Skip to main content

CATUR SILA (Seri Pancasila, 1)


Anak-anak saya yang di SMP dan SMU mulai banyak rewel bertanya tentang Pancasila. Bisa dipastikan saya menjadi gelagapan. Di zaman saya bersekolah dulu tidak pernah memperoleh muatan penjelasan yang matang sehingga nyantol di memori otak saya. Di masa dewasa saya juga tidak punya peluang untuk mengikuti P-4.

Maka wajib saya mencari bahan-bahan dari berbagai sumber untuk menanggapi anak-anak. Saya tidak mau mereka anti-Pancasila, tapi saya juga keberatan kalau dalam kehidupan anak-anak saya Pancasila hanya jargon, lipstik, proforma pergaulan bernegara. Saya takut anak-anak saya terlanjur mengenal nilai tanpa mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Lebih mengerikan lagi kalau besok-besok anak saya tersangkut dalam arena persabungan kekuasaan politik. Yang karena goal urusannya adalah kalah menang, bukan benar salah atau baik buruk – maka mereka memegang Pancasila di tangannya tidak untuk keindahan nilai dan kebijaksanaan laku kehidupan. Saya akan masuk neraka kalau anak-anak saya memperlakukan Pancasila untuk kapital kekuasaan, komoditas transaksi pilih memilih, manipulasi identitas, atau mengeksploitasinya untuk menindas lawan-lawan politiknya.

Pancasila adalah jalan tol menuju gerbang sorga, karena Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang merentangkan jalan itu sejak awal di Sila Pertama. Kalau sampai gara-gara Pancasila saya malah masuk neraka, saya akan mati nelangsa, dihabisi di neraka dengan hati diaduk duka derita, serta dengan memekik-mekik oleh rasa sakit dan penyesalan sepanjang masa.

Mudah-mudahan neraka menerapkan satuan waktu, sehingga ada batas tertentu untuk berada di sana. Dengan demikian ada harapan untuk pada akhirnya bergabung dengan bangsa Indonesia di sorga yang tak ada batas waktunya. Kholidina fiha abada. Kekal plus abadi. Menurut almarhum legenda tinju Muhammad Ali kekekalan itu setara dengan jumlah debu di padang pasir dikalikan seribu tahun. Keabadian mungkin lebih panjang: per-debu bernilai sejuta tahun. Entahlah, besok-besok kita bawa kalkulator untuk menghitung bersama.

Celakanya, sebelum saya menggali bahan-bahan, ketika pertama anak-anak menabrak saya soal Pancasila, entah karena pengaruh Setan atau Iblis atau Dajjal, yang keluar dari mulut saya adalah: “Catur Sila saja, nggak usah Panca Sila dulu…”
Mampus. Mereka mengejar. Sehingga saya terpaksa memeras pikiran dan menyibak-nyibak akal untuk menjawabnya, seperti mencari sebatang jarum di tengah tumpukan rumput kering, damèn dan alang-alang. “Jangan libatkan Tuhan dulu. Sila pertama simpan dulu”, saya menjawab terbata-bata, “untuk tahap awal cukup belajar jadi manusia saja, dengan pedoman kemanusiaan dan tata nilai kebudayaan”

Wajah anak-anak saya campuran antara kaget, sedikit paham dan banyak belum paham yang Bapaknya maksudkan. “Belajar dan berlatih jadi manusia. Menghormati kakak kemakhlukannya, yaitu alam. Kemudian menyayangi adiknya bumi langit, yaitu hewan. Lantas berlatih menghormati sesama manusia, mencintai kemanusiaan, menjaga nyawa sesama, merawat martabat, tidak menyakiti hati mereka, tidak mengambil harta mereka, tidak korupsi, tidak menganiaya, tidak menindas, tidak menang dengan harus mengalahkan lainnya. Belajar menjadi manusia, dengan cara memanusiakan sesama manusia…”

(Bersambung).Emha Ainun Nadjib
22 Agustus 2017
#Khasanah

https://www.caknun.com/2017/catur-sila/

Comments

Popular posts from this blog

MATI KETAWA CARA REFOTNASI(4)

Seri PadangBulan (87) MATI KETAWA CARA REFOTNASI Bagian 4 ------------------------------------------------------------------------ Jangan Mau Jadi Akar. Kalau Pohon tak Berbuah Blimbing Tidak ada satu forum, jamaah maupun komunitas rakyat yang tidak bertanya dan menggelisahkan soal lahirnya terlalu banyak partai politik dewasa ini. Saya wajib menjawab sebisa-bisanya. "Begini lho, pohon itu kalau tak ada akarnya kan tidak akan tumbuh. Partai yang akar dukungannya dari rakyat tidak mantap, tentu mati sendiri. Kita harus jadi akar pohon yang mana. Lha selama ini Anda-Anda sudah bertemu dengan parpol yang mana?" "Belum ada." "Belum ada parpol yang bertamu ke rumah Anda?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melamar hati rakyat?" "Belum!!" "Belum ada parpol yang melakukan pendidikan politik langsung di kampung Anda ini?" "Belum!!" Selama Orde Baru kebanyakan Anda menjadi akar pohon besar rindang namun tidak ada buah

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah. Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu. Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh. Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria. Betapa kagetnya saya! Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya. Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia s

MOHON BERSABAR

Seri PadangBulan (98) MOHON BERSABAR ------------------------------------------------------------------------ Markas Hamas, Padangbulan, Kiai Kanjeng, Cak Nun, (tempat program-program "Shalawat, Bernyanyi, Pendidikan Politik, Jamaah Ekonomi, Silaturahmi Kebangsaan danKemanusiaan" digodog) memohon dengan sangat para pengundang di bawah ini (yang terdaftar sampai 10 Nopember 1998) bersabar menunggu giliran jawaban. Undangan acara-acara terpaksa dimohon kearifannya untuk diskedul seirama dengan effisien dan effektifnya route perjalanan acara Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng. Setiap lingkaran wilayah dirangkaikan menjadi satu putaran, agar mondar-mandirnya Cak Nun/Hamas/Kiai Kanjeng tidak terlalu boros waktu dan tenaga. Sehari maksimal 5 (lima) acara yang diperhitungkan pembagian waktunya di suatu lingkaran wilayah yang bisa dijangkau. Yang manusiawi sepertinya cukup 3 (acara) dalam sehari. Contoh terakhir (10 Nopember 1998), acara Cak Nun/Kiai Kanjeng/Hamas di Undip, kemudian IAIN &qu