Skip to main content

Duduk di Balkon Zaman (Daur-II • 299)

Kalau Markesot dibantah, “Apa manfaat semua yang Mbah Sot omongkan selama ini? Apa manusia yang hidup di dunia ini perlu memahami apa yang Mbah uraikan itu?”

Markesot menjawab: “Apa ada sesuatu hal yang manusia sungguh-sungguh berusaha memahaminya? Kecuali hal-hal yang ia, pribadi atau golongannya, berkepentingan? Dan kepentingannya adalah kerendahan materialisme dunia?”

“Maksud Cak Sot?”

“Misalnya kalau orang bertengkar seolah-olah temanya SARA. Coba kalian teliti kembali apa yang sebenarnya dimaksud. Ukur kembali semua komponennya, dengan kejernihan nalar, disiplin logika, pemetaan sosial dengan landasan ilmu yang sejujur-jujurnya dan setepat-tepatnya.

Apa parameter Suku, temukan gradasi, distorsi dan berbagai relativitas faktualnya. Ras? Wa ma adroka ma Ras?
Agama? Apa definisi Agama? Orang mempertengkarkan satu kata yang pemahaman mereka atas satu kata itu saling berbeda, bahkan saling bertentangan. Apalagi Antar-Golongan: Haihata! Anwa’ wa asykal! Klithih? Geng Motor? Korak? Gali? Gentho? Dauri? Butokempung? Tikyan? Bonek?”

“Pelan-pelan, Cak Sot…”

“Belum lagi Islam, Jihad, Khilafah, Bid’ah, Kafir, Liberal, Radikalis, Intoleran, Tasammuh, Tawashshut, Rahmatan Lil’alamin, Makar, Thoghut, Hijrah… What are you actually going to say? Mutiara-mutiara, berlian-berlian, emas permata, menjadi sampah dan bongkahan batu-batu tajam begitu muncul dari mulut manusia…”

“Kalau memang semua itu ruwet seperti benang kusut, kenapa Cak Sot menambah keruwetan itu dengan ratusan analisis, ribuan kalimat dan jutaan kata? Yang sebegitu njelimet, panjang lebar, tak habis-habis, nyerocos tiada henti….”

“Keruwetan apa yang aku mampu menambahkan pada keadaan? Apakah aku ada di tengah mereka? Apakah aku ada di antara mereka? Apakah aku ada bagi mereka? Kapan aku pernah berkata apapun kepada mereka?”

“704 bab yang kita gemeremangkan di bilik kecil ini selama setahun terakhir, tak satu kata pun yang kita maksudkan untuk ummat manusia atau bangsa Indonesia. Semua yang kita lakukan ini sekadar meneliti dan mencari kunci rahasia, yang mereka semua tak memerlukannya”.

“Apa maksudnya wa ma adroka?”

“Tanya kepada ribuan Ustadz yang bertaburan seperti hujan badai”

Haihata?”

“Ustadz yang Wahabi Takfiry maupun yang Kitab Kuning semua tahu itu”

Anwa’ wa Asykal?”

“Itu halaman kedua Muthola’ah Madrasah Ibtidaiyah”

“Dauri?”

“Banyak Sosiolog mengerti itu”

“Tikyan? Butokempung?”

“Kalau mau cespleng tanya Ke Menko Bidang Koordinasi Kebudayaan”

Kemudian Markesot membengkakkan keruwetannya: “Syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka yang menghalangi mereka dari jalan Allah, sehingga mereka tidak dapat petunjuk[1] (An-Naml: 24). Informasi Tuhan ini, kata Markesot, sejauh yang saya alami hampir 70 tahun bergaul dengan An-Nas yang tidak meng-Insan tetapi malah mem-Basyar: kalaupun tidak ditertawakan, manusia Zaman Now tidak benar-benar mereka percaya.”

“Tengok kiri kanan”, kata Markesot, “pandang gedung-gedung tinggi kemajuan manusia, rasakan lalulintas riuh rendah pasar besar di balik pasar-pasar kasat mata, hirup bau dari hawa nafsu kaum politisi pedagang: yang paling tercium adalah kenyataan terus-menerus betapa Tuhan diremehkan.

Kita tidak punya persoalan dengan itu semua. Itu masalah mereka dengan Tuhan. Kita siap siaga dengan segala peralatan, tetapi kita duduk di balkon zaman menatap alur waktu hingga 2019, 2024 dan seterusnya”.

Probolinggo, 13 Desember 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu