Skip to main content

PANCASILA BUAT ANAK-ANAKKU (Seri Pancasila, 3)



Saya mau meneruskan pertanyaan, tapi dialog diambil alih oleh mereka. Anak bungsu saya bertanya: “Kalau Qabil membunuh Habil, apakah itu inisiatif Qabil atau kehendak Tuhan?”. Kakaknya menyambung: “Andaikan tidak ada Pancasila, apakah bangsa Indonesia pasti akan terpecah belah, saling membenci dan bertengkar?”

Akhirnya sambung-menyambung pertanyaan: “Apakah Pancasila adalah sesuatu yang berada di luar diri manusia dan bangsa, sehingga harus dimasukkan, dididikkan dan ditatarkan kepada mereka? Ataukah secara alamiah setiap manusia sudah memiliki nilai-nilai Pancasila di dalam jiwanya?”

“Apakah Pancasila itu gagasan, inspirasi dan wacana dari Bapak-Bapak pendiri Republik ini, yang diwariskan kepada kita? Ataukah beliau membaca, menghayati dan menemukan Pancasila itu di dalam jiwa bangsanya serta jiwa Bapak-Bapak itu sendiri, kemudian merumuskannya untuk diwariskan kepada anak cucunya?”

Kami sekeluarga sangat serius terhadap Pancasila. Ia bukan alat bermain kekuasaan dan komoditas politik. Bagi saya sendiri Pancasila adalah Kitab Ilmu dan Manajemen Roh. Sebab yang dibaringkan di kuburan bukanlah manusia, melainkan casing jasadnya. Itu salah satu bahan untuk menimbang Pancasila, perjanjian sakral kebangsaan di mana saya juga berada di dalamnya.

Anak saya yang SMA bertanya khusus: “Saya lihat Bapak sudah menulis berpuluh-puluh tulisan tentang Pancasila, dan ada ratusan lainnya yang juga menyentuh Pancasila. Saya belum membaca semuanya, karena sering terganggu oleh perasaan tidak tega kepada Bapak. Bapak terlalu mendalam menggagas Pancasila. Terlalu detail memikirkannya dan terlalu dalam memasukkannya ke hati. Kasihan Bapak. Guru saya saja tidak seserius dan semendalam itu memikirkan Pancasila. Apalagi kalau saya melihat keluar sana, melihat jalanan, pasar, mal-mal, keributan antar-golongan yang terus berkepanjangan, keputusan-keputusan Pemerintah yang menimbulkan pertentangan di bawah. Terus terang susah menemukan Pancasila pada itu semua…”

“Maksudmu kenyataan-kenyataan di Pemerintahan, lalu lintas kehidupan bernegara dan perilaku masyarakat kita ini bertentangan dengan Pancasila?”

“Lho kata Bapak, saya tidak boleh terlalu mudah menggunakan kata bertentangan, anti, sesat, makar, kafir, ujaran kebencian, teroris, dll. Saya selalu berusaha menghindar untuk langsung menuding sesuatu, dan tidak tergesa menyimpulkan sesuatu. Kata Bapak apa saja harus dipikirkan berulang-ulang supaya matang. Maka saya tidak menuding, menuduh atau memvonis. Saya hanya mengatakan sukar menemukan Pancasila dalam perilaku Negara, Pemerintah dan masyarakat…”

“Saya mau ketegasan, Pak”, anak bungsu menyela, “Bapak banyak menulis tentang Pancasila itu apa disuruh oleh Indonesia?”

“Maksudmu?”

“Maksud saya apakah Indonesia membutuhkan Bapak menulis Pancasila?”. Kakaknya menyambung: “Ya, Pak. Apakah tulisan Bapak itu berguna bagi Indonesia? Apakah masyarakat memerlukannya? Apakah Pemerintah memedulikannya? Apakah tulisan Bapak bisa mengubah sesuatu di luar sana?”

Saya tarik punggung saya ke belakang. Bersandar di kursi. Saya menarik napas panjang. Seharusnya saya langsung bergerak ke depan dan memeluk mereka. Atau saya meneteskan air mata. Mbrebes mili. Tapi habit budaya saya tidak melepas untuk saya lakukan itu semua. Setelah terdiam beberapa lama, saya hanya berkata:

“Anak-anakku, kelak kalian akan menjadi Bapak. Di simpul peralihan kehidupan kalian nanti, Tuhan menjumpai kalian. Yang ditanyakan kepada kalian bukan Indonesia, bangsa, masyarakat dan hal-hal besar lainnya. Kalian hanya ditagih hal bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian dan membangun sorga keluarga kalian. Bapak tidak bisa menolong kalian dalam pertemuan kalian dengan Tuhan itu. Kalian juga tidak bisa saling tolong-menolong di antara kalian, meskipun kalian bersaudara sedarah. Maka setiap keping uang di genggaman tangan Bapak, adalah untuk kalian anak-anakku. Kepingan Al-Qur`an, Pancasila, atau apapun, adalah pertanggungjawaban pribadi Bapak kepada Tuhan. Karena ketika Bapak menghadap, Tuhan menyebut-nyebut nama kalian…”


(Bersambung)Emha Ainun Nadjib
24 Agustus 2017
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/pancasila-buat-anak-anakku/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu