Skip to main content

KARENA SAYA MANUSIA (Seri Pancasila, 2)


Saya bertanya kepada anak-anak: “Andaikan dalam hidup ini tidak ada hukum, apakah kamu mencuri?”

“Tidak”, jawabnya.

“Kenapa?”

“Karena saya manusia”

“Kenapa karena kalian manusia maka kalian tidak mencuri?”

“Karena manusia punya akal, kemampuan berpikir tentang kewajiban dan hak, serta menghitung keseimbangan dan harmoni kebersamaan”

“Kalau Tuhan tidak pernah mengutus Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul untuk mengajak berbuat baik, apakah kamu berbuat buruk?”

“Tidak”

“Kenapa?”

“Karena saya manusia”

“Bukankah manusia wajar jika berbuat buruk?”

“Ya. Tapi tidak wajar bagi kemanusiaan saya”

“Bukankah baik maupun buruk adalah kelengkapan manusia?”

“Menurut akal saya, baik dan buruk bukan untuk dilengkapkan, melainkan untuk dipilih. Dan saya tidak memilih keburukan”

“Bagaimana kalau ada suatu keadaan yang tidak memberimu peluang kecuali berbuat buruk? Misalnya korupsi atau berdusta?”

“Hati saya akan hancur, karena hati saya hanya siap dengan keindahan. Pikiran saya akan buntu dan tidak bisa bekerja, karena perbuatan buruk akan membikin konslet pikiran saya”

“Andaikan Tuhan tidak mengirimkan Kitab Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur`an, juga tidak ada Wedha atau Bagawadgita atau kitab ajaran apapun lainnya, apakah hatimu tega menyakiti sesama manusia?”

“Tidak”

“Kenapa?”

“Karena saya manusia. Manusia memiliki rasa sakit dan menyadari perbedaan dan jarak antara sakit dengan sehat. Kalau saya menyakiti manusia, maka yang saya sakiti adalah juga diri saya sendiri, sebab saya juga manusia. Saya manusia yang bukan manusia lain, tetapi muatan jiwa kami hanya satu, yakni kemanusiaan, rasa sebagai manusia”

“Andaikan kamu tahu bahwa dulu Qabil membunuh Habil saudaranya sendiri, kemudian tidak ada pernah kamu dengar larangan membunuh, apakah kalian pernah akan membunuh?”

“Tidak”

“Kenapa?”

“Karena saya manusia. Saya membutuhkan kehidupan. Saya tidak berani memisahkan manusia dari kehidupan, karena logika akal saya mengatakan bahwa pasti ada yang berhak untuk menyatukan atau menyatukan manusia dengan kehidupan. Dan yang berhak itu jelas bukan saya”

“Andaikan tidak pernah kalian dengar kalimat an-nadlofatu minal iman, kebersihan itu bagian dari iman, apakah kalian tidak mandi?”

“Tetap mandi”

“Andaikan kalian tidak tahu bahwa dalam kehidupan ini ada Tuhan, apakah kalian tetap makan, minum, buang air kecil dan besar, berpakaian, bikin tempat berteduh, membikin alat untuk dikendarai?”

“Ya. Di dalam diri manusia saya sudah tertanam naluri dan kesadaran untuk melakukan itu semua, meskipun andaikan saya tidak tahu siapa yang menanamnya”.

(Bersambung)
Emha Ainun Nadjib
23 Agustus 2017
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/karena-saya-manusia/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu