Skip to main content

SIMPAN DULU SILA PERTAMA (Seri Pancasila, 4)



Sebelum saya ketik tulisan ini, ada teman yang mencegat dengan pertanyaan yang meneruskan pertanyaan anak saya kemarin: “Apakah tulisanmu ini bermaksud ngomongin Indonesia, atau urun mengatasi masalah Indonesia?”.

Saya japri dia: “Menurut Sampeyan apakah Indonesia bisa diomongin? Apakah ada yang didengarkan oleh Indonesia selain nafsu dan kepentingannya masing-masing? Apakah Indonesia sudah mengerti kebenarannya dan menyatakannya secara nasional? Kalau makhluk belum matang kebenarannya, apakah Sampeyan berani mengharapkan darinya kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan? Apakah menurut Sampeyan Indonesia berpendapat bahwa ia punya masalah? Apakah ia merasa sakit dan sedang berobat? Kalaupun dia sadar sedang sakit, berobatnya pasti ke pihak yang justru memberinya penyakit..”

“Jadi?”

“Tidak. Saya tidak ngomongin Indonesia. Apalagi urun mengobatinya. Semua tulisan tentang Indonesia ini sekadar setoran pribadi saya kepada pihak satu-satunya yang punya kemampuan untuk menyembuhkan Indonesia. Saya melangkah berjalan di tengah riuh rendah Indonesia ini, tetapi yang saya lakukan adalah perjalanan kesunyian yang sangat privat. Saya sudah dua tahun berada di depan pintu rumahnya. Hanya dia yang bisa mengatasi masalah Indonesia, dan saya bersila, membungkuk, memohon kepadanya…”

Setoran saya hari ini: Seandainya untuk sementara kita anggap tidak ada Sila Pertama, insyaallah (lho kok pakai insyaallah, katanya Sila Pertama dianggap tidak ada): Indonesia bisa tetap bercahaya dan (entah di dunia atau akhirat) menjadi mercusuar dunia.

Asalkan bangsa Indonesia, terutama Pemerintahnya, adalah manusia beneran. Manusia sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh manusia. Bukan ayam dan musang berakal, karena meskipun berakal tapi tetap ayam dan musang. Bukan pula lintah penghisap darah, atau heyna predator, atau tikus pemakan apa saja, dari roti, besi, karat, hingga kepala dan nasib manusia.

Andaikan tidak ada Tuhan sehingga tidak ada pernyataan “mereka itu seperti hewan, bahkan lebih hina” – tetap tidak sukar menemukan fenomena itu, bahkan mungkin kita ini sendiri.

Tetapi pada hakikatnya manusia itu potensial untuk adil dan beradab sebagaimana disebut oleh Sila Kedua. Lantas menyaring calon kepemimpinan di Sila Ketiga, mengaplikasi pengelolaan Negara di Sila Keempat, kemudian mencapai goal Sila Kelima.

Katakanlah manusia berpendapat bahwa dirinya adalah hasil ciptaannya sendiri, bukan anugerah Tuhan, hingga mantap merasa punya Hak Asasi Manusia. Tak apa. Asalkan manusia berperilaku sebagai manusia, maka Catur Sila saja cukup untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalau batu, gunung, kerikil, padang pasir, hutan rimba, angin dan cahaya, tidak mungkin gagal. Alam tidak salah, meskipun kalau ia benar: kebenaran itu bukanlah yang mereka upayakan dan sadari. Alam sepenuhnya merupakan bagian dari organisme yang solid dan utuh. Mereka pasti benar pada organisme itu. Gunung tidak jahat dengan letusannya dan air tidak kejam dengan hempasan banjirnya. Hanya kepentingan manusia yang membuat mereka disebut bencana.

Kayu, logam, tanah dan air tidak terancam akan masuk neraka, atau tergiur untuk masuk sorga. Karena mungkin mereka sendiri adalah komponen sorga: sungai mengalir di bawahnya, sungai susu, kebun berwarna hijau tua, cahaya berpendar-pendar memancarkan keindahannya.

Atau lupakanlah sorga dan neraka. Karena yang utama dalam Catur Sila adalah memastikan setiap manusia berlaku sebagai manusia. Rakyat berlaku tidak sebagai kumpulan kambing ternak. Pemerintah berlaku tidak sebagai binatang buas pemangsa. Pelaku media massa bukan hewan pemakan bangkai. Medsosnya bukan makhluk Ahmaq yang kalap. Konglomerat tidak berperilaku Iblis, pejabatnya bukan Dajjal. Politisinya bukan lintah. Ulamanya pembelajar alam, fisika, biologi, mekanika, IT, logika, antropologi, sosiologi dll.

Setiap manusia memastikan dirinya berperilaku manusia. Berakal manusia, berhati manusia, berperasaan manusia, berkepekaan dan kecerdasan manusia, berdaya kreatif dan inovatif manusia, serta berkelembutan dan kemurahan jiwa manusia.

Memang agak mengherankan bahwa di dalam khazanah nilai peradaban manusia dewasa ini – kalau  orang berbuat buruk, berdusta atau melakukan korupsi, bahkan kalap dan membunuh: disebut “manusiawi”. Sementara kalau manusia berbuat baik, memperjuangkan kesucian diri, menyebarkan kemashlahatan tanpa kepentingan: itu disebut “malaikati”.

Bahkan kalau rajin beribadat, dituding sok suci. Kalau ketahuan berbuat mulia, dituduh gila pujian. Kalau benar-benar memimpin, dan bukan berkuasa, dicurigai sebagai setengah dewa atau sok ke-malaikat-malaikat-an. Kalau ada manusia Zahid yang keputusan hidupnya penuh zuhud (tidak menomorsatukan ego dan keduniaan), sampai lebih setengah abad ia setia pada prinsipnya itu – tetap khalayak menyimpulkan “tidak mungkin ada manusia seperti itu”.

Entah bagaimana asal-usul alamiahnya atau proses pengalaman sejarahnya, sehingga manusia tidak percaya kepada manusia. Manusia merendahkan potensi kemanusiaan. Manusia mengejek ketulusan hati manusia. Manusia melecehkan keikhlasan hidup manusia. Manusia meremehkan niat baik manusia. Manusia bersikap sombong kepada kebaikan. Manusia menghina kepolosan jiwa. Manusia menghardik fithrah atau kefitrian. Manusia membuang jauh-jauh khittah orisinal kemanusiaan.

Maka renungkan untuk simpan dulu Sila Pertama. Sementara konsentrasi berlatih jadi manusia, seperti Muhammad remaja hingga 40 tahun: belum ada Al-Qur`an tapi lulus Sarjana Kemanusiaan bergelar Al-Amin: yang sangat bisa dipercaya.

Jangan libatkan Tuhan dulu. Sebab Tuhan itu benar-benar Maha Kuasa. Kalau penghinaan yang kita lakukan kepada ciptaan-Nya sampai pada tingkat Tuhan sendiri merasa dihina, apa kita siap menghadapi tindakan-Nya. Apalagi kalau kekasih-Nya disakiti dan kehidupan dimunafiki. Ya kalau sekadar ditabrak mobil di depan rumah sendiri, mbrodol usus, kaku lidah, pethot mulut atau pètor kaki. Tapi kalau 18 gunung berparade wahing, gimana dong. Saya tidak bilang itu “iya”, tapi jangan pernah bilang “tidak”. 

(Bersambung)

Emha Ainun Nadjib
25 Agustus 2017
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/simpan-dulu-sila-pertama/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu