Skip to main content

Kupijiti Kaki-Mu (Daur-II • 287)

“Bagaimana kalau kita rekreasi sejenak. Sekarang kita santai omong tentang kambing saja, anak-anak”, akhirnya Pakde Brakodin ambil inisiatif. Semua menoleh kepadanya dan tentu saja belum paham.
“Omong tentang kambing bagaimana maksudnya, Pakde…”, tanya Seger.

“Ya tentang kambing. Kembali ke yang ringan-ringan saja, yang sesuai dengan level ilmu kita”, jawab Pakde Brakodin.

“Maksud Pakde, kalau ngomongin keadaan manusia, masyarakat, ummat, Negara, Pemerintah, kebudayaan, peradaban dan yang begitu-begitu itu bukan level kita?”

“Menurut kamu apa tidak demikian? Kita sering berbincang tentang itu semua hanya karena cinta, bukan ilmu. Kalau secara ilmu, kita semua ini hampir 100 persen tidak memenuhi syarat. Kami orang-orang tua ini rata-rata mogol Sekolah, nyantri juga setengah-setengah. Kalau kalian mungkin agak lebih pantas karena dibesarkan di era modern. Sedangkan Pakde-Pakde ini pengalaman utamanya hanya menggembalakan kambing…”

Seger akan membantah lagi, tapi pundaknya digamit oleh Junit, yang kemudian merespons Pakde Brakodin.
“Baiklah Pakde, kita ngobrol tentang kambing”, katanya, “tapi kenapa kambing? Ada apa dengan kambing?”

“Kita ibaratkan saja ummat manusia ini kambing”, jawab Pakde Brakodin, “rata-rata para Nabi dulu oleh Tuhan disuruh menggembalakan kambing. Kasus penyembelihan Ismail oleh Ibrahim berujung di kambing.

Makanan kesukaan Nabi Muhammad juga kaki kambing bagian kanan depan. Nabi Musa pernah ditegur oleh Malaikat Jibril gara-gara bersikap sok pintar kepada seorang anak penggembala kambing…”
Seger memotong: “Sejarah diturunkannya Agama ternyata diperangkati tidak hanya dengan firman dan uswatun hasanah perilaku para Nabi, tapi juga oleh kambing…”

“Ada anak kecil menggembalakan kambing di pebukitan. Ia duduk setengah berbaring di atas sebuah batu. Kemudian ia bergumam-gumam sendiri: “Wahai Tuhan, terimalah aku menjadi jongos-Mu. Kalau Engkau lelah, kupijiti kaki-Mu. Kalau Engkau haus, kumasakkan air. Kalau engkau tidur, kujaga dari nyamuk-nyamuk…”

Nabi Musa yang pas lewat dan mendengar itu, langsung menegur anak itu: “He, jangan lebay. Menjadi hamba Allah itu peran terbaik dalam kehidupan. Tetapi tidak lantas menganggap Tuhan bisa kecapekan kakinya, merasa haus dan perlu tidur nyenyak”

Belum selesai kalimat Nabi Musa, mendadak datang Malaikat Jibril dan mengkritiknya dengan keras: “Musa, biarkan setiap hamba Allah memproses pendekatannya kepada Allah dengan cara, kadar dan tahapnya masing-masing”

Andaikan Jibril adalah manusia, mungkin tegurannya lebih vulgar: “Jangan mentang-mentang kamu Nabi, lantas merasa lebih dekat kepada Allah dibanding penggembala kambing. Jangan sok alim. Jangan GR merasa paling move-on ilallah…

Tiba-tiba terdengar Jitul tertawa agak panjang. “Apakah itu berarti Pakde bertiga barusan ditegur oleh Malaikat Jibril?”, katanya.

“Maksudmu, Tul?”

“Toling adalah anak kecil penggembala kambing, menikmati kedekatannya dengan Tuhan, lantas para Pakde menegur, dan malah ditegur balik oleh Malaikat Jibril”

Pakde Brakodin ikut tertawa. “Terbalik”, katanya, “Justru Toling mewakili Malaikat Jibril. Seharusnya ketika itu Nabi Musa menjalankan perintah Allah: ‘Idzhab ila Fir’auna innahu thagha’. [1] (Thaha: 24) Pergi datangilah Fir’aun, sesungguhnya ia melampaui batas. Lha kok Nabi Musa malah jalan-jalan ke gunung…”.

Jakarta, 1 Desember 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah...

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN ...

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s...