Skip to main content

Jangan Tanya di mana Cinta (7)




Guru Bangsa bukanlah tokoh yang mengajari bangsanya. Guru Bangsa adalah orang yang fakta hidupnya, bukti perjuangannya, cinta dan komitmennya, kesetiaan dan keluhuran budinya—jangan sampai tak dipelajari oleh bangsanya.

Jari-jari saya terus menunda menuliskan Skenario Dua pemenjaraan Koes Bersaudara. Tampaknya ia solider kepada hatinya. Emang siapa dan warga kelas sosial mana yang di Zaman Now ini mau benar-benar belajar kepada orang-orang yang mereka sungguh-sungguh butuh belajar kepada mereka demi masa depannya? Memang siapa yang bangsa Indonesia, pemerintahnya, tokoh-tokohnya, stakeholdersnya merasa perlu mempelajarinya?

Kenalkah Indonesia kepada Syaikhona Kholil? Haji Ijay? Rendra? Cak Nurcholish Madjid? Tonny dan Yon Koeswoyo? Apalagi Markeso dan Sujud? Dulu Presiden SBY tampil di konferensi pers untuk berduka meninggalnya Mbah Surip, tapi tidak ketika Rendra wafat. Bahkan kepada Mbah Surip, meteor yang dipujanya pun Indonesia tidak belajar dan mempelajari. Kelak kita akan menjadi bangsa penyembah berhala demi berhala yang kita bikin sendiri. Kemudian kita bukan sekadar akan tertipu oleh berhala-berhala itu. Bahkan para berhala akan menyatakan bahwa mereka tidak sudi kita sembah.

Bahkan rakyat Mesir belajar kepada Indonesia dan Bung Karno adalah pahlawan mereka. Mangga unggul sedunia dari Probolinggo yang Bung Karno menghadiahkannya kepada Gamal Abdel Nasser diindustrikan dan menjadi kenikmatan primer rakyat Mesir. Banyak rakyat Mesir menyebutnya “Mangga Sukarno”. Pak Harto lengser sepulang dari kunjungan ke Mesir. Kesebelasan Mesir gagal masuk Piala Dunia gara-gara skor pertandingan terakhir “Wahid-Wahid”. 1-1. Andaikan “Wahid-Shifr”, 1-0, Mesir lolos. Mosok Abdurrahman pakai dua Wahid.

Di awal tulisan tentang Koes saya menyebut legenda agung Mesir Ibu Ummi Kaltsum. Beliau Guru Bangsa, yang bukan mengajari, tapi dipelajari. Bagaimana jelasnya? Bagaimana juntrungan sejarahnya?

Sebagaimana momentum NKRI 1963-1965 yang kita harus bertengkar untuk mempelajarinya, dulu setelah rakyat Mesir sangat menderita dan sangat tertekan oleh kekalahan 1967 di sepatu lars Israel. Pengganti Gamal Abdel Nasser yakni Presiden Jenderal Anwar Al-Sadat—berhasil diam-diam membangun kepercayaan diri bangsa Mesir, menyiapkan kekuatan militer dengan seluruh maintenance dan perangkat-perangkat strategi dan intelijennya. Sampai pada tingkat pasti menang dan tinggal “telan” Israel.

Sadat sudah tanam sekian intelijen di Java Tel Aviv maupun Jerussalem, menyamar jadi perawat, pedagang pasar, guru—bahkan aktivis Synagogue. Tidak perlu kita simpulkan bahwa Sadat belajar dari Skenario Satu pemenjaraan Koes dan rancana penyelundupan mereka ke Malaysia. Tetapi sebagaimana mandeknya Skenario Satu Koes, skenario Anwar Sadat juga mogol di tengah jalan. Amerika tahu Sadat akan menelan Israel. Celaka kalau sampai Israel KO-ed.

Maka Uni Sovyèt, yang berpihak pada Mesir, ditelepon. Negosiasi dilakukan:  “Kita tata ulang deh, kita perbarui sejumlah pasal perjanjian perdamaian…“. Sovyèt telepon Anwar Sadat, minta tunda serangan ke Israel. Sadat husnudhdhon, demi masa depan dunia yang lebih damai.  Sadat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk meletakkan senjata.

Ketika paginya ribuan prajurit di garis depan itu berjamaah shalat Subuh, pasukan Israel datang menyerbu, menembaki dan membunuh semua prajurit Anwar Sadat. Beberapa waktu kemudian, pada 6 Oktober 1981, Sadat ditembak oleh salah seorang prajurit yang jiwanya kesakitan oleh pengkhianatan Israel dan sangka baik (yang pada peristiwa itu menjadi kesemberonoan) Sadat membuka peluang itu.

Ummi Kaltsum meratap: “Kekasih, jangan tanya di mana cinta. Ia telah menjadi reruntuhan. Ia adalah kenangan yang menikam. Tuangkan minuman duka itu, mari kita minum puing-puingnya. Berkisahlah kepadaku selama airmataku masih bisa meleleh…

Koes Plus tidak mendayu-dayu. Tidak meratapi nasibnya. Tidak melantunkan amarah kepada kekonyolan Negerinya. Mereka bermain gitar di pinggir jalan, bersandar “buk”: “Buat apa susah. Buat apa susah. Lebih baik kita bergembira…”. Koes dan rakyat Indonesia sanggup mengubah susah jadi gembira tanpa alat, tanpa argumentasi, tanpa prosedur dan tanpa biaya.

Andaikan Ummi Kaltsum masih hidup tatkala Mesir disapu badai “Arab Spring” sesudah Afghanistan Irak Lybia Syria (yang lain-lain sudah “diperistri”) sehingga menjadi “bukan Mesir” lagi sekarang—betapa akan lebih menikam jantung ratap suaranya. Berbeda dengan Indonesia, meskipun sedang kena giliran badai yang sama pasca “Arab Spring”: bangsa Indonesia tetap cengèngas-cengèngès seperti tidak ada apa-apa. Malah telentang manis dan mohon “diperkosa”.

Yogya, 11 Januari 2018

#Khasanah
https://www.caknun.com/2018/jangan-tanya-di-mana-cinta-7

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak