Skip to main content

Do (Daur-II • 290)

“Kalian harus mundur beberapa langkah. Kalian sedang terseret memasuki alam gaib yang luar biasa berkabut. Kalian perlu menarik seribu nafas panjang. Keluar hawa dengan kesadaran La Ilaha dan masuk udara dengan kekhusyukan Illallah. Kalian sangat mencintai Negeri di mana kalian lahir dan dibesarkan, tetapi kalian tidak semakin paham kepada Negara yang sedang kalian alami…”

Mbah Shoimun nongol menyampaikan pesan Mbah Markesot terutama kepada anak-anak muda di lingkaran para Pakde Paklik, yakni sahabat-sahabat Markesot sendiri.

“Negara kalian didirikan oleh anak-anak didik para penjajahnya”, Mbah Saimon meneruskan, “Maka muatan-muatan pemikiran, filosofi, landasan dan spektrum nilai-nilainya juga ditransfer dari pandangan hidup para kolonial yang mereka warisi. Bangunan sejarah yang kini sedang kalian alami adalah hasil dari pandangan hidup semacam itu. Kalian banyak dibikin bingung oleh itu semua, sehingga seringkali kalian terlempar ke wilayah-wilayah yang disebut radikal, dan itu membuat pendapat dan ekspresi kalian dikategorikan sebagai intoleran…”

Terus terang anak-anak itu karena kental berada di alam pikiran para Pakde Paklik, tidak heran atau kaget oleh jenis dan wilayah aspirasi Mbah Markesot. Tetapi tidak berarti apa yang disampaikan oleh Saimon itu bisa serta merta dipercaya sebagai pesan otentik Mbah Sot. Terutama pesan tentang “Negara kalian didirikan oleh anak-anak didik para penjajahnya”, secara ide itu tidak terlalu radikal, tetapi apakah budaya santun Markesot memungkinkan ia mengeluarkan kesimpulan sekeras itu.

Akan tetapi bahkan ada pesan Mbah Sot yang lebih keras: “Kalau kalian naik ke angkasa, melihat bumi dari suatu ketinggian: tampak ada suatu area di tanah air kalian yang bisa dikatakan semacam small black hole, lubang hitam kecil. Bukan black hole di pusat jagat raya yang menyerap apa saja ke lubuk kegelapannya. Ini lubang hitam kecil yang terletak di antara dua Kutub bumi, dekat garis Khatulistiwa, di wilayah Nusantara. Area itu merupakan Laboratorium Perusakan. Semacam Mesin Penghancur. Siapa saja dan apa saja yang memasukinya, berubah menjadi potensi penggelapan, perusakan dan penghancuran…”

Anak-anak semakin ragu apakah benar Mbah Sot berpesan demikian.
“Tetapi kalau kalian melihatnya dari koordinat yang lain, kalian mungkin akan melihat garis atau sambungan guratan-guratan di alur waktu. Rentangan dari Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, juga alur Ismail, Ilyasa`, Zulkifli. Yang pertama deretan orang-orang yang ditokohkan oleh Allah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Alur kedua urutan orang-orang yang terbaik sehingga menjadi pilihan-pilihan yang terbaik pula”. [1]  (Shad: 45-48)

“Saya tidak punya hak apapun untuk turut menentukan keputusan-keputusan dalam hidup kalian”, demikian bagian akhir pesan Mbah Sot, “tetapi saya melihat ada dua pilihan di depan kalian. Pertama, menjauhlah dari Tarmihim, Brakodin, Sundusin dan semua handai tolannya, keluarlah ke medan kehidupan nyata. Bergabunglah di barisan Ibrahim melalui jalur Ya’qub atau jalur Ismail. Nikmatilah kemajuan zaman, kejayaan hidup dan kemegahan peradaban yang sedang gencar-gencarnya dibangun”.

“Atau, pilihan kedua, kalau kalian tidak sanggup memahami bahwa gelombang zaman yang sedang bergulung-gulung ini yang disebut kemajuan dan kejayaan — maka kosongkan diri kalian dari nafsu untuk membenarkan atau menyalahkan. Menyingkirlah dari arus besar yang sudah sangat mantap dengan apa yang dilakukannya. Gelombang pembangunan yang sudah khatam ilmunya. Sudah sempurna keputusan langkahnya ke masa depan, sehingga tidak tersisa apapun yang perlu dipertanyakan, dihitung ulang atau dimuhasabahi kembali.

Menyingkirlah kalian ke wilayah kesunyian, bercocok tanam dan belajarlah kembali mulai dari Do. Kalau kalian tidak lulus mata pelajaran Do, maka kalian tushibu qouman bijahalah. Menimpakan kebodohan kepada bangsamu sendiri. Kemudian fatushbihu ‘ala ma fa’altum nadimin. Kalian besok akan menyesali perbuatan dan keputusan-keputusan kalian…”. [2] (Al-Hujurat: 6)
“Do?”, anak-anak itu berpandangan satu sama lain.

Bangkok, 4 Desember 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu