Andaikan
saya dipojokkan untuk mendefinisikan Muslim dan Mu`min, kelihatannya
saya tidak menjawab Muslim adalah orang Islam, atau orang yang beragama
Islam. Atau orang yang identitas Agamanya Islam. Juga bukan Mu`min
adalah orang yang beriman.
Baru
puas kalau saya menjawab “Muslim adalah manusia yang menyelamatkan”.
Atau supaya lebih tegas: “Muslim adalah orang yang tidak mencelakakan”.
Dan Mu`min adalah orang yang mengamankan. Kalau dikejar: menyelamatkan
apa dan siapa? Saya akan menjawab: menyelamatkan dirinya dan semua
manusia, dengan konsep keselamatan menurut Tuhan. Mengamankan apa dan
siapa? Mengamankan nyawa sesama manusia, serta martabat dan hartanya.
Muslim
adalah manusia yang mengerjakan Islam. Manusia subjeknya, Islam
alatnya. Sabil arahnya. Syari` jalanannya. Thariq cara menempuh jalan.
Shirath presisi ke titik tujuannya. Faktor utama kemusliman saya adalah
manusia saya, kemanusiaan saya. Kalau manusia saya sudah manusia, sudah
tidak hewan, maka Islam menuntun perjalanan kemanusiaan saya ke yang
sejati, yang belum tentu bisa saya ketahui dengan menggunakan ilmu dan
daya upaya kemanusiaan saya.
Pagi-pagi
ketika mengantarkan anak ke Sekolah, cobalah dibatin pertanyaan ini:
“Sekolah untuk anak-anak, ataukah anak-anak untuk Sekolah? Pendidikan
untuk manusia ataukah manusia untuk pendidikan? Yang utama urusan
pendidikannya atau urusan manusianya?”
Tataplah
gedung Sekolah itu, layangkan pandangan ke gedung-gedung Kementerian
sampai Dinas-dinas yang mengurusi pendidikan buat putra-putri kita. Coba
jawab sendiri pertanyaan itu dengan menemukan faktanya di kerangka
berpikir kependidikan yang berlangsung, kurikulumnya, budaya
pengajarannya, primer-sekunder nilai yang terkandung dalam kebijakannya,
rentang filosofi hulu-hilirnya, motivasi dan tujuan para pelaku
pendidikan, yang putra-putri kita sudah kita percayakan kepada mereka.
Ketika
sesekali melintas di jalan depan Istana Negara, Kantor Gubernur,
Pendopo Kabupaten, atau bangunan-bangunan lain tempat Pemerintah
menjalankan tugas yang diamanatkan oleh kita dan semua rakyat – ucapkan
dalam hati pertanyaan: “Negara untuk bangsa, ataukah bangsa untuk
Negara? Pemerintah untuk rakyat, ataukah rakyat untuk Pemerintah? Sistem
politik untuk publik, ataukah publik untuk sistem politik? Demokrasi
untuk manusia, ataukah manusia untuk demokrasi? Yang utama Demokrasinya
ataukah manusianya?”
Tatkala
engkau melintas dekat Masjid, Gereja, Kuil atau tempat ibadah lainnya,
bertanyalah kepada dirimu sendiri, persilahkan akal mendayagunakan
pikirannya untuk meneliti dan menemukan: “Agama untuk manusia, ataukah
manusia untuk Agama? Pelaku kebenaran dan kebenaran itu Agamanya ataukah
manusianya? Agama itu subjek ataukah manusianya yang subjek? Agama itu
alatnya manusia, ataukah manusia alat Agama? Agama menjadi identitas
manusia, ataukah identitas utama adalah manusia itu sendiri? Yang utama
dan kelak berurusan dengan Tuhan: Agamanya ataukah manusianya?”
Semua
teman saya di bumi menyebut saya seorang Muslim. Saya tidak pernah
membantah demi sopan santun dan persaudaraan. Tapi bagi saya Islam bukan
identitas. Orang tidak bisa menyimpulkan kemusliman saya melalui peci,
qiro’ah Qur`an dan shalawat saya, jumpa di Jum’atan atau Maiyahan di
sana sini. Sebab itu semua bisa merupakan penipuan atau penyamaran.
Kalau saya berbuat baik, teman-teman Budha atau Kebatinan juga bisa
melakukan kebaikan yang sama dengan yang saya lakukan. Maka bisa saja
disimpulkan teman itu Muslim dan saya Budhist.
Bahkan
kalaupun mereka mendengar saya bersyahadat dengan suara keras, tidak
serta merta merupakan tanda pasti bahwa saya Muslim. Bisa saja saya
pura-pura di depan mereka. Kalau mau memperdaya, saya bisa pakai gamis
dan surban, hadir di pengajian, ikut jamaah shalat di Masjid, mendaftar
di organisasi atau parpol yang dikenal sebagai lembaga Islam. Tetapi di
balik itu perilaku saya hewan dan nafsu saya bara api neraka.
Islam
saya terletak di bilik sunyi lubuk kalbu saya. Hanya Allah yang bisa
melihat, mendengar dan memasukinya. Islam adalah perjanjian sangat
pribadi antara saya dengan Tuhan, karena hanya Ia yang tahu kesungguhan
saya, cinta dan kepatuhan saya. Islam tidak bisa dilihat. Bahkan bunyi
musik pun tak bisa dilihat, melainkan didengar. Cantik tak tampak,
kecuali hanya wajahnya. Cahaya tak terlihat, kecuali pantulan cahaya
dari partikel-partikel ke mata kita.
Ketika
Muhammad berusia belasan tahun, ia diuji oleh masyarakatnya, yang
kemudian memberinya julukan “Al-Amin”: bisa dipercaya. Semua orang
merasa aman kalau ada dia. Aman menitipkan barang, martabat dan nyawa
kepadanya. Subjek manusia Muhammad dengan kualitas Al-Amin itulah yang
membuat Khadijah menikah dengannya. Tetapi Al-Amin bujangan harus diuji
oleh proses Al-Amin suami, Al-Amin kepala keluarga serta Al-Amin warga
masyarakat – sampai Tuhan meluluskannya di usia 40. Muhammad yang
Al-Amin sebagai individu, sebagai suami, kepala keluarga serta sebagai
warga sosial inilah yang membuat ia oleh Allah dinilai cukup integritas
dan kredibilitasnya, untuk ‘electable’ memperoleh anugerah wahyu Iqra`
sebagai awal Al-Qur`an, panduan keselamatan bagi seluruh ummat manusia.
Bahkan rahmatan lil’alamin.
Ketika
Allah bersumpah dengan menyebut At-Tin: saya “curigai” itu pertanda
tentang era Budha, pembebasan diri manusia dari keduniawian. Kemudian
Az-Zaitun: itu ujian dari ancaman pembiasan antara bumi dengan langit,
ruh dengan jasad, Tuhan dengan tuhan. Lantas Turi-sinina: ketegasan dan
keteguhan orientasi keTuhanan di hadapan penuhanan diri Fir’aun dan
ultra-hedonisme Qorun. Dan akhirnya Al-Balad Al-Amin: Negeri Muhammad
Al-Amin. Negerinya Pak dan Bu Amin. Negeri manusia yang bisa dipercaya,
oleh Tuhan, serta oleh semua makhluk dan segala jurusan.
Jadi,
manusia dulu. Pendidikan demi manusia dulu. Negara, ideologi, politik
dan pemerintahan untuk manusia dulu. Di abad 21 ini urusan satu kata
Islam saja belum matang, ditambah masalahnya dengan kepingan Sunni,
Syi’ah, NU Muhammadiyah, HTI, LDII, Gafatar, MTA. Belum lagi Gatholoco
dan Dharmogandhul. Saudara-saudara kita berebut tulang yang padat, keras
dan mudah melukai.
Manusia
belajar dulu menjadi manusia. Belajar memanusiakan manusia. Berlatih
menerima manusia. Membiasakan diri menyayangi manusia. Mentradisikan
silaturahmi antar manusia. Mengendalikan kebenaran di dalam diri,
menyebarkan kebaikan dan kebijaksanaan keluar diri. Sebab eksistensi dan
identitas primer kita semua adalah manusia.
Islam
memandu manusia untuk mengerti arah, jalan dan titik tujuan. Silahkan
memilihnya atau menolaknya. Asalkan tetap berlaku dan berinteraksi
sebagai manusia bersama sesama manusia. Islam bukan subjeknya. Bukan
pelaku peradaban. Pelakunya adalah “ahsanu taqwim”, karya terbaik Allah,
berupa manusia, yang Ia tegakkan untuk memandang lurus ke titik cahaya
cinta-Nya.
Emha Ainun Nadjib
4 Agustus 2017
#Khasanah
- Get link
- X
- Other Apps
Comments