Skip to main content

Do = Raja Kambing (Daur-II • 295)

“Rasa-rasanya kok urusan Do ini malah bikin njelimet keadaan”, kata Jitul tiba-tiba.
“Lho saya hanya menyampaikan pesan Mbah Sot kepada kalian”, jawab Pakde Tarmihim.

Terdengar suara tertawa Sundusin. “Saya sudah hapal gayanya Markesot”, katanya, “dulu banyak orang minta tolong untuk menyelesaikan masalah. Tapi maunya Markesot disuruh atau diharapkan menjawab sesuai dengan solusi yang orang itu maksudkan, bukannya membuka diri untuk model penyelesaian dari Markesot.

Jadi orang itu sebenarnya hanya tidak berani mengambil keputusan dengan dirinya sendiri. Maka datang ke Markesot dengan tujuan agar nasehat Markesot sesuai dengan keinginannya dalam menyelesaikan masalah. Akhirnya Markesot malah kasih orang itu model penyelesaian yang sesuai dengan kemauan pemintanya itu, tetapi di-sangat-kan, di-bengkak-kan…”

Seger ikut tertawa. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta[1] (Al-Baqarah: 10), kata Seger.
“Jadi maksudmu Mbah Markesot menyuruh kita agar keadaan yang njelimet ini dibikin lebih njelimet lagi?”

Pakde Brakodin yang kemudian mungkasi: “Sebenarnya semua yang kita pelajari ini tidak ada hubungannya dengan keadaan di luar. Kita tidak sedang mengurusi Indonesia. Kita tidak sedang menilai atau bersikap. Kita hanya belajar bersama memahami kehidupan, sample-nya adalah Indonesia”

Pada dasarnya sejak awal kumpulan orang-orang tua dan anak-anak muda itu memang tidak sedang mendiskusikan Indonesia, apalagi menilai atau mengurusinya. Mereka mempelajari manusia dan nilai-nilai: Indonesia hanya gerbang keberangkatannya. Mereka sangat sadar bahwa bukan level mereka untuk mampu melakukan apa-apa kepada Indonesia.

Bangsa Indonesia yang besar, Negara Indonesia yang dahsyat, dan Pemerintah Indonesia yang ghoib, tidak memerlukan satu kata pun dari gelandangan-gelandangan tua muda yang tak jelas kerjaannya itu.

Indonesia sudah berderap maju ke masa depan. Madhep mantep. Istiqomah muthmainnah. Ever onward, no retreat. Indonesia tak kurang suatu apa. Indonesia tidak punya masalah sebagaimana yang di-njelimet-kan oleh kerumunan para penganggur itu.

Indonesia sudah teguh imannya kepada Tuhan, bahkan menjalankan kemesraan religius sejak dari filosofinya, konstitusinya, mekanisme birokrasinya, hingga tradisi budaya rakyatnya. Indonesia sudah fix. Sudah harga mati. Sudah benar pandangan hidupnya. Sudah kukuh ideologinya.

Sudah tegak keyakinan masa depannya. Sudah sangat bercahaya kemajuan dan pembangunannya. Indonesia adalah mercusuar dunia.

Selama setahun ini kerumunan gelandangan itu sudah mendiskusikan, merenangi dan menyelami 309 tema, ditambah 122 topik, plus 296 yang sudah diresume oleh Seger. Dan sekarang sedang bergulir 5 judul lagi, tetapi yang 9 sisanya: tampaknya ditunda sampai waktu yang mereka rasa cukup untuk mengendapkan semua tema yang sebelumnya.

Anak-anak muda itu banyak mengkonfirmasikan hal-hal dalam muatan pemikiran mereka untuk membangun “Indonesia Kecil” di dalam kalbu mereka, di ruang pikiran mereka, dalam perilaku sehari-hari mereka sejauh yang mereka bisa jangkau.

Pernah ada yang bertanya: “Sebenarnya sibuk apa to kalian anak-anak muda dengan Pakde Paklik yang hidupnya tak jelas itu?”.

Seger menjawab: “Kami adalah kumpulan kambing-kambing yang belajar menentukan patokan hidup. Kami melakukan semacam eksperimentasi, simulasi atau ijtihad untuk mengambil keputusan seberapa panjang tali yang mengikat leher kami yang diulur dari patokan ini.

Manusia perlu memperoleh ketepatan pandang atas dirinya sendiri. Jangan terlalu tinggi mengukur diri, juga jangan terlalu rendah. Hidup adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah presisi pandang, objektivitas terhadap diri sendiri. Jernih, jujur, tidak melebih-lebihkan, juga tidak mengurangi.”

“Sebab di tempat-tempat lain di luar kerumunan para Pakde Paklik itu hampir kami tidak bisa menemukan patok dan panjangnya tali. Rata-rata kambing-kambing di luar tidak mau diikat oleh patokan dan tidak mau diikat oleh tali. Tidak ada pendidikan atau proses sosial yang mendidik itu.

Hampir semua kambing ingin menjadi Raja Kambing. Sekurang-kurangnya menjadi bagian dari kekuasaan Raja Kambing. Itu membuat setiap ucapan, pendapat dan tindakannya disesuaikan atau diarahkan agar siapa tahu bisa menjadi Menteri Kambing atau Duta Peradaban Kambing atau apapun, pokoknya ikut kekuasaan Raja Kambing. Tidak penting apakah pantas atau tidak, ekspert atau tidak, menguntungkan rakyat atau menghancurkannya.”

Jakarta, 9 Desember 2017

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak