas Darmanto tidak pernah turut menjelaskan siapa dan bagaimana Umbu itu sebenarnya–kecuali dengan senyumannya. Mas Dar selalu mengamati kami sudah makan atau belum, kemudian beliau menyeret kami ke warung. Umbu melatihkan puisi-puisi kami dalam tirakat “Kehidupan Puisi”, mas Dar diam-diam menyumbang pematangan proses kreatif puisi kami dengan mengundang kami ke UNDIP. Di suatu bangunan entah bagian mana dari UNDIP. Kami dikumpulkan berempat: dari Yogya Linus dan saya, dari Jakarta Yudhistira Adhi Nugraha dan Adri Darmaji. Kami digembleng oleh Begawan Puisi sahabatnya Mas Dar, yakni penyair kelas utama Indonésia: Sapardi Djoko Damono.

Di antara para senior penyair ketika itu, Mas Dar termasuk di antara sangat sedikit yang “terpelajar”. Mas Dar adalah ilmuwan sosial, yang ilmunya lebih hidup dan “berdarah” karena pengalaman sastra dan seninya, serta yang lebih tegas tekstur dan perwajahan puisinya karena dimensi keilmuan beliau. Di Keraton Ilmu UNDIP, beliau Senior, Sesepuh, Begawan, Panembahan, Jimat. Maka UNDIP yang nyengkuyung pemakaman beliau, bukan masyarakat sastra atau apalagi gèng penyair. Sebab menurut Rendra salah satu penyair terbesar Indonesia, penyair “berumah di angin”. Dan jangan sekali-sekali punya gagasan untuk memadamkan mas Dar di angin.

Selamat jalan duluan Mas Dar. Kami semua sedang antre, meskipun tidak tahu urutannya. Mas Darmanto Jatman sudah memasuki Semester berikut, kami uthak-uthek gludag-gludeg, keserimpat-keserimpet di Semester awal yang semakin keruh dan kumuh.

Mohon sampaikan salam kami semua ke Pak Umar Kayam, mas Willy Rendra, semua, juga Mbah Chairil Anwar. “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Kami di sini semakin tidak berarti, padahal senja makin meremang, Malaikat Izroil berkelebat-kelebat keluar masuk semak-semak. Pendekar Bayangan mengendap-endap di antara tidur dan jaga.

Yogya, 14 Januari 2018

#Khasanah
https://www.caknun.com/2018/bilik-cinta-kwangwung

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak